Minggu, 17 September 2017

Perlindungan korban dalam kejahatan


Karya Tulis Ilmiah
Tentang
Perlindungan korban dalam kejahatan


Disusun oleh : Fahrezi Ramadan
 0910111037


Fakultas hukum
Universitas Andalas
2011






Kata Pengantar

Pertama kali penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT karena berkat rahmat dan karunianyalah penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah tentang PERLINDUNGAN KORBAN DALAM KEJAHATAN.

Pada kesempatan ini tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing dalam mata kuliah VIKTIMOLOGI yaitu PROF.DR. TEGUH SULISTIA,SH.MH yang membimbing penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah  ini masih banyak terdapat kekurangan.untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini.mudah-mudahan karya tulis ilmiah yang penulis buat dapat memenuhi tugas VIKTIMOLOGI khususnya dan juga bermanfaat bagi pembaca.Tak ada gading yang tak retak,tak ada manusia yang sempurna dan tak ada manusia yang tak salah.atas segala kesalahan dan kekurangan penulis mohon maaf.

Padang,01 maret 2011

                                                                         penulis









Daftar isi

Bab I       : Pendahuluan
        I.1   : Latar Belakang Masalah
        I.2   : Permasalahan
Bab II     : Pembahasan
Bab III    : Penutup
      III.1  : Kesimpulan
      III.2  : Saran
Daftar Pustaka

  
                            









Bab I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang Masalah
Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hak-hak korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang  Dasar  1945, sebagai landasan konstitusional. Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak sepenuhnya benar.
Dengan adanya berbagai permasalahan mengenai jenis korban dalam kehidupan masyarakat, maka ini pulalah yang melatarbelakangi lahirnya cabang ilmu baru yang disebut dengan “viktimologi.” Viktimologi atau victimology (istilah dalam bahasa Inggris) berasal dari istilah Latin, yaitu victima yang berarti korban, sedangkan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Maka secara singkat, viktimologi adalah ilmu yang mempelajari korban kejahatan dari berbagai aspek. Walaupun disadari, bahwa korban-korban kejahatan itu, disatu pihak dapat terjadi karena perbuatan/tindakan seseorang (orang lain), seperti korban pencurian, pembunuhan dan sebagainya (yang lazimnya disebut sebagai korban kejahatan), dan dilain pihak, korban dapat pula terjadi oleh karena peristiwa alam yang berada di luar “jangkauan” manusia (yang lazimnya disebut sebagai korban bencana alam), yaitu seperti korban letusan gunung berapi, korban banjir, korban gempa bumi dan lain-lain.
Pengkajian masalah korban dalam tulisan ini hanya difokuskan pada jenis korban yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana materil, yang disebut sebagai korban kejahatan. Korban dalam konteks ini merupakan korban dalam pengertian yang konvensional dan sekaligus sebagai cikal bakal yang menjadi objek kajian pada awal lahirnya viktimologi (klasik). Pada mulanya, reaksi terhadap suatu pelanggaran yang menimbulkan kerugian dan penderitaan pada pihak lain, sepenuhnya merupakan hak dari pihak yang dirugikan (korban) untuk menuntut balas. Efek samping dari tuntutan balasan ini, telah menimbulkan suatu keadaan, tindakan balasan yang dilakukan oleh pihak korban, seringkali tidak setimpal dibandingkan dengan tindakan yang telah dilakukan oleh pelaku, hal ini terjadi sebagai akibat dari emosi yang berlebihan dari pihak korban. Dalam perkembangannya kemudian, akibat dari dendam yang sering tidak berkesudahan (talionis) ini, telah pula menimbulkan suatu keadaan, kerugian/penderitaan yang dialami oleh seseorang itu lambat laun dapat diganti dengan membayar sejumlah harta kepada korban.
            Sementara itu tingkat pemikiran masyarakat semakin maju, sehingga masalah ganti rugi inipun mengalami perubahan. Ganti rugi tersebut dihapuskan dan diganti dengan hukuman publik, karena pada fase ini hukuman tidak lagi dijatuhkan (ditentukan) oleh perorangan yang menjadi korban, tetapi adalah oleh masyarakat (negara). Demikian juga menurut S.R. Sianturi, “pada mulanya jumlah ganti rugi (denda) ini lebih banyak tergantung pada keinginan dari pihak yang dirugikan, kemudian dikendalikan dan ditentukan oleh penguasa.”


