Minggu, 17 September 2017

Analisis Kewenangan Komisi Yudisial Dalam Melakukan Pengawasan Hakim Konstitusi Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2004

Kata Pengantar

               Pertama  kali  penulis  mengucapkan  puji  dan  syukur  kehadirat  ALLAH  SWT  karena  berkat  rahmat  dan  karunianyalah  penulis dapat menyelesaikan Penyusunan Proposal ini yang berjudul  ‘’ Analisis Kewenangan Komisi Yudisial Dalam Melakukan Pengawasan Hakim Konstitusi Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 ‘’. Penyusunan Proposal ini dimaksudkan untuk memenuhi Tugas Metode Penelitian Hukum.
               Pada kesempatan ini tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing dalam Mata Kuliah Metode Penelitian Hukum yaitu Bpk. Dahlil Mardjon,SH.MH  yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan penyusunan  proposal penelitian  ini.
               Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan.untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini. Tak ada gading yang tak retak,Tak ada manusia yang sempurna dan Tak ada manusia yang tak salah.Atas segala kesalahan dan kekurangan penulis mohon maaf.


Padang, 18  November 2011
  

                                                                                                 penulis





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................   1
DAFTAR ISI ...........................................................................................    2
I.            PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang ................................................................................  3
B.     Rumusan Masalah............................................................................  6
C.     Tujuan Penelitian .............................................................................  6
D.    Manfaat Penelitian ...........................................................................  7
II.          TINJAUAN PUSTAKA
A.     Pengertian Komisi Yudisial.............................................................. 8
B.     Pengawasan terhadap hakim yang dilakukan oleh komisi yudisial.. 9
C.     Kewenangan Pengawasan Oleh Komisi Yudisial............................ 11
D.    Objek Pengawasan .......................................................................... 11
III.        METODE  PENELITIAN
A.      Metode Pendekatan ........................................................................ 16
B.      Spesifikasi  Penelitian .................................................................... 17
C.      Jenis dan sumber data .....................................................................17
D.      Teknik pengumpulan data ...............................................................18
E.       Teknik analisis data .........................................................................18
F.       Sistematika penulisan ......................................................................19
DAFTAR  PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang penelitian
Tuntutan reformasi di segala bidang yang digaungakan pada tahun 1998 telah menimbulkan berbagai istilah yang intinya menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum atau dikenal juga dengan sebutan Rule of Law. Hal ini muncul karena hukum diharapakan dapat berperan aktif dalam mewarnai proses demokratisasi yang menjadi hakekat gerakan reformasi.
Perkembangan proses reformasi yang utama mengarah pada bidang-bidang hukum yang diantaranya munculnya perundang-undangan dibidang politik, adanya otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, dan munculnya lembaga-lembaga negara baik yang dibentuk oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 maupun  dibentuk oleh peraturan perundangan lainnya.
Dalam kekuasaan dan pelembagaan yudikatif memunculkan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial yang memperkuat fungsi kekuasaan yudikatif disamping Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan yang bernaung dibawahnya. Mahkamah Konstitusi keberadaannya dijamin oleh Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24 c Undang - Undang Dasar 1945 hasil amandemen dan kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan telah diamandemen menjadi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 sedang Komisi Yudisial keberadaannya dijamin oleh Pasal 24 b Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen dan kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.[1] Komisi Yudisial (KY) adalah buah reformasi yang lahir berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ketiga dalam Pasal 24B dalam rumpun kekuasaan kehakiman.[2]
Keberadaan MK-RI memberikan nuansa baru yang dapat ditiru oleh peradilan Indonesia lainnya. Proses peradilan yang cepat dan murah serta modern benar-benar diterapkan oleh lembaga ini. Putusan hakim dapat diperoleh segera setelah putusan dibacakan. Disamping itu MK-RI sangat produktif dalam menghasilkan putusan-putusan yang memang dibutuhkan oleh para pihak yang menilai hak-hak konstitusionalnya dirugikan akibat suatu ketentuan undang-undang.
Namun demikian harus dimaklumi bahwa muncul juga penilaian bahwa MK-RI telah menghasilkan putusan-putusan yang kontroversial. Di antara putusan MK yang menimbulkan kontroversi adalah yang berkait dengan kewenangan Komisi Yudisial (KY). Putusan ini mengurangi kewenangan KY dalam hal pengawasan terhadap perilaku hakim. Putusan ini juga diterjemahkan oleh para hakim bahwa KY tidak lagi berwenang memanggil para hakim dalam upaya “menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.”
Permasalahan ini timbul ketika adanya judicial review yang diajukan oleh 31 orang Hakim Agung terhadap Undang-Undang Komisi Yudisial dan telah diputus Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 ini dengan putusan yang pada intinya Undang-Undang Komisi Yudisial dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga harus dirubah, khususnya dalam ketentuan mengenai pengawasan. Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi pada intinya menyatakan bahwa hakim Mahkamah Konstitusi tidak termasuk dalam obyek pengawasan Komisi Yudisial selain itu segala ketentuan yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebab Undang-Undang Komisi Yudisial tersebut tidak rinci mengatur pengawasan, subyek yang mengawasi, obyek yang diawasi, instrument yang digunakan, dan bagaimana proses pengawasan dilaksanakan. Akibatnya semua ketentuan tentang pengawasan menjadi kabur dan menimbulkan ketidakpasitan hukum dalam pelaksanaannya.[3]
Komisi Yudisial merupakan salah satu lembaga yang sengaja dibentuk untuk menangani urusan yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial pasal 13 yaitu :
1)      Pengangkatan Hakim Agung
2)  Penegakan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakian yang merdeka.
Hakim yang dimaksud di sini adalah berdasarkan pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor  22 Tahun 2004 yaitu “ hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[4]

