Karya
Tulis Ilmiah
Tentang
Perlindungan
korban dalam kejahatan
Disusun
oleh : Fahrezi Ramadan
0910111037
Fakultas
hukum
Universitas
Andalas
2011
Kata
Pengantar
Pertama kali penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT karena berkat rahmat dan karunianyalah penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah tentang PERLINDUNGAN KORBAN DALAM KEJAHATAN.
Pada kesempatan ini tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing dalam mata kuliah VIKTIMOLOGI yaitu PROF.DR. TEGUH SULISTIA,SH.MH yang membimbing penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih banyak terdapat kekurangan.untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini.mudah-mudahan karya tulis ilmiah yang penulis buat dapat memenuhi tugas VIKTIMOLOGI khususnya dan juga bermanfaat bagi pembaca.Tak ada gading yang tak retak,tak ada manusia yang sempurna dan tak ada manusia yang tak salah.atas segala kesalahan dan kekurangan penulis mohon maaf.
Padang,01 maret 2011
penulis
Daftar
isi
Bab I : Pendahuluan
I.1 : Latar Belakang Masalah
I.2 : Permasalahan
Bab II :
Pembahasan
Bab III : Penutup
III.1 : Kesimpulan
III.2 : Saran
Daftar Pustaka
Bab
I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang Masalah
Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum
nasional nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari
masih sedikitnya hak-hak korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam
perundang-undangan nasional. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan
korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu
pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum
dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945,
sebagai landasan konstitusional. Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan
pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman
pidana, maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan,
padahal pendapat demikian tidak sepenuhnya benar.
Dengan adanya berbagai permasalahan mengenai jenis
korban dalam kehidupan masyarakat, maka ini pulalah yang melatarbelakangi
lahirnya cabang ilmu baru yang disebut dengan “viktimologi.” Viktimologi atau
victimology (istilah dalam bahasa Inggris) berasal dari istilah Latin, yaitu
victima yang berarti korban, sedangkan logos yang berarti ilmu pengetahuan.
Maka secara singkat, viktimologi adalah ilmu yang mempelajari korban kejahatan dari
berbagai aspek. Walaupun disadari, bahwa korban-korban kejahatan itu, disatu
pihak dapat terjadi karena perbuatan/tindakan seseorang (orang lain), seperti
korban pencurian, pembunuhan dan sebagainya (yang lazimnya disebut sebagai
korban kejahatan), dan dilain pihak, korban dapat pula terjadi oleh karena
peristiwa alam yang berada di luar “jangkauan” manusia (yang lazimnya disebut
sebagai korban bencana alam), yaitu seperti korban letusan gunung berapi,
korban banjir, korban gempa bumi dan lain-lain.
Pengkajian masalah korban dalam tulisan ini hanya
difokuskan pada jenis korban yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran
terhadap ketentuan hukum pidana materil, yang disebut sebagai korban kejahatan.
Korban dalam konteks ini merupakan korban dalam pengertian yang konvensional
dan sekaligus sebagai cikal bakal yang menjadi objek kajian pada awal lahirnya
viktimologi (klasik). Pada mulanya, reaksi terhadap suatu pelanggaran yang
menimbulkan kerugian dan penderitaan pada pihak lain, sepenuhnya merupakan hak
dari pihak yang dirugikan (korban) untuk menuntut balas. Efek samping dari
tuntutan balasan ini, telah menimbulkan suatu keadaan, tindakan balasan yang
dilakukan oleh pihak korban, seringkali tidak setimpal dibandingkan dengan
tindakan yang telah dilakukan oleh pelaku, hal ini terjadi sebagai akibat dari
emosi yang berlebihan dari pihak korban. Dalam perkembangannya kemudian, akibat
dari dendam yang sering tidak berkesudahan (talionis) ini, telah pula
menimbulkan suatu keadaan, kerugian/penderitaan yang dialami oleh seseorang itu
lambat laun dapat diganti dengan membayar sejumlah harta kepada korban.
