Sabtu, 16 September 2017

Tugas Politik Hukum Tentang Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif



Tugas
Politik Hukum
Tentang
Legislatif, Eksekutif   dan  Yudikatif








Disusun Oleh :
Fahrezi Ramadan              ( 0910111037 )




Fakultas Hukum
Universitas Andalas
2011


1.     Kekuasaan  Legislatif 


           JAKARTA - Menyadari lemahnya kinerja parlemen, DPR melalui rapat paripurna, Februari 2006 lalu, akhirnya membentuk tim khusus yang tujuannya meningkatkan kinerja DPR, setelah mendapat sorotan kritik dari berbagai kalangan masyarakat. Sebagaimana fungsi dan peran utamanya sebagai pembuat undang-undang (UU), DPR dinilai mandul dan sering kali tidak berpihak pada kepentingan masyarakat ketika mengesahkan suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi UU.

            Uang haram legislasi dari pendonor, entah itu dari suatu lembaga pemerintah maupun titipan dari pihak swasta, seringkali disebut-sebut menjadi persoalan utama yang mempengaruhi kinerja anggota parlemen. Bukti teranyar kemudian menguatkan dugaan-dugaan itu ketika Indonesian Corruption Watch (ICW) melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ihwal indikasi aliran dana sebesar Rp 4,5 miliar dari Bank Indonesia (BI) ke Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004, dalam pembahasan sejumlah RUU ketika itu.

            Sebenarnya uang "haram” dalam proses legislasi bukanlah satu-satunya permasalahan yang menggerogoti kinerja anggota Dewan. Berdasarkan kajian PSHK terhadap kinerja parlemen selama ini, ada dua pokok persoalan yang melingkupi dan harus diperbaiki, yakni berkaitan dengan prosedur pembuatan UU dan sumber daya manusia di DPR.Berbicara tentang prosedur legislasi. Menurut Bivitri, berarti berbicara tentang pembentukan undang-undang dari awal sampai akhir. Mulai dari tahap perencanaan, perancangan, pembahasan, hingga pengundangan, sebagaimana diatur dalam UU 10/2004.