Sebagai lembaga Negara baru tugas dan fungsi Komisi Yudisial memang masih menimbulkan polemik. Prof. Dr. Jimlie Ashiddiqie, SH. saat ini ketua Mahkamah Konstitusi pernah menyatakan :
“Hubungan pasal-pasal dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 juga belum sempurna. Dengan demikian jika dirinci satu persatu, bisa saja menimbulkan konflik antar lembaga dalam tahap implementasi di kemudian hari”[5]
Permasalahan yang telah dikemukakan di atas yaitu adanya pengurangan fungsi pengawasan Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan Hakim Konstitusi di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menarik perhatian penulis untuk meneliti lebih jauh dan bagaimana perkembangan serta implementasinya di kemudian hari.

B.     Rumusan Masalah
1.   Bagaimana pengaturan kewenangan Komisi Yudisial dalam Melakukan Pengawasan Terhadap Hakim Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial ?
2.     Bagaimana Analisis Kewenangan Komisi Yudisial Dalam Melakukan Pengawasan Hakim Konstitusi Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
C.    Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisi dan mengetahui lebih dalam tentang :
1.   Mengetahui pengaturan mengenai fungsi pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim dalam Undang-Undang Komisi Yudisial.
2.    Menganalisis terhadap Undang-Undang Komisi Yudisial tentang apakah Komisi Yudisial itu berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap Hakim Konstitusi atau tidak berwenang.
D.    Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penulisan proposal penelitian ini adalah:
1.  Bagi para pihak yang membaca, hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan 
informasi serta pengetahuan mengenai perkembangan ilmu Hukum di indonesia  Khususnya mengenai ilmu hukum tata negara.
2.   Bagi penulis merupakan penerapan secara ilmiah ilmu hukum di indonesia  khususnya mengenai ilmu hukum tata negara.
3.     Sebagai referensi bagi penulis lain yang juga menulis dalam hal yang sama.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.     Pengertian Komisi Yudisial
              Komisi Yudisial merupakan lembaga Negara yang terbentuk setelah adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Komisi Yudisial merupakan lembaga Negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.[6]
Dalam konteks ketatanegaraan Komisi Yudisial mempunyai peranan yang sangat penting yaitu :
1.      Mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan Hakim Agung.
2.    Melakukan pengawasan terhadap Hakim yang transparan dan partisipatif guna menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Dalam hubungannya dengan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dengan cara:
1.  melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
2.  melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
3.  menetapkan calon Hakim Agung;
4.  mengajukan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat.[7]

Sedangkan dalam melaksanakan kewenangan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim,Komisi Yudisial memiliki tugas melakukan pengawasan, terhadap
pelaksanaan pengawasan ini Komisi Yudisial dapat:
1.      menerima  laporan masyarakat tentang perilaku hakim.
2.      meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim.
3.      melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim.
4.     memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga  melanggar kode etik perilaku  hakim.
5.  membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi disampaikan  kepada Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. 

            Apabila dugaan Komisi Yudisial  terbukti, artinya perilaku hakim benar-benar menyimpang dari peraturan perundang-undangan, Komisi Yudisial dapat mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung  dan/atau Mahkamah  Konstitusi. Usul penjatuhan  sanksi dapat berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara atau pemberhentian yang bersifat mengikat.
            Selain sebagaimana yang telah diuraikan diatas Komisi Yudisial dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta menjaga perilaku  hakim.
   