Sementara itu tingkat pemikiran masyarakat semakin maju, sehingga masalah ganti
rugi inipun mengalami perubahan. Ganti rugi tersebut dihapuskan dan diganti
dengan hukuman publik, karena pada fase ini hukuman tidak lagi dijatuhkan
(ditentukan) oleh perorangan yang menjadi korban, tetapi adalah oleh masyarakat
(negara). Demikian juga menurut S.R. Sianturi, “pada mulanya jumlah ganti rugi
(denda) ini lebih banyak tergantung pada keinginan dari pihak yang dirugikan,
kemudian dikendalikan dan ditentukan oleh penguasa.”
I.2 Permasalahan
1.bagaimana sistem hukum pidana selama ini mengatur
perihal perlindungan
kepada
korban dalam kejahatan ?
2.bagaimana perlindungan korban dalam system
peradilan pidana ?
Bab
II
Pembahasan
A.Pengertian Korban
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan korban, korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik,
mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, korban adalah (orang) yang menderita
kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu dsb) sendiri atau orang lain. Menurut
I.S. Susanto korban dibagi dalam 2 (dua) pengertian, yaitu dalam arti
sempit dan dalam arti luas. Korban dalam arti sempit adalah korban kejahatan,
sedangkan dalam arti luas meliputi pula korban dalam berbagai bidang seperti
korban pencemaran, korban kesewenang-wenangan dan lain sebagainya.
Menurut Boy Mardjono Reksodiputro, ada 4 (empat) pengertian korban yaitu:
1)
Korban
kejahatan konvensional seperti pembunuhan,perkosaan, penganiayaan, pencurian.
2)
Korban
kejahatan non konvensional seperti terorisme,pembajakan,
perdagangan narkotika secara tidak
sah,kejahatan terorganisasi dan kejahatan melalui computer.
3)
Korban penyalahgunaan
secara melawan hukum kekuasaan ekonomi (illegal
abuses of economic power) seperti pelanggaran terhadap peraturan
perburuhan, penipuan konsumen, pelanggaran terhadap peraturan
lingkungan,penyelewengan di bidang pemasaran dan perdagangan oleh perusahaan-perusahaan
trans- nasional, pelanggaran-peraturan devisa, pelanggaran peraturan pajak dan
lain sebagainya.
4)
Korban
penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan umum (illegal abuses of public
power) seperti pelanggaran terhadap hak asasi manusia, penyalahgunaan
wewenang oleh alat penguasa, termasuk penangkapan serta penahanan yang melanggar
hukum dan lain sebagainya.
Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and
Abuses of Power mendefinisikan
korban sebagai berikut:
“Victims” means persons who, individually, or
collectively, have suffered harm,
including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or
substantial impairment of their fundamental rights, through acts or ommisions
that are in violation of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power.
(Korban kejahatan
diartikan sebagai orang yang secara perseorangan atau bersama-sama, menderita
kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental,penderitaan emosional, kerugian
ekonomis atau pelemahan substansial dari hak-hak dasar mereka, melalui tindakan
atau kelalaian.
B.Pengertian Perlindungan
Korban
Menurut Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang
Nomor. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, perlindungan adalah
segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman
kepada Saksi dan/Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK (Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban) atau Lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
ini.
Pengertian Perlindungan Korban dapat
dilihat dari 2 (dua) makna:
1. Diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban
kejahatan (berarti perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) atau kepentingan hukum
seseorang).
2. Diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan
hukum atas penderitaan/kerugian orang yang menjadi korban (identik dengan penyantunan
korban). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik/rehabilitasi,
pemulihan keseimbangan batin antara lain dengan pemaafan, pemberian ganti rugi
seperti restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial dan
sebagainya.
Adapun tujuan dari perlindungan korban
adalah sebagai berikut:
a.
Memberikan
rasa aman kepada korban, khususnya pada saat memberikan keterangan pada setiap
proses peradilan pidana
b.