I.2 Permasalahan
1.bagaimana sistem hukum pidana selama ini mengatur perihal perlindungan
   kepada korban dalam kejahatan ?
2.bagaimana perlindungan korban dalam system peradilan pidana  ?












Bab II
Pembahasan
A.Pengertian Korban
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan korban, korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, korban adalah (orang) yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu dsb) sendiri atau orang lain. Menurut I.S. Susanto korban dibagi dalam 2 (dua) pengertian, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Korban dalam arti sempit adalah korban kejahatan, sedangkan dalam arti luas meliputi pula korban dalam berbagai bidang seperti korban pencemaran, korban kesewenang-wenangan dan lain sebagainya.
             Menurut Boy Mardjono Reksodiputro, ada 4 (empat) pengertian korban yaitu:
1)      Korban kejahatan konvensional seperti pembunuhan,perkosaan, penganiayaan, pencurian.
2)      Korban kejahatan non konvensional seperti terorisme,pembajakan,             
 perdagangan narkotika secara tidak sah,kejahatan terorganisasi dan kejahatan melalui computer.
3)      Korban penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan ekonomi  (illegal abuses of economic power) seperti pelanggaran terhadap peraturan perburuhan, penipuan konsumen, pelanggaran terhadap peraturan lingkungan,penyelewengan di bidang pemasaran dan perdagangan oleh perusahaan-perusahaan trans- nasional, pelanggaran-peraturan devisa, pelanggaran peraturan pajak dan lain sebagainya.
4)      Korban penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan umum (illegal abuses of public power) seperti pelanggaran terhadap hak asasi manusia, penyalahgunaan wewenang oleh alat penguasa, termasuk penangkapan serta penahanan yang melanggar hukum dan lain sebagainya.
Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuses of Power mendefinisikan korban sebagai berikut:
Victims” means persons who, individually, or collectively, have suffered  harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or ommisions that are in violation of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power.
(Korban kejahatan diartikan sebagai orang yang secara perseorangan atau bersama-sama, menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental,penderitaan emosional, kerugian ekonomis atau pelemahan substansial dari hak-hak dasar mereka, melalui tindakan atau kelalaian.
B.Pengertian Perlindungan Korban
Menurut Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) atau Lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pengertian Perlindungan Korban dapat dilihat dari 2 (dua) makna:
1.      Diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban kejahatan (berarti perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) atau kepentingan hukum seseorang).
2.      Diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang menjadi korban (identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik/rehabilitasi, pemulihan keseimbangan batin antara lain dengan pemaafan, pemberian ganti rugi seperti restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial dan sebagainya.
Adapun tujuan dari perlindungan korban adalah sebagai berikut:
a.       Memberikan rasa aman kepada korban, khususnya pada saat memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana
b.      Memberikan dorongan dan motivasi kepada korban agar tidak takut dalam menjalani proses peradilan pidana;
c.       Memulihkan rasa percaya diri korban dalam hidup bermasyarakat;
d.      Memenuhi rasa keadilan, bukan hanya kepada korban dan keluarga korban, tapi juga kepada masyarakat;
e.       Penegakan hukum yang adil terhadap pelaku kekerasan
Perlindungan korban dalam Hukum pidana Positif Indonesia diatur dalam :
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Secara implisit,  ketentuan Pasal 14c ayat (1) KUHP telah memberi perlindungan terhadap korban kejahatan. Pasal tersebut berbunyi:
“Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum,bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan tindak pidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu,semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.”
Menurut ketentuan Pasal 14c ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan b KUHP, hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus kepada terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab III Tentang Penggabungan Perkara Ganti Kerugian,Pasal 98 s/d 101,dimana korban dapat mengajukan gugatan mengenai kejahatan yang telah dialaminya sekaligus kerugian yang dideritanya. Menurut Ketentuan Hukum Pidana di Luar KUHP dan KUHAP Perlindungan korban kejahatan dapat dilihat pula pada Undang-Undang di luar KUHP dan KUHAP.orientasi perlindungan tersebut juga bersifat implisit dan abstrak. Tegasnya, perlindungan itu bukan imperatif, nyata, dan langsung.Undang-Undang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
c. Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Hukum Pidana Di Indonesia
Selama ini pengaturan perlindungan korban khususnya dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia belum menampakkan pola yang jelas. Menurut Barda Nawawi Arief dalam hukum pidana positif yang berlaku pada saat ini perlindungan korban lebih banyak merupakan “perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung”. Artinya berbagai rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini pada hakekatnya telah ada perlindungan in abstracto secara langsung terhadap kepentingan hukum dan hak asasi korban.
Pada sistem peradilan pidana, kepentingan korban diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum maupun masyarakat luas. Selain itu,kerugian korban dapat bersifat materiil yang dapat dinilai dengan    uang, dan immateriil yakni perasaan takut, sakit, sedih, kejutan psikis dan lain sebagainya.Perlindungan korban berupa penggantian kerugian materiil dapat dituntut langsung kepada si pelaku kejahatan. Akan tetapi terhadap penggantian kerugian immateriil , di beberapa Negara (apabila pelaku orang yang tidak mampu) dibebankan kepada negara.
Kondisi kebijakan legislatif mengenai perlindungan korban menurut hukum pidana positif saat ini adalah sebagai berikut:
a.       Hukum pidana positif saat ini lebih menekankan pada perlindungan  korban “in abstracto” dan secara “tidak langsung”.
b.      Perlindungan secara langsung masih terbatas dalam bentuk pemberian ganti rugi oleh si pelaku tindak pidana.Belum ada ketentuan ganti rugi yang diberikan oleh Negara kepada korban tindak pidana. Ganti rugi oleh negara hanya terbatas pada korban sebagai tersangka, terdakwa atau terpidana.
c.       Ada 4 (empat) kemungkinan pemberian ganti rugi kepada korban dalam  perkara pidana, yaitu:
         I.Pemberian ganti rugi sebagai “syarat khusus” dalam pidana bersyarat (KUHP)
        II.Memperbaiki akibat-akibat dalam tindak pidana ekonomi, sebagai  “tindakan tata tertib” (Undang-
Undang nomor 7 Drt. 1955)
       III.Pembayaran uang pengganti dalam perkara korupsi,sebagai pidana tambahan (Undang-Undang  
             Nomor 3 Tahun 1997);
      IV.Penggantian biaya yang telah dikeluarkan, dalam proses penggabungan gugatan ganti rugi
(perdata) dalam perkara pidana (KUHAP) pasal 80.
Konkretnya, perlindungan terhadap korban kejahatan dirasakan perlu dan imperatif sifatnya. Pada dasarnya ada 2 (dua) model perlindungan, yaitu:
Pertama, model hak-hak procedural (the procedural rights model). Secara singkat, model ini menekankan dimungkinkan berperan-aktifnya korban dalam proses peradilan pidana seperti membantu jaksa penuntut umum, dilibatkan dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara, wajib didengar pendapatnya apabila terpidana dilepas bersyarat, dan lain sebagainya.
Kedua, model pelayanan (the services model) yang menekankan pada pemberian ganti kerugian dalam bentuk kompensasi, restitusi dan upaya pengambilan kondisi korban yang mengalami trauma, rasa takut dan tertekan akibat kejahatan81.
Menurut Stephen Schafer, ada 5 (lima) sistem pemberian restitusi dan kompensasi terhadap korban kejahatan:
a.       Damages.
Pada damages terdapat sifat keperdataan sehingga proses ganti kerugiannya dilakukan melalui prosedur hukum perdata. Karena itu, dengan adanya pemisahan prosedur hukum perdata dan perkara  pokoknya dalam hukum pidana maka korban baru dapat menuntut si  pelaku apabila telah dinyatakan bersalah.
b.      Compensation, civil in character but awarded in criminal proceeding.
Bentuk tipologi ganti kerugian ini mempunyai ciri hukum perdata, akan tetapi diberikan melalui proses perkara pidana. Di Jerman, menurut  Schafer, disebut dengan terminologi “Adhasionprozess” dan dalam proses ini yang mendominasi adalah segi pidananya.
c.       Restitution civil in character but intermingled with penal characteristics and awarded in criminal proccedings
Pada dasarnya, restitusi ini bersifat “quasi” atau campuran antara sifat perdata dan pidana akan tetapi diberikan melalui proses peradilan pidana.
Menurut Israel Drapkin dan Emilio Viano83, ada 5 (lima) persyaratan untuk mendapatkan restitusi,   yaitu:
a.       kejahatan tersebut harus dilaporkan
b.      keharusan dapat diketahui dan diidentifikasi pelaku kejahatan
c.       adanya putusan hakim yang menjatuhkan pidana kepada pelaku kejahatan
d.      adanya keleluasaan korban dalam hal waktu dan uang untuk menunjuk  pengacara guna mengajukan klaim ganti kerugian ke pengadilan; dan