B.      Pengawasan Terhadap Hakim Yang Dilakukan Oleh Komisi Yudisial
1.      Urgensi dan Posisi Komisi Yudisial 
                   Secara konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 memberikan landasan  hukum yang kuat  bagi reformasi  bidang hukum, yakni memberikan kewenangan kepada  Komisi Yudisial untuk mewujudkan  check and balance dalam kekuasaan  kehakiman Komisi Yudisial merupakan  lembaga negara  yang bersifat  mandiri dengan wewenang  yang jelas dan meskipun Komisi Yudisial  bukan pelaku kekuasaan kehakiman namun  cara wewenangnya lembaga ini  berfungsi sebagai polisi  yang berkaitan  dengan lembaga peradilan. Komisi Yudisial  bertugas mengusulkan  pengangkatan  hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.[8]
                    Hakim yang menjadi sasaran  pengawasan Komisi Yudisial dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Komisi Yudisial sebagaimana ditentukan  dalam Pasal 1 angka 5  antara lain, bahwa hakim adalah hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan  peradilan  yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi.10 Sedangkan wewenang Komisi Yudisial menurut pasal 24 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu berwenang  mengusulkan pengangkatan  hakim agung dan mempunyai wewenang  lain dalam rangka menjaga dan menegakkan  [9]kehormatan, keluhuran, martabat serta perilaku  hakim.

2.      Relevansi Komisi Yudisial dengan kekuasaan Kehakiman yang merdeka
                     Kehadiran Komisi Yudisial  di Indonesia  didasarkan pemikiran  bahwa hakim agung yang sudah duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan  dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan,[10]apalagi hakim yang sudah duduk pada tingkat peradilan tertinggi dalam susunan  peradilan. Sebagai negara  hukum masalah kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham dalam negara hukum.
                     Melalui Komisi Yudisial ini, diharapkan  dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan  penegakan hukum dan pencapaian  keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya.[11]Sebagai institusi yang lahir dan dari hasil perubahan Undang-Undang Dasar 1945, keberadaan Komisi Yudisial juga dilatarbelakangi  oleh adanya kehendak kuat agar kekuasaan  kehakiman yang dilakukan  Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi benar-benar merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[12]
                     Hal ini didasari  adanya fakta bahwa praktek mafia peradilan  terjadi hampir di semua tingkat peradilan. Maka keberadaan Komisi Yudisial diharapkan hakim tidak  lagi menyalahgunakan kekuasaan nya dengan berlindung dibalik dalih kekuasaan yang merdeka dalam mengketukan palunya. Eksistensi Komisi Yudisial dengan mandat Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Komisi Yudisial menjadi sangat  penting dan strategis dalam menjaga hukum agar tidak disalahgunakan oleh hakim.

C.      Kewenangan Pengawasan oleh Komisi Yudisial
                Dalam Konteks supremasi  hukum, pengawasan  merupakan salah satu  unsur esensial dalam mewujudkan  pemerintahan yang bersih, sehingga siapapun pejabat  negara tidak boleh menolak untuk diawasi. Melihat pengawasan  tiada lain untuk melakukan pengendalian yang bertujuan mencegah absolutisme  kekuasaan, kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan wewenang.[13] Komisi Yudisial sebagai institusi yang berwenang mengawasi tingkah laku hakim, pejabat dan pegawai peradilan  memiliki fungsi yang sangat penting dalam memberantas mafia peradilan. Ketegasan dan konsistensi institusi  ini, sangat jelas untuk  menciptakan pemerintahan yang bersih dalam tubuh lembaga peradilan. Sikap ini  sangat didambakan  rakyat Indonesia mengingat penegakan  keadilan  semuanya bertumpuk pada tangan hakim.[14]

D.     Obyek Pengawasan 
                        Komisi Yudisial merupakan  sebuah institusi  yang diberi mandat oleh Undang-Undang Dasar untuk melakukan  pengawasan terhadap hakim di berbagai tingkatan  baik hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun hakim agung. Hakim mempunyai fungsi  yang sangat  strategis  dalam mendukung upaya  penegakan hukum sebagai konsekuensi dari paham Indonesia sebagai negara hukum. Hakim adalah aktor utama penegakan hukum (law enforcement) di pengadilan yang mempunyai peran lebih apabila dibandingkan dengan jaksa, pengacara dan Panitera. Hakim merupakan   living interpretator  pada saat hukum  mulai memasuki wilayah  das sein  dan meninggalkan wilayah  das sollen.