Memberikan
dorongan dan motivasi kepada korban agar tidak takut dalam menjalani proses
peradilan pidana;
c.
Memulihkan
rasa percaya diri korban dalam hidup bermasyarakat;
d.
Memenuhi
rasa keadilan, bukan hanya kepada korban dan keluarga korban, tapi juga kepada
masyarakat;
e.
Penegakan
hukum yang adil terhadap pelaku kekerasan
Perlindungan korban dalam Hukum pidana Positif
Indonesia diatur dalam :
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) Secara implisit, ketentuan Pasal
14c ayat (1) KUHP telah memberi perlindungan terhadap korban kejahatan.
Pasal tersebut berbunyi:
“Pada perintah yang tersebut dalam Pasal
14a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan
syarat umum,bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan tindak pidana, hakim
boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti
kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu,semuanya atau sebagiannya saja,
yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang
kurang dari masa percobaan itu.”
Menurut ketentuan Pasal 14c
ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan b KUHP, hakim dapat
menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus kepada terpidana
dengan maksud guna mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab III Tentang
Penggabungan Perkara Ganti Kerugian,Pasal 98 s/d 101,dimana korban dapat
mengajukan gugatan mengenai kejahatan yang telah dialaminya sekaligus kerugian
yang dideritanya. Menurut Ketentuan Hukum Pidana di Luar KUHP dan KUHAP
Perlindungan korban kejahatan dapat dilihat pula pada Undang-Undang di luar
KUHP dan KUHAP.orientasi perlindungan tersebut juga bersifat implisit dan
abstrak. Tegasnya, perlindungan itu bukan imperatif, nyata, dan langsung.Undang-Undang
dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
dan Korban.
c. Perlindungan Korban
Kejahatan Dalam Hukum Pidana Di Indonesia
Selama ini pengaturan
perlindungan korban khususnya dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia belum
menampakkan pola yang jelas. Menurut Barda Nawawi Arief dalam hukum pidana
positif yang berlaku pada saat ini perlindungan korban lebih banyak merupakan
“perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung”. Artinya berbagai
rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini pada
hakekatnya telah ada perlindungan in abstracto secara langsung terhadap
kepentingan hukum dan hak asasi korban.
Pada sistem peradilan
pidana, kepentingan korban diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum maupun masyarakat
luas. Selain itu,kerugian korban dapat bersifat materiil yang dapat dinilai
dengan uang, dan immateriil yakni
perasaan takut, sakit, sedih, kejutan psikis dan lain sebagainya.Perlindungan
korban berupa penggantian kerugian materiil dapat dituntut langsung kepada si
pelaku kejahatan. Akan tetapi terhadap penggantian kerugian immateriil , di
beberapa Negara (apabila pelaku orang yang tidak mampu) dibebankan kepada
negara.
Kondisi kebijakan legislatif mengenai
perlindungan korban menurut hukum pidana positif saat ini adalah sebagai
berikut:
a. Hukum pidana positif saat ini lebih menekankan pada
perlindungan korban “in abstracto”
dan secara “tidak langsung”.
b. Perlindungan secara langsung masih terbatas dalam bentuk pemberian
ganti rugi oleh si pelaku tindak pidana.Belum ada ketentuan ganti rugi yang
diberikan oleh Negara kepada korban tindak pidana. Ganti rugi oleh negara hanya
terbatas pada korban sebagai tersangka, terdakwa atau terpidana.
c. Ada 4 (empat) kemungkinan pemberian ganti rugi kepada korban
dalam perkara pidana, yaitu:
I.Pemberian ganti rugi sebagai “syarat khusus”
dalam pidana bersyarat (KUHP)
II.Memperbaiki akibat-akibat dalam tindak
pidana ekonomi, sebagai “tindakan tata
tertib” (Undang-
Undang nomor 7
Drt. 1955)
III.Pembayaran uang pengganti dalam perkara korupsi,sebagai pidana tambahan
(Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997);
IV.Penggantian biaya yang telah dikeluarkan, dalam proses penggabungan gugatan
ganti rugi
(perdata) dalam
perkara pidana (KUHAP) pasal 80.