e.       adanya penghasilan yang cukup/tetap dari pelaku kejahatan untuk dapat memberikan restitusi kepada korban.
d) Compentation, civil character, awarded in criminal proceedings and  backed by the resources of state.
Pada dasarnya kompensasi ini bersifat perdata.Walaupun demikian pemberian kompensasi dilakukan melalui proses pidana dan didukung sumber penghasilan negara.Konkritnya, pemberian kompensasi melalui proses perdata ini oleh negara merupakan wujud pertanggungjawaban negara melalui putusan pengadilan kepada pelaku karena negara gagal  mencegah terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh pelaku tersebut.
e) Compensation, neutral in character and awarded through a special procedure.
Pada dasarnya, jenis kompensasi ini berlaku di Swiss (sejak 1937), New Zealand (sejak 1963) dan Inggris (sejak 1964). Sistem ini sifatnya netral dan diberikan melalui prosedural khusus. System ini diterapkan dalam hal korban memerlukan ganti kerugian, sedangkan pelaku dalam keadaan tidak mampu membayar sehingga tidak dapat memenuhi tuntutan ganti kerugian kepada korban.Wewenang untuk memeriksa kompensasi ini bukan pengadilan perdata atau pidana, tetapi prosedur khusus atau tersendiri dan independent yang menuntut campur tangan negara atas permintaan korban.
Dalam sistem peradilan pidana, kepentingan korban dalam proses penyelesaian perkara pidana mempunyai dua aspek, yaitu:
a. Aspek Positif
KUHAP, melalui lembaga praperadilan, memberikan perlindungan kepada korban dengan melakukan kontrol apabila penyidikan atau penuntutan perkaranya dihentikan. Adanya kontrol ini merupakan manifestasi bentuk perlindungan kepada korban sehingga perkaranya tuntas dan dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum.
KUHAP juga menempatkan korban pada proses penyelesaian perkara melalui dua kualitas dimensi, yaitu:
Pertama, korban hadir di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai “saksi korban” guna memberi kesaksian tentang apa yang dilihat sendiri dan dialami sendiri (Pasal 1 angka 26 KUHAP).
Kedua, korban hadir di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai “saksi korban” yang dapat mengajukan gabungan gugatan ganti kerugian berupa sejumlah uang atas kerugian dan penderitaan yang dialaminya sebagai akibat perbuatan terdakwa.
Oleh Karena itu, saksi korban dalam kapasitasnya, member keterangan bersifat pasif. Kehadiran “saksi Korban” di depan persidangan memenuhi kewajiban undang-undang, member keterangan mengenai peristiwa yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri. Tetapi, dalam kapasitasnya sebagai korban yang menuntut ganti kerugian maka korban sifatnya aktif dalam perkara penggabungan gugatan ganti kerugian.
b. Aspek Negatif
Sebagaimana diterangkan di atas, kepentingan korban dalam proses penyelesaian perkara pada sistem peradilan pidana mempunyai aspek positif. Walau demikian, kenyataannya mempunyai aspek negatif. Dengan tetap mengacu pada KUHAP, perlindungan korban ternyata dibatasi, relatif kurang sempurna dan kurang memadai. Konkretnya, korban belum mendapat perhatian secara proporsional, atau perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan yang tidak langsung.
Selama ini pengaturan perlindungan korban khususnya dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia belum menampakkan pola yang jelas. Menurut Barda Nawawi Arief  dalam hukum pidana positif yang berlaku pada saat ini perlindungan korban lebih banyak merupakan “perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung”. Artinya berbagai rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini pada hakekatnya telah ada perlindungan in abstracto secara langsung terhadap kepentingan hukum dan hak asasi korban.
Dikatakan demikian, karena tindak pidana menurut hukum positif tidak dilihat sebagai perbuatan menyerang atau melanggar kepentingan hukum seseorang (korban) secara pribadi dan konkret, tetapi hanya dilihat sebagai pelanggaran “norma atau tertib hukum in abstracto”.Akibatnya perlindungan korban tidak secara langsung dengan in concreto, tetapi hanya in abstracto. Dengan kata lain, sistem sanksi dan pertanggungjawaban pidananya tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan konkrit, tetapi hanya perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak. Jadi pertanggungjawaban pelaku bukanlah pertanggungjawaban terhadap kerugian atau penderitaan korban secara langsung dan konkrit, tetapi lebih tertuju pada pertanggungjawaban pribadi atau individual.Perlindungan secara tidak langsung dalam peraturan hukum positif tersebut belum mampu memberikan perlindungan secara maksimal. Karena realitas di Indonesia menunjukkan bahwa hukum yang berlaku secara pasti pun belum mampu menjamin kepastian dan rasa keadilan.






