Ia tidak lagi sekedar berisi pasal-pasal  mati yang terdapat  dalam suatu peraturan terkait, tetapi sudah dihidupkan lagi oleh hakim.[15] Dengan demikian memang terhadap tingkah laku para hakim baik didalam persidangan maupun di luar persidangan perlu mendapat pengawasan. Masalahnya siapakah yang harus melakukan fungsi pengawasan tersebut dan bagaimana cara efektif dan efisien  agar pengawasan terhadap hakim dapat terlaksana dengan baik.

Ada tiga hal yang menjadi obyek pengawasan terhadap kinerja[16]hakim yaitu :
a)    Pengawasan  bidang teknis peradilan atau teknis yustisial Yang dimaksud dengan teknis peradilan adalah segala sesuatu yang menjadi tugas pokok hakim, yaitu menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan  perkara yang diajukan kepadanya. Dalam kaitan ini termasuk pula  bagaimana terlaksananya putusan tersebut. Jadi tujuan pengawasan dalam konteks ini adalah adanya peningkatan kualitas putusan hakim.
b)      Pengawasan bidang administrasi peradilan Sedang yang dimaksud dengan administrasi peradilan adalah segala sesuatu yang menjadi tugas pokok kepaniteraan lembaga pengadilan. Administrasi  peradilan disini harus dipisahkan dengan administrasi umum yang tidak ada sangkutpautnya dengan suatu perkara di lembaga pengadilan tersebut. Administrasi  peradilan erat kaitannya  terhadap teknis  peradilan. Suatu putusan  pengadilan tidak akan sempurna  apabila masalah administrasi peradilan diabaikan.
c)  Pengawasan terhadap perbuatan pejabat peradilan Pengawasan  model ketiga  ini adalah pengawasan  terhadap tingkah laku  perbuatan (pekerjaan) pejabat pengadilan dan para hakim panitera, yang mengurangi kewajaran jalannya peradilan dilakukan berdasarkan temuan-temuan, penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh hakim dan pejabat kepaniteraan, baik yang dikemukakan atas dasar laporan  hasil pengawasan internal maupun atas laporan masyarakat  media massa, dan lain-lain pengawasan internal.



                   Konsekuensi logis sebuah negara hukum yang telah dipilih Indonesia  berakar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Salah satu lembaga yang memiliki peranan yang sangat  urgent dan mutlak diperlukan dalam struktur negara modern dan mewadahi salah satu komponen dalam negara hukum adalah kekuasaan  kehakiman yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab. Kekuasaan kehakiman berfungsi sebagai  lembaga pengontrol terhadap  berlakunya hukum ini sehingga mutlak diperlukan suatu lembaga  kekuasaan kehakiman yang tidak hanya sekedar ada, memiliki fasilitas  yang diperlukan ataupun mampu menyelesaikan  perkara yang muncul  tetapi lebih dari itu juga harus bersyaratkan sebuah predikat  yang bersih dan berwibawa dalam
rangka mewujudkan penegakan hukum dan keadilan.[17]
                   Sejarah telah membuktikan  bahwa Kekuasaan kehakiman yang mandiri  sebagai sebuah cita-cita yang harus dijunjung tinggi dalam negara hukum Indonesia telah  kehilangan  alamnya.[18]Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menyatakan  : 
a.  Mengusulkan  pengangkatan  hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat, dan
b.  Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku  hakim.

                   Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam sistem seleksi dan rekruitmen hakim agung yang disamping  hakim karier, juga berasal dari non-hakim seperti  praktisi, akademisi dan lain-lain asal memenuhi syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Kehadiran Komisi Yudisial di Indonesia juga didasari  pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di Mahkamah Agung merupakan figur yang sangat  menentukan  dalam penegakan hukum dan keadilan.
                  Sementara itu khusus yang berkaitan dengan kewenangan kedua yaitu menjaga  dan menegakkan  kehormatan, keluhuran  martabat serta  perilaku hakim, bertitik tolak pada fakta bahwa  diantara para penegak  hukum yang lain, posisi  hakim adalah istimewa. Hakim adalah konkretisasi hukum dan keadilan yang abstrak. Hal ini berkaitan dengan tugas hakim seperti yang digariskan  dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu sebagai berikut : 
1.      tugas bidang peradilan (teknis yustisial) diantaranya : 
a.    Menerima, memeriksa  dan mengadili  serta menyelesaikan  setiap perkara yang diajukan  kepadanya;
b.      Mengadili menurut  hukum dengan tidak membedakan orang (Pasal 5 ayat (1));
c.     Membantu para pencari keadilan  dan berusaha sekeras-kerasnya  mengatasi hambatan  dan rintangan demi tercapainya  peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 5 ayat (2));
d.      Tidak boleh menolak  untuk memeriksa dan mengadili  suatu perkara  yang diajukan dengan dalih belum hukumnya tidak/kurang jelas, tetapi wajib memeriksa  dan
menjadikannya (Pasal 16 ayat (1)).
2.   tugas yuridis, yaitu memberi keterangan, pertimbangan  dan nasihat-nasihat  tentang soal-soal hukum  kepada lembaga negara lainnya apabila diminta (Pasal 27).
3.  tugas akademis ilmiah dalam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu hakim wajib menggali, mengikuti  dan memahami  nilai-nilai hukum  dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1).