Konkretnya, perlindungan terhadap korban
kejahatan dirasakan perlu dan imperatif sifatnya. Pada dasarnya ada 2 (dua)
model perlindungan, yaitu:
Pertama, model hak-hak procedural (the procedural rights model).
Secara singkat, model ini menekankan dimungkinkan berperan-aktifnya
korban dalam proses peradilan pidana seperti membantu jaksa penuntut
umum, dilibatkan dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara, wajib
didengar pendapatnya apabila terpidana dilepas bersyarat, dan lain sebagainya.
Kedua, model pelayanan (the
services model) yang menekankan pada pemberian ganti kerugian dalam bentuk kompensasi,
restitusi dan upaya pengambilan kondisi korban yang mengalami trauma, rasa
takut dan tertekan akibat kejahatan81.
Menurut Stephen Schafer, ada 5
(lima) sistem pemberian restitusi dan kompensasi terhadap korban kejahatan:
a. Damages.
Pada
damages terdapat sifat keperdataan
sehingga proses ganti kerugiannya dilakukan melalui prosedur hukum perdata.
Karena itu, dengan adanya pemisahan prosedur hukum perdata dan perkara pokoknya dalam hukum pidana maka korban baru
dapat menuntut si pelaku apabila telah
dinyatakan bersalah.
b. Compensation, civil in character but awarded
in criminal proceeding.
Bentuk
tipologi ganti kerugian ini mempunyai ciri hukum perdata, akan tetapi
diberikan melalui proses perkara pidana. Di Jerman, menurut Schafer, disebut dengan terminologi “Adhasionprozess” dan dalam proses ini
yang mendominasi adalah segi pidananya.
c. Restitution civil in character but
intermingled with penal characteristics and awarded in criminal proccedings
Pada dasarnya, restitusi ini bersifat “quasi” atau campuran
antara sifat perdata dan pidana akan tetapi diberikan melalui proses peradilan
pidana.
Menurut Israel Drapkin dan
Emilio Viano83, ada 5 (lima) persyaratan untuk mendapatkan restitusi, yaitu:
a.
kejahatan tersebut harus
dilaporkan
b.
keharusan dapat diketahui
dan diidentifikasi pelaku kejahatan
c.
adanya putusan hakim yang
menjatuhkan pidana kepada pelaku kejahatan
d.
adanya keleluasaan korban
dalam hal waktu dan uang untuk menunjuk pengacara
guna mengajukan klaim ganti kerugian ke pengadilan; dan
e.
adanya penghasilan yang
cukup/tetap dari pelaku kejahatan untuk dapat memberikan restitusi kepada
korban.
d) Compentation, civil character, awarded in criminal proceedings and backed by the resources of state.
Pada dasarnya kompensasi ini bersifat
perdata.Walaupun demikian pemberian kompensasi dilakukan melalui proses pidana
dan didukung sumber penghasilan negara.Konkritnya, pemberian kompensasi melalui
proses perdata ini oleh negara merupakan wujud pertanggungjawaban negara
melalui putusan pengadilan kepada pelaku karena negara gagal mencegah terjadinya kejahatan yang dilakukan
oleh pelaku tersebut.
e) Compensation, neutral in character and awarded through a special
procedure.
Pada dasarnya, jenis kompensasi ini
berlaku di Swiss (sejak 1937), New Zealand (sejak 1963) dan Inggris (sejak 1964).
Sistem ini sifatnya netral dan diberikan melalui prosedural khusus. System ini
diterapkan dalam hal korban memerlukan ganti kerugian, sedangkan pelaku dalam keadaan
tidak mampu membayar sehingga tidak dapat memenuhi tuntutan ganti kerugian
kepada korban.Wewenang untuk memeriksa kompensasi ini bukan pengadilan perdata atau
pidana, tetapi prosedur khusus atau tersendiri dan independent yang menuntut
campur tangan negara atas permintaan korban.