             Berkaitan dengan ini, salah satu penyebab tidak tercapainya target Prolegnas selama ini merupakan akibat dari menumpuknya beban kerja pembahasan RUU pada sejumlah anggota DPR. Ini terlihat dari hasil kinerja DPR yang secara kuantitas baru mengesahkan 77 UU baru dari 184 UU yang ditargetkan Prolegnas untuk periode 2004-2009. Hasil ini pun banyak yang merupakan kelanjutan UU tahun lalu dan sebagiannya juga meng-copy-paste UU sebelumnya. Adapun akar penyebab penumpukan beban kerja pada anggota adalah sistem pengelompokan berdasarkan Belum lagi, kerap rapat tersebut tak kuorum yang juga sering disebabkan tak sinkronnya jadwal rapat antar alat kelengkapan Dewan.Pun, sumber daya manusia (SDM) pendukung dalam pelaksanaan fungsi legislasi juga mengalami kendala. fraksi. Fraksilah yang dianggap harus memberikan opini, menegosiasikan, dan menyepakati substansi undang-undang.
 Analisa   :
         Akhir – akhir ini kita lihat kinerja DPR sangat bobrok sekali.dalam ketatanegaraan yang lazim melakukan kekuasaan legislatif adalah DPR sebagai Lembaga Legislatif, DPR berfungsi membuat UU dengan memperhatikan keinginan rakyat serta menampung aspirasi masyarakat.DPR banyak mengesahkan UU yang sesuai dengan kepentingan Oknum – Oknum tertentu atau pihak swasta yang mempunyai kepentingan dalam UU itu dengan menerima uang haram sebagai permintaan karna telah dilakukannya kehendak Oknum tertentu itu. Jadi seharusnya, orang - orang legislatif lah yang harus mempunyai integritas dan profesional yang  lebih  tinggi  dari  lembaga – lembaga  lainnya. disini kita  bisa  lihat  Integritas  Dan Profesional  yang  kurang  dari  Lembaga Legislatif  sendiri  Mungkin karena  Persyaratan & Perekrutan Legislatif yang tidak begitu sulit dalam hal
Integritas
 &  Profesionalis   sehingga   membludaknya  yang  mencalonkan  diri  hingga kita tidak tahu  yang  masuk  jajaran  Legislatif, apakah  mempunyai  Integritas  &  Professional  atau  tidak. Dan  ataukah  mereka  hanya  mengejar  Gaji  semata, yang  memang  lumayan  besar.
          Dengan begitu, produk  hukum  yang  dihasilkan  tidak  sesuai  dengan  keinginan  rakyat dan terjadi kerancuan dalam penafsiran undang-undang dimaksud.maka  tidak  adanya  kepastian hukum . kepastian hukum merupakan jaminan bagi anggota masyarakat, bahwa ia akan diperlakukan oleh Negara atau  Penguasa berdasarkan aturan hukum dan tidak dengan sewenang-wenang, begitu juga (sebanyak mungkin) kepastian mengenai isi aturan itu. Kepastian hukum merupakan salah satu prinsip, asas utama  penerapan hukum disamping dan sering berhadapan dengan asas keadilan.apabila  DPR  membuat  peraturan  itu  mengacu kepada kepentingan rakyat diharapkan stabilitas politik dan ekonomi cepat pulih kembali serta negara indonesia ini dapat mewujudkan ide demokrasi serta perwujudan kedaulatan rakyat sebagimana yang tercantum dalam UUD 1945 guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
          Banyak produk hukum yang di buat di negara ini melalui proses yang lama dan berbelit-belit tetapi pada saat peraturan itu sudah jadi dan di berlakukan justru menimbulkan masalah atau peraturan itu tidak bisa di terapkan, peraturan itu hanya menjadi, pajangan dan hiasaan bernegara untuk menakut- nakuti orang buta. Hukum bertaring ketika di hadapkan kepada tembok yang lembek tetapi ketika berhadapan dengan tembok baja hukum itu tumpil dan tidak bermakna. Hukum sesuatu amanah atau suatu perjanjian social antara rakyat dan penguasa sehingga hukum yang baik harus memenuhi beberapa tahapan :
a.       peraturan atau hukum itu dibuat harus memperhatikan keadaan masyarakat sehingga ketika hukum itu di berlakukan akan di taati dan di patuhi masyarakat.
b.      hukum di buat harus mempertimbangkan aspek yuridis dalam hal ini melihat jangan sampai peraturan yang satu dengan yang lainnya bertentangan sehingga akan menimbulkan ketidakpastian dalam penerapannya.
c.       harus dilihat juga dasar filosofi peraturan itu dibuat sehingga ketika peraturan itu sudah jadi, tidak menimbulkan masalah baru.
         Pada konfigurasi politik demokrasi, lembaga perwakilan rakyat  dalam menentukan arah kebijakan sangat menetukan arah kebijaksanaan politik hukum nasional sehingga DPR dapat di anggap sebagai Representasi rakyat yang di wakilinya. Pengaruh politik sangat mempengaruhi lahirnya produk hukum. Fungsi dan peran hukum sangat dipengaruhi dan kerapkali diintervensi oleh kekuatan politik. Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan , organisasi profesi, tokoh agama, dan lain-lain.
          Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting memperhatikan suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik. Disinilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif. Dalam hal produk itu dianggap melanggar norma-norma dan nilai-nilai yang mendasar yang dihirmati oleh masyarakat dan merugikan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi, maka rakyat dapat menggugat negara (institusi) tersebut untuk membatalkan peraturan yang telah dikeluarkannya dan dinyatakan tidak berlaku.
          Apabila DPR dalam membuat peraturan perundang-undangan haruslah berlandaskan pancasila ( filosofis ) dan UUD 1945 ( konstitusional ) serta berfungsi mengayomi,menciptakan ketertiban sosial , mendukung pelaksanaan pembangunan dan mengamankan hasil-hasil dari pembangunan . Proses penyusunan UU di DPR membuktikan secara nyata adanya relasi yang sangat erat antara produk hukum  sebagai proses politik hukum dengan kepentingan politik .Bila UU yang diajukan oleh pemerintah dirasa tidak menguntungkan bagi mereka , mereka berupaya agar UU itu diubah atau tidak diloloskan. Bukti yang paling nyata adalah ketika proses penyusunan UU pemilu.masing-masing fraksi yang terdapat di DPR berupaya agar format UU pemilu itu menguntungkan partainya. Sebagaimana kita ketahui, DPR terdiri dari beragam partai politik yang masing-masing memiliki agenda politik tertentu yang dalam banyak proses penyusunan UU digunakan sebagai kerangka berfikir dalam meloloskan suatu UU.
        Kondisi di atas sangat alamiah terjadi berdasarkan anggapan bahwa proses politik itu tidak bebas nilai ( Non- value ).sebaliknya ,ia sarat dengan nilai ( value loaded ) yaitu perbedaan ideologi dan kepentingan politik itu sendiri.bahkan, hingga apa yang dilakukan pemerintah pun sarat dengan kepentingan politik tertentu.Beberapa contoh yang dapat dikemukakan disini adalah disahkannya UU No I Tahun 1974 Tentang Perkawinan , UU No 7 Tahun 1989  Tentang  Peradilan  Agama, dan lahirnya Inpres No I Tahuun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam .Para pengamat menilai  bahwa disahkannya  beberapa peraturan  perundangan  diatas  adalah  salah  satu  bentuk  akomodasi  pemerintah terhadap  kepentingan  mayoritas  umat islam .Politik  akomodasi  ini  dalam  banyak  hal  memberi  keuntungan  bagi  pemerintah  yaitu  setidak – tidaknya meredam  keinginan  umat islam  untuk  mendirikan  negara  islam karena  sudah  merasa  dipenuhi  kepentingan  agamanya  lewat  Undang – Undang  tersebut .
        UU sebagai produk hukum DPR tidak datang dari ruang hampa,tetapi merupakan aktualisasi dari kehendak-kehendak politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain yang muncul dari tingkat infrastruktur politik kemudian diperdebatkan dan mengalami kristalisasi pada tingkat suprastruktur politik yang kemudian output-nya adalah rumusan politik hukum yang terdapat dalam UU apabila merupakan produk DPR.
        Seperti yang kita lihat banyak produk hukum dari DPR tanpa memperhatikan  keadaan masyarakat hanya mementingkan kelompok kepentingan  semata padahal didalam UUD 1945 setelah  perubahan  UUD 1945,masyarakat  diberi   hak  untuk  berpartisipasi  dalam  pembentukan  Undang – Undang . pasal 53  UU No. 10 Tahun 2004 menyatakan  masyarakat  berhak  memberikan  masukan  secara lisan  atau  tertulis  dalam  proses  pembahasan  rancangan Undang – Undang.hak  masyarakat  untuk  berpartisipasi  secara  langsung  akan  mengubah  relasi  antara  masyarakat  dan DPR dalam  proses  pembentukan  Undang – Undang.dalam  hal  ini  yuliandri  menyatakan  bahwa  partisipasi  masyarakat  dalam  pembentukan  Undang – Undang merupakan  pelaksanaan  asas  konsensus  antara rakyat  dan  pembentuk  undang – undang .dengan  demikian, mengabaikan  hak  masyarakat  untuk  berpartisipasi  dalam  proses  pembentukan  undang –undang  dapat  mengakibatkan  sebuah  undang – undang  menjadi  cacat  prosedural.
        Perkembangan  eksternal  lainnya, kehadiran  Mahkamah  Konstitusi Pasal  24 C  Ayat  1  UUD 1945  menyatakan, Mahkamah  Konstitusi  berwenang mengadili  pada  tingkat  pertama  dan  terakhir  yang  putusannya  bersifat  final  untuk  menguji  undang – undang  terhadap  UUD.  Dengan  kewenangan  tersebut , dalam  proses pembentukan   dan   perumusan  materi  atau  substansi  undang – undang, DPR dan  presiden  harus  mewaspadai  kemungkinan  adanya  judicial  review  kepada  Mahkamah  Konstitusi.pelembagaan  judicial  review  diperlukan  karna  ‘’ Undang – Undang  adalah  produk  politik ‘’ yang  pasti  tidak  steril  dari  kepentingan  politik  lembaga  yang  membentuknya .sebagai  produk  politik, sangat  mungkin  Undang – Undang  ( baik  secara  formil  maupun  materil  ) bertentangan  dengan  konstitusi.oleh  karna  itu, sekalipun  tidak  terlibat  secara  langsung   dalam  proses   pembentukan  undang – undang, setelah  perubahan  UUD  1945, Mahkamah  Konstitusi  merupakan  salah   satu  faktor  penting  yang  dapat  mempengaruhi  fungsi  legislasi.