                   Dalam kerangka tugas-tugas  hakim seperti yang digariskan Undang-Undang tersebut, Komisi Yudisial melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim. Jadi Komisi Yudisial merupakan lembaga pengawas ekstern dan bersifat independen. Sedangkan Mahkamah Agung melakukan  pengawasan intern terhadap hakim. Pengawasan  pada hakikatnya adalah suatu tindakan menilai apakah telah berjalan sesuai dengan yang telah ditentukan. Dengan pengawasan akan ditemukan kesalahan-kesalahan yang akan dapat diperbaiki dan yang terpenting jangan sampai kesalahan yang sama terulang lagi.Selanjutnya babak terakhir  dari hasil pengawasan  yang dilakukan oleh Komisi Yudisial berujung  pada rekomendasi kepada Mahkamah Agung dan atau Mahkamah Konstitusi (Pasal 23 Undang-Undang Komisi Yudisial), serta mengusulkan  penjatuhan sanksi (punishment) terhadap hakim  yang melakukan pelanggaran. Disamping itu Komisi Yudisial juga dapat mengusulkan pemberian penghargaan (reward) terhadap hakim yang baik dan berprestasi.







Bab III
Metode Penelitian

1.      Metode pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif, karena yang akan diteliti adalah permasalahan kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan fungsi pengawasannya terhadap Hakim Konstitusi sebab dalam putusannya Mahkamah Konstitusi pada intinya menyatakan bahwa hakim Mahkamah Konstitusi tidak termasuk dalam obyek pengawasan Komisi Yudisial selain itu segala ketentuan yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebab Undang-Undang Komisi Yudisial tersebut tidak rinci mengatur pengawasan, subyek yang mengawasi, obyek yang diawasi, instrument yang digunakan, dan bagaimana proses pengawasan dilaksanakan, dan pengaturan fungsi pengawasan yang sebaiknya diberlakukan agar semua ketentuan tentang pengawasan Komisi Yudisial terhadap Hakim Konstitusi tidak menjadi kabur dan menimbulkan ketidakpasitan hukum dalam pelaksanaannya.
Penelitian hukum normatif ini mencakup :
1.      Penelitian terhadap azas-azas hukum.
2.      Inventarisasi undang-undang / hukum positif.
3.      Penelitian terhadap sistematik hukum.
4.      Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.
5.      Perbandingan hukum.
6.      Sejarah hukum[19]
2.      Spesifikasi penelitian
Penelitian ini bersifat Deskriptif-analitis, karena prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/ melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian, dalam hal ini lembaga Negara yaitu : Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
Usaha mendeskripsikan fakta-fakta itu pada tahap permulaan tertuju pada usaha mengemukakan gejala-gejala secara lengkap didalam aspek yang diselidiki agar jelas keadaan atau kondisinya, termasuk hubungannya satu dengan yang lain di dalam aspek-aspek yang diselidiki itu.
Pada tahap berikutnya fakta-fakta yang ditemukan diberikan penafsiran, kemudian diikuti dengan analisa dan interpretasi tentang arti data yang ada.
3.      Jenis dan sumber data
a.       Jenis data
Jenis data dapat dikelompokkan menjadi data kualitatif dan data kuantitatif. Dalam penelitian ini lebih banyak digunakan data kualitatif sebab penelitian akan dilakukan secara deskriptif. Data kualitatif ini dinyatakan dalam bentuk kalimat atau uraian.
b.      Sumber data
Dalam penelitian hukum normatif maka yang digunakan sebagai sumber data adalah bahan pustaka. Apabila dilihat dari sudut sifat informasi yang diberikannya bahan pustaka dapat dibagi dalam 2 kelompok sebagai berikut :
1.      Bahan hukum primer, yakni bahan pustaka yang berisikan penelitian ilmiah yang baru atau mutakhir, atau pengertian baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan atau ide. Bahan atau sumber hukum primer ini mencakup buku, seminar, majalah, skripsi.
2.   Bahan hukum sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisi infomasi tentang bahan primer. Bahan hukum sekunder ini diantaranya mencakup abstrak, indeks, bibliografi dan acuan lain.
4.      Teknik pengumpulan data
Mengingat penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, maka data yang diidentifikasi diperoleh dengan menggunakan teknik/studi kepustakaan. Dalam teknik/studi kepustakaan penelitian ini tidak pernah dapat dilepaskan dari literature-literatur ilmiah. Dalam penelitian kualitatif, teknik ini berfungsi sebagai alat pengumpul data utama, karena pembuktian hipotesanya dilakukan secara logis dan rasional melalui pendapat, teori atau hukum-hukum yang diterima kebenarannya, baik yang menolak maupun yang mendukung hipotesa tersebut
5.      Teknik analisis data
Teknik analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif yang artinya kegiatan mengumpulkan data kemudian diadakan pengeditan terlebih dahulu untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan analisis yang sifatnya kualitatif yang dalam penelitian ini juga digunakan pendekatan yuridis normatif, kemudian untuk menganalisis data yang dilakukan dengan analisis normatif kualitatif, dan diharapkan dapat menghasilkan data deskriptif kualitatif.
Data yang diperoleh kemudian ditafsirkan pada peraturan perundang-undangan dan doktrin-doktrin hukum yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