Bab III
Penutup
III.1 Kesimpulan
           Mekanisme perlindungan saksi dan korban yang jelas dan terpercaya dapat membantu saksi dan korban yang selama ini bungkam karena takut dapat merasa aman untuk berbicara membeberkan kejahatan HAM yang dialaminya.Derita korban tidak dijembatani oleh penegak hukum.dalam hal ini hakim yang berkewajiban menjatuhkan vonis Terbukti putusan-putusan yang dijatuhkan tidak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan pada korban.
          Sistem Peradilan Pidana menurut Mardjono merupakan sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.Tujuan dari sistem peradilan pidana tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b.      Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c.       Mengusahakan agara mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak  
d.      mengulangi lagi kejahatannya.
Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengungkapkan 4 (empat) komponen sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan membentuk suatu integrated criminal justice system. Apabila hubungan dalam bekerja tidak ada koordinasinya diperkirakan akan terdapat 3 (tiga) kerugian, yaitu:
a.       Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama.
b.      Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok pada setiap instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana). maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.

III.2 Saran
a.     sebaiknya aparat penegak hukum seperti polisi,jaksa dan hakim lebih  memperhatikan masalah perlindungan korban karna dengan adanya perlindungan tadi para korban  dapat turut membantu membongkar berbagai jenis kasus kejahatan  yang  terjadi.
b.     lembaga perlindungan saksi dan korban sebaiknya dibangun berdasarkan perspektif  korban dengan menjadikan faktor keamanan sebagai prioritas utama.korban perlu diberi rasa kepercayaan bahwa pengadilan yang akan dihadapinya adalah sebuah pengadilan yang berwibawa dan dapat dipercaya yang  mampu melindungi dirinya sebelum, pada saat dan setelah persidangan .
c.      perlindungan terhadap korban tidak hanya memberikan fasilitas keamanan fisik saja, tetapi juga jasa konsultasi psikologi. Hal ini selain dapat membantu korban siap untuk memberikan keterangan, juga dapat menjadi alat bantu untuk memulihkan korban  untuk kembali memulai hidupnya (rehabilitasi psiko-sosial).





























Daftar Pustaka
Arif Gosita, Bunga Rampai Viktimisasi, Bandung, PT. Eresco, 1995
________, Viktimologi Dan KUHAP Yang Mengatur Ganti Kerugian Pihak Korban, Jakarta, Akademika Pressindo, 1987
_________________, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti,1998
________________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002
________________, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan Pidana, Jurnal Hukum Pidana Dan Kriminologi, Vol.I/No.I/1998
Israel Drapkin dan Emilio Viano, Victimology: A New Fokus, London,Lexington Books, D.E. Health and Company Massachusetts 180
J.E. Sahetapi, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1987
Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat pada Kejahatan dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi, (Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Jakarta, 1993
Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana,Bandung, PT Alumni, 1992, 1992 hal 181
R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Dengan Pasal Demi Pasal, Bandung, Karya Nusantara Cetakan X, 1988
 Theo Van Boven, Mereka Yang Menjadi Korban: Hak Korban untuk Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, Jakarta, ELSAM,2000 hal 182

KAMUS
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi II, Jakarta, Balai Pustaka, 1997

PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban










Tidak ada komentar:

Posting Komentar