Dalam sistem peradilan pidana, kepentingan
korban dalam proses penyelesaian perkara pidana mempunyai dua aspek, yaitu:
a. Aspek Positif
KUHAP, melalui lembaga praperadilan,
memberikan perlindungan kepada korban dengan melakukan kontrol apabila
penyidikan atau penuntutan perkaranya dihentikan. Adanya kontrol ini merupakan
manifestasi bentuk perlindungan kepada korban sehingga perkaranya tuntas dan
dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum.
KUHAP juga menempatkan korban pada
proses penyelesaian perkara melalui dua kualitas dimensi, yaitu:
Pertama, korban hadir di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana
sebagai “saksi korban” guna memberi kesaksian tentang apa yang dilihat sendiri
dan dialami sendiri (Pasal 1 angka 26 KUHAP).
Kedua, korban hadir di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana
sebagai “saksi korban” yang dapat mengajukan gabungan gugatan ganti kerugian
berupa sejumlah uang atas kerugian dan penderitaan yang dialaminya sebagai
akibat perbuatan terdakwa.
Oleh Karena itu, saksi korban dalam
kapasitasnya, member keterangan bersifat pasif. Kehadiran “saksi Korban” di
depan persidangan memenuhi kewajiban undang-undang, member keterangan mengenai
peristiwa yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri. Tetapi, dalam
kapasitasnya sebagai korban yang menuntut ganti kerugian maka korban sifatnya
aktif dalam perkara penggabungan gugatan ganti kerugian.
b. Aspek Negatif
Sebagaimana diterangkan di
atas, kepentingan korban dalam proses penyelesaian perkara pada sistem peradilan
pidana mempunyai aspek positif. Walau demikian, kenyataannya mempunyai aspek
negatif. Dengan tetap mengacu pada KUHAP, perlindungan korban ternyata
dibatasi, relatif kurang sempurna dan kurang memadai. Konkretnya, korban belum
mendapat perhatian secara proporsional, atau perlindungan korban lebih banyak
merupakan perlindungan yang tidak langsung.
Selama ini pengaturan
perlindungan korban khususnya dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia belum
menampakkan pola yang jelas. Menurut Barda Nawawi Arief dalam hukum pidana positif yang berlaku pada
saat ini perlindungan korban lebih banyak merupakan “perlindungan abstrak” atau
“perlindungan tidak langsung”. Artinya berbagai rumusan tindak pidana dalam
peraturan perundang-undangan selama ini pada hakekatnya telah ada perlindungan in
abstracto secara langsung terhadap kepentingan hukum dan hak asasi korban.
Dikatakan demikian, karena
tindak pidana menurut hukum positif tidak dilihat sebagai perbuatan menyerang
atau melanggar kepentingan hukum seseorang (korban) secara pribadi dan konkret,
tetapi hanya dilihat sebagai pelanggaran “norma atau tertib hukum in
abstracto”.Akibatnya perlindungan korban tidak secara langsung dengan in
concreto, tetapi hanya in abstracto. Dengan kata lain, sistem
sanksi dan pertanggungjawaban pidananya tidak tertuju pada perlindungan korban
secara langsung dan konkrit, tetapi hanya perlindungan korban secara tidak
langsung dan abstrak. Jadi pertanggungjawaban pelaku bukanlah
pertanggungjawaban terhadap kerugian atau penderitaan korban secara langsung
dan konkrit, tetapi lebih tertuju pada pertanggungjawaban pribadi atau
individual.Perlindungan secara tidak langsung dalam peraturan hukum positif
tersebut belum mampu memberikan perlindungan secara maksimal. Karena realitas
di Indonesia menunjukkan bahwa hukum yang berlaku secara pasti pun belum mampu menjamin
kepastian dan rasa keadilan.