Referensi :
1.      Moh. Mahfud  Md, Politik Hukum Di Indonesia,Rajawali Pers , Jakarta , 2010
2.      Didi Nazmi Yunas, Sh,Mh . Konsepsi Negara Hukum,  Angkasa Raya, 1992.
3.      Imam Syaukani Dan A. Ahsin Thohari . Dasar – Dasar  Politik  Hukum, Pt Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006
4.      C.S.T Kansil .Pengantar Ilmu  Hukum  Dan   Tata  Hukum  Indonesia .Jilid I , Cet. Ix , Balai  Pustaka , Jakrta , 1992
5.      Saldi  Isra . Rajawali  Pers , pergeseran  fungsi  legislasi , jakarta , 2010













Analisa  :
                Semangat perubahan UUD 1945 mengenai jabatan Presiden dilatarbelakangi oleh pengalaman ketatanegaraan kita selama ini yang menunjukkan bahwa kekuasaan Presiden sangat besar, tidak ada pembatasan masa jabatan seseorang untuk menjadi Presiden serta mekanisme pemilihan Presiden yang hanya dilakukan oleh MPR dan tidak mapannya posisi Presiden yang setiap saat dapat dijatuhkan oleh MPR.suatu  lembaga  perwakilan  dipandang  sebagai  institusiyang  memiliki  legitimasi kuat  dalam  pembentukan  undang – undang,sementara penyelenggaraan  negara  dilaksanakan  oleh  lembaga  eksekutif.bebagai  pola  hubungan  antara  cabang  kekuasaan   negara  tersebut  mengarah  kepada  pencapaian  pembagian  kekuasaan  seefektif  mungkin  agar  prinsip  demokrasi  yang  bersumber  dalam  pelaksanaan  kedaulatan  rakyat  dapat  terselenggara   dengan  baik.
                kekuasaan   eksekutif  dipengaruhi  oleh  ajaran  Trias  Politica  yang  membagi  3  kekuasaan  yaitu  kekuasaan  legislatif, kekuasaan  yudikatif  dan  kekuasaan  eksekutif.Kekuasaan Eksekutif   adalah  Kekuasaan menjalankan undang-undang ini  yang  dipegang oleh kepala negara yang tentunya tidak dapat sendiri menjalankannya, oleh karena itu dibantu  oleh  menteri – menteri  negara yang bersama-sama dalam suatu badan (kabinet) .Walaupun  pada  kenyataannya  ajaran  trias  politica  sulit   untuk  dilaksanakan, namun  ajarannya  itu  mengingatkan  kepada  kita  bahwa   kekuasaan  negara  itu  harus  dicegah  jangan  sampai  berada  di  dalam  satu tangan.karena  dengan  demikian  akan  timbul  kekuasaan  yang  sewenang – wenang. Oleh  sebab itu  kekuasaan  negara  harus  dibagi – bagi  dan  dipisahkan  satu sama  lain  dalam  tiga  macam  kekuasaan.
                 Untuk  membangun  penyelenggaraan  pemerintahan  yang  demokratis  , konstitusi  harus  mampu  mencegah  terjadinya  penumpukan  kekuasaan  pada  satu  cabang  kekuasaan  negara.sebagaimana  dikemukakan  cass R.sustein, mencegah  terjadinya  penumpukan  kekuasaan  menjadi  tujuan  utama  konstitusi, yaitu  menciptakan  kondisi  awal  kehidupan  demokrasi  yang  lebih  baik.bagaimanapun , apabila  eksekutif  terlampau  dominan  sementara  kekuasaan  legislatif  lemah  yang  terjadi  adalah  kekuasaan  eksekutif  yang  eksesif  yang  bekerja  tanpa  kontrol.
                 Presiden  hanya  mungkin  mengatur  sesuatu  yang  lain  dari  ketentuan  undaang – undang apabila  materi  aturan  ini  bersifat  internal  administrasi  pemerintahan  ataupun  dalam  hal  terjadinya  keadaan  darurat  dimana presiden  berwenang menerbitkan  perppu.selain  itu  kewenangan  presiden  untuk  mengatur  haruslah  bersumber  kepada  kewenangan  legislatif  di  DPR.sejak  reformasi  tidak  ada  satupun  presiden  berhasil  mengontrol  birokrasi  negara.presiden  dalam  membuat  kebijakan  negara  harus  mendapat  persetujuan  DPR.dalam  kaitan  ini  banyaknya  interpelasi DPR  terhadapbeberapa  kebijakan  yang  dikeluarkan  presiden.pola  hubungan  antar  lembaga negara  menjadi  ruwet  dan  sering  konflik,  intervensi  partai  politik  di  DPR  sangat  kuat  terhadap  presiden  telah  menciptakan  ketidakstabilan  dalam  politik.eksekutif  pelaku  utama  kekuasaan  negara.pelaksana  tugas  eksekutif  dilakukan  oleh  sebuah  organ  yang  disebut  kabinet.
                 Dalam  sistem  presidensiil, menteri – menteri  negara  merupakan  pembantu  presiden  dan  langsung  dipimpin  olehnya ( pasal 17 UUD  1945  ) .berdasarkan  ketentuan  ini, maka  presiden  memiliki  otoritas  yang  tinggi  untuk  menentukan  siapa  yang  akan  menduduki  jabatan  menteri . Presiden  yang  memperoleh  mandat  dari  rakyat  dan  oleh  karenanya  harus  bertanggung  jawab  kepada  rakyat.Demikian  juga  pembentukan  kabinet  dalam  sistem  presidensiil  didasarkan  sepenuhnya  kepada  pilihan  presiden  yang  umumnya  dipilih  berdasarkan  kriteria  yang  profesional  yang  disebut  kabinet  keahlian.Presiden  Berada  pada  posisi  yang  kuat  dan  memiliki  kekuasaan  yang  luas  dalam  menentukan  kebijakan  publik  dalam  batas – batas  rambu  undang – undang. 