E.     Sistematika penulisan
Hasil penelitian ini akan disusun dalam sistematika penulisan sebagai berikut :
Tentang latar belakang penelitian beserta permasalahannya yang memuat manfaat dan tujuan penelitian ini akan dibahas didalam Bab I Pendahuluan. selanjutnya tentang tinjauan pustaka dan pembahasan yang memuat uraian tentang analisa penulis terhadap permasalahan yang menjadi fokus penelitian akan dibahas didalam Bab II tinjauan pustaka. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan proposal ini akan dibahas dalam bab III. kemudian tentang kesimpulan dari pembahasan yang telah diuraikan dalam Bab II, disertai saran - saran berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh dalam penelitian ini akan dibahas didalam bab IV Penutup.













[1] Prim Fahrur Razi, “Sengketa Kewenangan Pengawasan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”Program
   Pascasarjana (S-2)UNDIP
[2] Pasal 24 B UUD 1945 Perubahan Ketiga
[3] Prim Fahrur Razi, “Sengketa Kewenangan Pengawasan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”Program Pascasarjana (S-2)UNDIP
[4] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
[5] Kompas, 29  Juli 2002, “Soal perubahan UUD 1945 tanpa penyerasian akan ciptakan masalah
[6] Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945  Pasca Amandemen
[7] Pasal 14 UU Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
[8] Pasal 13 Undang-Undang No 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
[9] Pasal 1 angka 5 undang-undang no 22 tahun 2004 tentang komisi yudisial
[10]A. Ahsin Thohari, Dari Law Enforcement ke Justice Enforcement, Harian Kompas, Rabu, 3 Juli, 2002.
[11] Majelis Permusyawaratan Rakyat.  Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 
    1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan  UUD Negara RI tahun 1945, Jakarta : Sekjen MPR RI, 2003, hal   
    195.
[12] Lukman Hakim Saifuddin,  Komisi Yudisial dan Fungsi Checks and Balance dalam KK, Bunga Rampai, hal 422
[13]Yohanes Usfunan,  Komisi Yudisial,  Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, hal. 207, Komisi Yudisial
   RI, Jakarta. 
[14] Ibid. hal 194.
[15] A. Ahsini Thohari, Loc Cit.
[16] MARI, Pedoman Perilaku  Hakim (code of landnet), MARI, Jakarta, 2004, hal 80-81
[17] AL Wisnubroto,  Hakim dan Peradilan di Indonesia, Dalam Beberapa Aspek  Kajian, Universitas Atma Jaya,
    Yogyakarta, 1997, hal 64.
[18] Sirajuddin & Zulkarnain,  Komisi Yudisial dan Eksaminasi  Publik, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 3.
[19] Suryono Sukanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT.Raja GrafindoPersada, Jakarta, Cet IV, 2001, hal 14