Bab III
Penutup
III.1
Kesimpulan
Mekanisme perlindungan saksi dan korban
yang jelas dan terpercaya dapat membantu saksi dan korban yang selama ini
bungkam karena takut dapat merasa aman untuk berbicara membeberkan kejahatan
HAM yang dialaminya.Derita korban tidak dijembatani
oleh penegak hukum.dalam hal ini hakim yang berkewajiban menjatuhkan vonis
Terbukti putusan-putusan yang dijatuhkan tidak sebanding dengan kejahatan yang
dilakukan pada korban.
Sistem Peradilan Pidana menurut Mardjono merupakan sistem
pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.Tujuan dari sistem peradilan pidana
tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Mencegah
masyarakat menjadi korban kejahatan.
b.
Menyelesaikan
kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan
dan yang bersalah dipidana.
c.
Mengusahakan
agara mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
d.
mengulangi
lagi kejahatannya.
Bertitik tolak dari tujuan
tersebut, Mardjono mengungkapkan 4 (empat) komponen sistem peradilan
pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan)
diharapkan dapat bekerja sama dan membentuk suatu integrated criminal justice system. Apabila hubungan dalam
bekerja tidak ada koordinasinya diperkirakan akan terdapat 3 (tiga) kerugian,
yaitu:
a.
Kesukaran
dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi,
sehubungan dengan tugas mereka bersama.
b.
Kesulitan
dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok pada setiap instansi (sebagai
subsistem dari sistem peradilan pidana). maka setiap instansi tidak terlalu
memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.
III.2 Saran
a. sebaiknya
aparat penegak hukum seperti polisi,jaksa dan hakim lebih memperhatikan masalah perlindungan korban
karna dengan adanya perlindungan tadi para korban dapat turut membantu membongkar berbagai jenis
kasus kejahatan yang terjadi.
b. lembaga
perlindungan saksi dan korban sebaiknya dibangun berdasarkan perspektif korban dengan menjadikan faktor keamanan sebagai
prioritas utama.korban perlu diberi rasa kepercayaan bahwa pengadilan yang akan
dihadapinya adalah sebuah pengadilan yang berwibawa dan dapat dipercaya
yang mampu melindungi dirinya sebelum,
pada saat dan setelah persidangan .
c. perlindungan
terhadap korban tidak hanya memberikan fasilitas keamanan fisik saja, tetapi
juga jasa konsultasi psikologi. Hal ini selain dapat membantu korban siap untuk
memberikan keterangan, juga dapat menjadi alat bantu untuk memulihkan korban untuk kembali memulai hidupnya (rehabilitasi
psiko-sosial).
Daftar
Pustaka
Arif Gosita, Bunga Rampai Viktimisasi, Bandung, PT. Eresco, 1995
________, Viktimologi Dan KUHAP Yang Mengatur Ganti Kerugian Pihak Korban,
Jakarta, Akademika Pressindo, 1987
_________________, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti,1998
________________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Bandung,
Citra Aditya Bakti, 2002
________________, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses
Peradilan Pidana, Jurnal Hukum Pidana Dan Kriminologi,
Vol.I/No.I/1998
Israel Drapkin dan Emilio Viano, Victimology:
A New Fokus, London,Lexington Books, D.E. Health and Company Massachusetts 180
J.E. Sahetapi, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai,
Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1987
Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat pada
Kejahatan dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi, (Pidato
Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Indonesia), Jakarta, 1993
Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Bunga
Rampai Hukum Pidana,Bandung, PT Alumni, 1992, 1992 hal 181
R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Dengan Pasal Demi Pasal,
Bandung, Karya Nusantara Cetakan X, 1988
Theo Van Boven, Mereka Yang Menjadi Korban: Hak Korban untuk Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi,
Jakarta, ELSAM,2000 hal 182
KAMUS
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia edisi II, Jakarta, Balai Pustaka, 1997
PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
Tidak ada komentar:
Posting Komentar