                Sebelum  membentuk  kabinet  baru, kita dikejutkan  dengan  ulah  pemerintah  yang  gemar  membentuk  lembaga  nonstruktural  yang   hanya  berujung  pada   pemborosan   APBN. terbentuknya  lembaga  baru  ini  menimbulkan  keruwetan  birokrasi  akibat  tumpang   tindihnya  wewenang dan  tanggung  jawab . seharusnya  pemerintah  tidak  membuat  kebijakan  seperti  itu,  seharusnya  lembaga  itu  di buat  sedikit  tapi  kewenangan,tanggung  jawab  dan  kerjanya  banyak  sehingga  banyak  mengeluarkan  uang  negara  melaui APBN.daripada  membuat  lembaga baru  lebih  baik  menggunakan  uang  itu  untuk  pembangunan  yang  sesuai  dengan  tujuan  bangsa  dan  bisa  mengurangi  pengangguran  di  negara   yang  kita  cintai  ini.
              Yang Disebut  Pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya. Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan social yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jadi  bukan  hanya  untuk  membentuk lembaga  baru  saja  tetapi  mengembangkan  skill dan  kinerja  lembaga  yang  sudah  ada  agar  bisa  bekerja efektif,efisiensi,baik  dan  lebih  bertanggung  jawab  dalam  menjalankan  tanggung  jawabnya  sebagai  wakil  rakyat .
             Sama  Seperti  Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Penyiaran indonesia  (KPI), dan lain sebagainya  Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan ataupun pemberhentian pimpinannya.ini  berarti  semakin  banyaknya lembaga baru  yang   kemudian  berkembang  menjadi  independent  sehingga  terkuras  habisnya  APBN . orang  ber-anggapan dengan  dibentuknya  banyak  lembaga  baru  oleh  pemerintah  demi  tujuan  kelompok  kepentingan  semata.
              Badan dan Lembaga baru Yang dibentuk  oleh  lembaga  eksekutif  pertama – tama  berada  di  bawah  naungan  presiden tetapi  lama  kelamaan  berkembang  menjadi bersifat independen.Bentuk keorganisasian  banyak  Negara  modern  dewasa  ini  juga  mengalami perkembangan-perkembangan yang sangat pesat, khususnya berkenaan dengan inovasi-inovasi baru yang tidak terelakkan. Perkembanganperkembangan baru itu juga terjadi di Indonesia di tengah keterbukaan yang muncul bersamaan dengan gelombang demokratisasi di era reformasi akhir – akhir  ini. meskipun Independensi lembaga-lembaga ini diperlukan untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif.
             Muncul Kesadaran Yang Makin Kuat Bahwa Badan-Badan / Lembaga – Lembaga Negara Itu Harus Dikembangkan Secara independen . jika  untuk  membuat  lembaga  baru  itu  digunakan  presiden  untuk  mengawasi  jalannya  pembangunan ,padahal  masyarakat  juga  bisa  mengawasi  pembangunan  dan  masyarakat  juga  mempunyai  andil  dalm  pembangunan.pembangunan  yang dilaksanakan  oleh  pemerintah harus  adanya  partisipasi  masyarakat  di dalamnya.partisipasi  masyarakat  diartikan  sebagai  keikutsertaan  masyarakat ,baik  secara  individual  maupun  kelompok, secara  aktif  dalam  penentuan  kebijakan  pemerintah  terutama  dalam pembangunan.sebagai  sebuah  konsep  yang  berkembang  dalam  sistem  politik  modern , partisipasi  merupakan  ruang  bagi  masyarakat  untuk  melakukan  negosiasi  dalam  proses  perumusan  kebijakan  terutama  yang  berdampak  langsung  terhadap  kehidupan  masyarakat.
             Sejalan  dngan  pandangan  Robert B. Gibson tersebut,mas  achmad  santosa  menambahkan bahwa  pengambilan  keputusan  publik  yang  partisipatif  barmanfaat  agar  keputusan  tersebut  benar – benar  mencerminkan  kebutuhan , kepentingan serta  keinginan  masyarakat  luas.kalau  dalmm demokrasi  elit  partisipasi  masyarakat begitu  dibatasi , dalam  demokrasi  partisipatoris  keterlibatan  masyarakat  yang  lebih  luas  dan  bermakna  merupakan  keniscayaan.
            Argumentasinya  ,makna  hakiki  dari  demokrasi   adalah  memberi  dorongan  bagi  masyarakat  berperan  serta  dalam  pembuat  keputusan  yang  mempengaruhi  kehidupan  mereka.ditambahkan  Robert B. Gibson, demokrasi  partisipatori  tidak  hanya  berupaya  mewujudkan  pemerintahan  yang  demokratis  tetapi  juga  masyarakat  yang  demokratis.dengan  demikian , mengabaikan   peran  serta  masyarakat , terutama  di  negara  berkembang ,aakan  gagal  menjadikan  hukum  sebagai  program  transformasi  karena  rakyat  tidak  difasilitasi  secara  baik  dan  tidak  didengar  dalam  penentuan  kebijakan  pemerintah. Peluang  masyarakat  untuk  dapat  ikut  serta  dalam  penentuan  kebijakan  pemerintah  merupakan  prinsip  yang  berlaku  di  semua  negara  demokrasi. 

Referensi :
1.      Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994
2.      Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, 1988
3.      Didi Nazmi Yunas, Sh,Mh . Konsepsi Negara Hukum,  Angkasa Raya, 1992.
4.      Moh. Mahfud  Md, Politik Hukum Di Indonesia,Rajawali Pers , Jakarta , 2010
5.      Saldi  Isra . Rajawali  Pers , pergeseran  fungsi  legislasi , jakarta , 2010























3.kekuasaan yudikatif
Baleg Gagas KY Tak Bisa Periksa Putusan
           Perdebatan antara Mahkamah Agung (MA) dan KY ini sepertinya akan segera berakhir. Badan Legislasi (Baleg) yang sedang menggodok draf revisi UU MA dan UU KY mengarahkan bahwa KY memang tidak boleh lagi memeriksa putusan hakim. KY harus fokus kepada fungsinya mengawasi kode etik dan pedoman perilaku hakim sesuai dengan UUD 1945. “RUU MA sedang kami godok. Masa’ KY bisa melakukan pengawasan secara langsung (memeriksa putusan,-red). Sedangkan, tugasnya kan hanya mengawasi code of conduct atau code of ethic. Hakim itu independen,” ujar Dimyati di Gedung DPR, Selasa (11/5).
           Dimyati menuturkan pengaturan pengawasan KY dalam UU MA ini memang hal krusial dalam revisi UU MA ini. Sementara, untuk isu-isu yang lain, Dimyati menilai sudah tidak ada lagi masalah. “Usia pensiun hakim agung 70 tahun sudah cukup ideal. Jadi itu tidak termasuk yang akan direvisi,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan ini. Sekedar mengingatkan, Baleg telah mencanangkan akan segera merampungkan penyusunan draf 23 RUU pada masa sidang IV tahun 2010-2011 ini. Revisi RUU MA termasuk dari 23 RUU target Baleg yang drafnya akan diselesaikan itu. 
          Sementara, Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK) Bahrul Ilmi Yakup meminta agar prosedur pengawasan KY itu dipertegas dalam revisi UU KY yang juga sedang digodok di DPR. Sebelum proses ini selesai, Bahrul tak sependapat bila KY melakukan pemeriksaan terhadap hakim. “Asosiasi Advokat Konstitusi menolak segala bentuk pemeriksaan hakim oleh KY, sebelum ada revisi atau pembentukan UU KY oleh DPR yang menitahkan kewenangan KY memeriksa hakim secara tegas, lugas, limitatif dan konstitusional,” jelasnya dalam siaran pers yang diperoleh hukumonline.     
             Bahrul mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK), dalam putusan judicial review UU KY, pernah meminta pengaturan agar diperjelas. Pasalnya, aturan pengawasan hakim dalam UU KY tidak rinci mengatur mengenai prosedur pengawasan, tidak jelas dan tegas menentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang diawasi, serta instrumen apa yang digunakan. Mahkamah, masih dalam putusannya, juga menegaskan bahwa persoalan teknis yudisial bukan merupakan kewenangan KY. Karenanya, pengaturan ketentuan yang ketat harus dilakukan agar tidak terjadi penyimpangan. “Oleh karena itu pembentuk undang-undang haruslah mengatur pengawasan itu secara jelas dan rinci dengan cara mengadakan perubahan dalam rangka elaborasi, harmonisasi, dan sinkronisasi atas UU KK, UU KY, dan UU MA dengan selalu merujuk pada UUD 1945,” demikian bunyi pertimbangan Mahkamah.

Dimyati mengaku mengetahui adanya putusan MK itu. Ia berjanji bahwa proses penyusunan draf RUU MA ini akan merujuk kepada pertimbangan MK dalam putusan tersebut. “Kita tentu harus merujuk pendapat MK, agar nanti tidak dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945,” pungkasnya.

Analisa  :
               Dalam rangka implementasi check and balances system, pada hakekatnya semua kekuasaan baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif perlu adanya kontrol dan pengawasan. Termasuk Hakim Agung juga harus ada pengawasan. Kegagalan sistem yang ada dalam mencaiptakan peradilan yang lebih baik pada masa lalu telah mendorong timbulnya pemikiran kearah pembentukan suatu lembaga pengawas eksternal (external auditors) yang bernama Komisi Yudisial. Oleh karena itu sistem pengawasan hakim agung idealnya dilakukan dengan model pengawasan ganda baik internal maupun eksternal, supaya pengawasan berjalan efektif yang pada gilirannya mendorong terciptanya peradilan yang lebih baik. Pengawasan internal dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Agung (MKMA), sedang pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial.
             Meskipun demikian harus ada proporsi pengawasan yang jelas antara MA dan Komisi Yudisial. Misalnya kewenangan pengawasan internal MA mencakup pengawasan di bidang kompetensi dan profesionalisme, administratif, organisatoris dan financial. Sedangkan kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Dalam perkembangannya, fungsi pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial seolah tidak ada artinya lagi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi. Meskipun kalau dicermati sebenarnya putusan Mahkamah Konstitusi tidak bermaksud menegasikan kewenangan Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan, keluhuran dan perilaku hakim agung, hanya perlu dilakukan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
              Demikian pula hakim di lingkungan peradilan lain juga perlu pengawasan internal oleh pimpinan dan atasan institusi peradilan maupun pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial. Jadi pengawasan sudah tepat dilakukan secara berjenjang mulai dari bawah sampai puncaknya di Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial disamping punya kewenangan mengawasi para hakim, sekaligus mestinya juga diberi kewenangan untuik menjatuhkan sanksi. Peradilan yang lebih tinggi secara automatically mempunyai kewenangan pengawasan terhadap peradilan di bawahnya. Di samping lembaga pengawasan formal yang sudah ditentukan dalam perundang-undangan, masyarakat dan LSM juga dapat berperan serta melakukan pengawasan dengan memberikan informasi tentang penyimpangan yang dilakukan oleh hakim.
              Ruang lingkup pengawasan hakim pada dasarnya dapat dibedakan dua macam, yaitu dalam kedinasan maupun di luar kedinasan. Ruang lingkup pengawasan terhadap hakim tersebut harus dirumuskan normanya secara jelas termasuk parameternya. Sehingga dapat diketahui secara pasti perbuatan hakim manakah yang menyimpang dan tidak menyimpang baik dalam kedinasan maupun diluar kedinasan. Sehubungan dengan itu perlu dibuat pedoman pengawasan bagi hakim yang dituangkan dalam perundang-undangan agar memiliki daya mengikat bagi hakim dengan disertai bentuk sanksi dan prosedur penindakannya.
              Pelaksanaan pengawasan terhadap hakim sebagai konsekwensi check and balances system tidaklah ditujukan untuk mengurangi independensi hakim dalam menjalankan tugas dan wewenang yudisialnya, yaitu dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara. Pengawasan dilakukan dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Apakah perilaku tertentu seorang hakim sudah sesuai atau menyimpang dari norma yang telah ditentukan. Masalah yang muncul adalah sulitnya memisahkan secara tegas korelasi antara perilaku hakim dengan independensi tugas yudisialnya. Dalam praktik selama ini, Komisi Yudisial berasumsi bahwa putusan hakim yang ”bermasalah” berkorelasi positif dengan perilaku hakim yang menyimpang.
             Asumsi seperti itu tidak salah, karena putusan yang ”bermasalah” dapat menjadi indikasi atau petunjuk bahwa perilaku hakimnya juga menyimpang dari norma yang penyimpangannya harus dibuktikan lebih lanjut. Oleh karena perlu dicarikan parameter kongkrit seperti apa kategori suatu putusan dianggap bermasalah. Sudah tentu putusan ”bermasalah” di sini tidaklah selalu identik dengan putusan ”kontroversial” karena ”terobosan hukumnya”, seperti yang pernah diputuskan oleh Hakim Bismar Siregar yang menganalogikan kemaluan wanita sebagai barang yang dapat dikenakan delik penipuan terhadap orang yang mengambilnya secara melawan hukum. Karena apa yang dilakukan oleh Hakim Bismar Siregar adalah bentuk ”ijtihad hukum” dalam rangka memberikan perlindungan dan keadilan bagi wanita yang ditinggal pasangannya secara tak bertanggung jawab. Putusan bermasalah disini lebih berkonotasi dengan adanya mafioso peradilan atau timbulnya judicial corruption.
            Pengawasan terhadap perilaku hakim dapat dilakukan dengan cara mengkaji putusan pengadilan. Kredibilitas seorang Hakim hakekatnya juga ditentukan oleh putusan-putusan yang dibuatnya. Tidak berlebihan kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa mahkota atau wibawa hakim terletak pada putusannya, terutama pada bagian pertimbangan hukumnya. Untuk mencari hakim yang jujur dan berkualitas, dapat dilihat dari putusan-putusan yang telah dihasilkannya selama ini, yaitu dengan cara melakukan eksaminasi putusan.
               Eksaminasi juga bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan akuntabilitas seperti yang selama ini disuarakan oleh masyarakat. Melalui eksaminasi, masyarakat bisa mengetahui dasar pertimbangan seorang hakim dalam mengambil putusannya. Dari situ, bisa dinilai pula apakah putusan hakim tersebut diambil dengan cara-cara yang semestinya atau malah sarat dengan nuansa KKN. Eksaminasi putusan biasanya dilakukan oleh pimpinan pengadilan atas putusan hakim bawahannya sebagai bagian dari sistem pengawasan dan penilaian hakim tersebut. Dalam kaitan ini, eksaminasi dilakukan untuk mencari atau menemukan berbagai permasalahan dalam pertimbangan hukum maupun putusan hakim terutama menyangkut penerapan hukum materiil maupun formilnya dalam kerangka penilaian secara obyektif menyangkut perkara yang bersangkutan.
               Meskipun lembaga eksaminasi sudah dikenal lama di lingkungan pengadilan, akan tetapi dalam prakteknya cenderung tidak efektif dan jarang sekali dilakukan. Belakangan ini eksaminasi putusan hakim juga dilakukan secara eksternal oleh lembaga bentukan masyarakat untuk keperluan pendidikan kepada masyarakat tentang kualitas seorang hakim. Dan cara eksaminasi ini telah ditempuh oleh beberapa Ornop yang tergabung dalam koalisi pemantau peradilan, seperti Indonesian Court Monitoring (ICM) dan Indonesian Corruption Watch (ICW) dengan melibatkan para pakar hukum, akademisi, maupun praktisi hukum. Alasannya sederhana, publik selama ini tidak pernah tahu atau dilibatkan terhadap eksaminasi yang digagas oleh lembaga peradilan sehingga tidak ada kontrol sama sekali. Di samping itu, Mahkamah Agung dan jajaran pengadilan diharapkan mau membuka mata bahwa masyarakat tidak pernah berhenti mengawasi lembaga peradilan ini. Secara umum yang dimaksud eksaminasi adalah menguji kembali putusan hakim dengan melihat isi/materi dari putusan tersebut.
               Dalam kaitannya dengan pengawasan hakim, prinsip akuntabilitas dan transparansi harus diterapkan. Sebagai contoh dalam lembaga peradilan seharusnya ada kejelasan fungsi, tugas, wewenang dan mekanisme pertanggungjawaban organ dalam pengawasan hakim-hakimnya sehingga pelaksanaan pengawasan di lingkungan peradilan dapat terlaksana secara efektif. Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan mempunyai wewenang melakukan pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim (Lihat Pasal 13 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1986 jo. Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 tahun 2004).Berdasarkan kewenangannya tersebut, Mahkamah Agung mestinya harus mengumumkan secara berkala kepada publik mengenai kinerjanya dalam hal pengawasan terhadap para hakim, misalnya berapa banyak hakim yang melakukan kesalahan dan apa bentuk tindakan atau sanksi yang dijatuhkan. Hal ini tentunya akan direspon positif oleh publik ditengah krisis hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
              Di dalam Pasal 32 A ayat (4) RUU yang berbunyi : ”Dalam hal ada perbedaan substansi hasil pengawasan antara pengawasan eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengawasan internal sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka yang berlaku adalah hasil pengawasan Komisi Yudisial”. Pertanyaannya adalah apa reasoningnya pengawasan eksternal Komisi Yudisial lebih didahulukan dari pengawasan internal Mahkamah Agung. hal ini mengesankan Mahkamah Agung sebagai supreme court diletakkan di bawah Komisi Yudisial. Mestinya harus ada pembagian fungsi kewenangan yang jelas antara kedua lembaga tersebut dalam pengawasan hakim agung, kalau perlu diperjelas ruang lingkup pengawasan internal maupun pengawasan eksternal meliputi apa saja supaya tidak menimbulkan tumpang tindih (over lapping) dalam pengawasan.

Referensi :
1.      Manan, Bagir, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Pusat  Penerbitan Universitas LPPM Unisba, Bandung, 1995.
2.      Rahardjo, Satjipto, Komisi Yudisial untuk Hakim dan Pengadilan  Progresif, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi  Yudisial, Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta, 2006
3.      Saifudin, Lukman Hakim, Komisi Yudisial dan Fungsi  Checks and  Balances dalam Kekuasaan Kehakiman, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, Komisi Yudisial  Republik Indonesia, Jakarta, 2006.
4.      Sirajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
5.      Ustman, Yuhanes, Komisi Yudisial, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial RI, Jakarta, 2006.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar