Tugas
Politik Hukum
Tentang
Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif
Disusun
Oleh :
Fahrezi
Ramadan ( 0910111037 )
Fakultas
Hukum
Universitas
Andalas
2011
1.
Kekuasaan Legislatif
JAKARTA
- Menyadari lemahnya kinerja parlemen, DPR melalui rapat paripurna, Februari
2006 lalu, akhirnya membentuk tim khusus yang tujuannya meningkatkan kinerja
DPR, setelah mendapat sorotan kritik dari berbagai kalangan masyarakat.
Sebagaimana fungsi dan peran utamanya sebagai pembuat undang-undang (UU), DPR
dinilai mandul dan sering kali tidak berpihak pada kepentingan masyarakat
ketika mengesahkan suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi UU.
Uang
haram legislasi dari pendonor, entah itu dari suatu lembaga pemerintah maupun
titipan dari pihak swasta, seringkali disebut-sebut menjadi persoalan utama
yang mempengaruhi kinerja anggota parlemen. Bukti teranyar kemudian menguatkan
dugaan-dugaan itu ketika Indonesian Corruption Watch (ICW) melaporkan ke Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) ihwal indikasi aliran dana sebesar Rp 4,5 miliar
dari Bank Indonesia (BI) ke Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004, dalam
pembahasan sejumlah RUU ketika itu.
Sebenarnya
uang "haram” dalam proses legislasi bukanlah satu-satunya permasalahan
yang menggerogoti kinerja anggota Dewan. Berdasarkan kajian PSHK terhadap
kinerja parlemen selama ini, ada dua pokok persoalan yang melingkupi dan harus
diperbaiki, yakni berkaitan dengan prosedur pembuatan UU dan sumber daya manusia
di DPR.Berbicara tentang prosedur legislasi. Menurut Bivitri, berarti berbicara
tentang pembentukan undang-undang dari awal sampai akhir. Mulai dari tahap
perencanaan, perancangan, pembahasan, hingga pengundangan, sebagaimana diatur
dalam UU 10/2004.
Berkaitan dengan ini, salah satu
penyebab tidak tercapainya target Prolegnas selama ini merupakan akibat dari
menumpuknya beban kerja pembahasan RUU pada sejumlah anggota DPR. Ini terlihat
dari hasil kinerja DPR yang secara kuantitas baru mengesahkan 77 UU baru dari
184 UU yang ditargetkan Prolegnas untuk periode 2004-2009. Hasil ini pun banyak
yang merupakan kelanjutan UU tahun lalu dan sebagiannya juga meng-copy-paste UU
sebelumnya. Adapun akar penyebab penumpukan beban kerja pada anggota adalah sistem
pengelompokan berdasarkan Belum lagi, kerap rapat tersebut tak kuorum yang juga
sering disebabkan tak sinkronnya jadwal rapat antar alat kelengkapan Dewan.Pun,
sumber daya manusia (SDM) pendukung dalam pelaksanaan fungsi legislasi juga
mengalami kendala. fraksi.
Fraksilah yang dianggap harus memberikan opini, menegosiasikan, dan menyepakati
substansi undang-undang.
Analisa :
Akhir – akhir ini kita lihat kinerja
DPR sangat bobrok sekali.dalam ketatanegaraan yang lazim melakukan kekuasaan
legislatif adalah DPR sebagai Lembaga Legislatif, DPR berfungsi membuat UU
dengan memperhatikan keinginan rakyat serta menampung aspirasi masyarakat.DPR
banyak mengesahkan UU yang sesuai dengan kepentingan Oknum – Oknum tertentu
atau pihak swasta yang mempunyai kepentingan dalam UU itu dengan menerima uang
haram sebagai permintaan karna telah dilakukannya kehendak Oknum tertentu itu. Jadi
seharusnya, orang - orang legislatif lah yang harus
mempunyai integritas dan profesional
yang lebih tinggi dari lembaga – lembaga lainnya. disini
kita bisa lihat Integritas Dan Profesional yang kurang dari
Lembaga
Legislatif sendiri Mungkin karena Persyaratan & Perekrutan Legislatif yang
tidak begitu sulit dalam hal
Integritas & Profesionalis sehingga membludaknya yang mencalonkan diri hingga kita tidak tahu yang masuk jajaran Legislatif, apakah mempunyai Integritas & Professional atau tidak. Dan ataukah mereka hanya mengejar Gaji semata, yang memang lumayan besar.
Integritas & Profesionalis sehingga membludaknya yang mencalonkan diri hingga kita tidak tahu yang masuk jajaran Legislatif, apakah mempunyai Integritas & Professional atau tidak. Dan ataukah mereka hanya mengejar Gaji semata, yang memang lumayan besar.
Dengan
begitu, produk hukum yang
dihasilkan tidak sesuai
dengan keinginan rakyat dan terjadi
kerancuan dalam penafsiran
undang-undang dimaksud.maka tidak adanya
kepastian hukum
. kepastian hukum merupakan jaminan bagi anggota masyarakat,
bahwa ia akan
diperlakukan oleh Negara atau Penguasa
berdasarkan aturan hukum dan tidak dengan sewenang-wenang, begitu juga
(sebanyak mungkin) kepastian mengenai isi aturan itu. Kepastian hukum merupakan
salah satu prinsip, asas utama penerapan
hukum disamping dan sering berhadapan
dengan asas keadilan.apabila DPR membuat
peraturan itu mengacu kepada kepentingan rakyat
diharapkan stabilitas politik dan ekonomi cepat pulih kembali serta negara indonesia ini dapat mewujudkan ide demokrasi serta
perwujudan kedaulatan rakyat sebagimana yang tercantum dalam UUD 1945 guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis
berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Banyak
produk hukum yang di buat di negara ini melalui proses yang lama dan
berbelit-belit tetapi pada saat peraturan itu sudah jadi dan di berlakukan
justru menimbulkan masalah atau peraturan itu tidak bisa di terapkan, peraturan
itu hanya menjadi, pajangan dan hiasaan bernegara untuk menakut- nakuti orang
buta. Hukum bertaring ketika di hadapkan kepada tembok yang lembek tetapi
ketika berhadapan dengan tembok baja hukum itu tumpil dan tidak bermakna. Hukum
sesuatu amanah atau suatu perjanjian social antara rakyat dan penguasa sehingga
hukum yang baik harus memenuhi beberapa tahapan :
a. peraturan atau hukum itu dibuat
harus memperhatikan keadaan masyarakat sehingga ketika hukum itu di berlakukan
akan di taati dan di patuhi masyarakat.
b. hukum di buat harus mempertimbangkan
aspek yuridis dalam hal ini melihat jangan sampai peraturan yang satu dengan
yang lainnya bertentangan sehingga akan menimbulkan ketidakpastian dalam
penerapannya.
c. harus dilihat juga dasar filosofi
peraturan itu dibuat sehingga ketika peraturan itu sudah jadi, tidak
menimbulkan masalah baru.
Pada
konfigurasi politik demokrasi, lembaga perwakilan rakyat dalam
menentukan arah kebijakan sangat menetukan arah kebijaksanaan politik hukum
nasional sehingga DPR dapat
di anggap sebagai Representasi rakyat
yang di wakilinya.
Pengaruh politik
sangat mempengaruhi lahirnya produk hukum. Fungsi dan peran hukum sangat
dipengaruhi dan kerapkali diintervensi oleh kekuatan politik. Di luar kekuatan-kekuatan politik
yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya
yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh
institusi-institusi politik.
Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui
keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut
sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan , organisasi profesi, tokoh agama, dan
lain-lain.
Karena itu perlu menjadi catatan bagi para
pembentuk hukum adalah penting memperhatikan suara dari kelompok masyarakat
yang mayoritas yang tidak punya akses untuk mempengaruhi opini publik, tidak
punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik. Disinilah peranan para wakil rakyat yang terpilih
melalui mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur
politik untuk menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul
norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai
itu menjadi hukum positif. Dalam hal produk itu dianggap melanggar norma-norma
dan nilai-nilai yang mendasar yang dihirmati oleh masyarakat dan merugikan
hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi, maka rakyat dapat menggugat negara
(institusi) tersebut untuk membatalkan
peraturan yang telah dikeluarkannya dan dinyatakan tidak berlaku.
Apabila DPR dalam membuat peraturan
perundang-undangan haruslah berlandaskan pancasila ( filosofis ) dan UUD 1945 (
konstitusional ) serta berfungsi mengayomi,menciptakan ketertiban sosial , mendukung
pelaksanaan pembangunan dan mengamankan hasil-hasil dari pembangunan . Proses
penyusunan UU di DPR membuktikan secara nyata adanya relasi yang sangat erat
antara produk hukum sebagai proses
politik hukum dengan kepentingan politik .Bila UU yang diajukan oleh pemerintah
dirasa tidak menguntungkan bagi mereka , mereka berupaya agar UU itu diubah
atau tidak diloloskan. Bukti yang paling nyata adalah ketika proses penyusunan
UU pemilu.masing-masing fraksi yang terdapat di DPR berupaya agar format UU
pemilu itu menguntungkan partainya. Sebagaimana kita ketahui, DPR terdiri dari
beragam partai politik yang masing-masing memiliki agenda politik tertentu yang
dalam banyak proses penyusunan UU digunakan sebagai kerangka berfikir dalam
meloloskan suatu UU.
Kondisi di atas sangat alamiah terjadi
berdasarkan anggapan bahwa proses politik itu tidak bebas nilai ( Non- value
).sebaliknya ,ia sarat dengan nilai ( value loaded ) yaitu perbedaan ideologi
dan kepentingan politik itu sendiri.bahkan, hingga apa yang dilakukan
pemerintah pun sarat dengan kepentingan politik tertentu.Beberapa contoh yang
dapat dikemukakan disini adalah disahkannya UU No I Tahun 1974 Tentang
Perkawinan , UU No 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama, dan lahirnya Inpres No I Tahuun 1991
Tentang Kompilasi Hukum Islam .Para pengamat menilai bahwa disahkannya beberapa peraturan perundangan
diatas adalah salah
satu bentuk akomodasi
pemerintah terhadap
kepentingan mayoritas umat islam .Politik akomodasi
ini dalam banyak
hal memberi keuntungan
bagi pemerintah yaitu
setidak – tidaknya meredam
keinginan umat islam untuk
mendirikan negara islam karena
sudah merasa dipenuhi
kepentingan agamanya lewat
Undang – Undang tersebut .
UU sebagai produk hukum DPR tidak
datang dari ruang hampa,tetapi merupakan aktualisasi dari kehendak-kehendak
politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain yang muncul dari tingkat
infrastruktur politik kemudian diperdebatkan dan mengalami kristalisasi pada
tingkat suprastruktur politik yang kemudian output-nya adalah rumusan politik
hukum yang terdapat dalam UU apabila merupakan produk DPR.
Seperti yang kita lihat banyak produk
hukum dari DPR tanpa memperhatikan
keadaan masyarakat hanya mementingkan kelompok kepentingan semata padahal didalam UUD 1945 setelah perubahan
UUD 1945,masyarakat diberi hak
untuk berpartisipasi dalam
pembentukan Undang – Undang .
pasal 53 UU No. 10 Tahun 2004
menyatakan masyarakat berhak
memberikan masukan secara lisan
atau tertulis dalam
proses pembahasan rancangan Undang – Undang.hak masyarakat
untuk berpartisipasi secara
langsung akan mengubah
relasi antara masyarakat
dan DPR dalam proses pembentukan
Undang – Undang.dalam hal ini
yuliandri menyatakan bahwa
partisipasi masyarakat dalam
pembentukan Undang – Undang
merupakan pelaksanaan asas
konsensus antara rakyat dan
pembentuk undang – undang
.dengan demikian, mengabaikan hak
masyarakat untuk berpartisipasi dalam
proses pembentukan undang –undang dapat
mengakibatkan sebuah undang – undang menjadi
cacat prosedural.
Perkembangan eksternal
lainnya, kehadiran Mahkamah Konstitusi Pasal 24 C
Ayat 1 UUD 1945
menyatakan, Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya
bersifat final untuk
menguji undang – undang terhadap
UUD. Dengan kewenangan
tersebut , dalam proses
pembentukan dan perumusan
materi atau substansi
undang – undang, DPR dan
presiden harus mewaspadai
kemungkinan adanya judicial
review kepada Mahkamah
Konstitusi.pelembagaan
judicial review diperlukan
karna ‘’ Undang – Undang adalah
produk politik ‘’ yang pasti
tidak steril dari
kepentingan politik lembaga
yang membentuknya .sebagai produk
politik, sangat mungkin Undang – Undang ( baik
secara formil maupun
materil ) bertentangan dengan
konstitusi.oleh karna itu, sekalipun tidak
terlibat secara langsung
dalam proses pembentukan
undang – undang, setelah
perubahan UUD 1945, Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu
faktor penting yang
dapat mempengaruhi fungsi
legislasi.
Referensi :
1. Moh.
Mahfud Md, Politik Hukum Di
Indonesia,Rajawali Pers , Jakarta , 2010
2. Didi Nazmi Yunas, Sh,Mh . Konsepsi Negara Hukum, Angkasa Raya, 1992.
3. Imam
Syaukani Dan A. Ahsin Thohari . Dasar – Dasar
Politik Hukum, Pt Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006
4. C.S.T
Kansil .Pengantar Ilmu Hukum Dan
Tata Hukum Indonesia .Jilid I , Cet. Ix , Balai Pustaka , Jakrta , 1992
5. Saldi Isra . Rajawali Pers , pergeseran fungsi
legislasi , jakarta , 2010
Analisa :
Semangat
perubahan UUD 1945 mengenai jabatan Presiden dilatarbelakangi oleh pengalaman ketatanegaraan
kita selama ini yang menunjukkan bahwa kekuasaan Presiden sangat besar, tidak
ada pembatasan masa jabatan seseorang untuk menjadi Presiden serta mekanisme
pemilihan Presiden yang hanya dilakukan oleh MPR dan tidak mapannya posisi
Presiden yang setiap saat dapat dijatuhkan oleh MPR.suatu lembaga
perwakilan dipandang sebagai
institusiyang memiliki legitimasi kuat dalam
pembentukan undang – undang,sementara
penyelenggaraan negara dilaksanakan
oleh lembaga eksekutif.bebagai pola hubungan antara
cabang kekuasaan negara
tersebut mengarah kepada
pencapaian pembagian kekuasaan
seefektif mungkin agar
prinsip demokrasi yang
bersumber dalam pelaksanaan
kedaulatan rakyat dapat
terselenggara dengan baik.
kekuasaan eksekutif
dipengaruhi oleh ajaran
Trias Politica yang
membagi 3 kekuasaan
yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif
dan kekuasaan eksekutif.Kekuasaan
Eksekutif adalah
Kekuasaan menjalankan undang-undang ini yang dipegang oleh kepala negara yang tentunya tidak
dapat sendiri menjalankannya, oleh
karena itu dibantu oleh
menteri – menteri negara
yang bersama-sama dalam
suatu badan (kabinet) .Walaupun
pada kenyataannya ajaran
trias politica sulit
untuk dilaksanakan, namun ajarannya
itu mengingatkan kepada
kita bahwa kekuasaan
negara itu harus
dicegah jangan sampai
berada di dalam
satu tangan.karena dengan demikian
akan timbul kekuasaan
yang sewenang – wenang. Oleh sebab itu
kekuasaan negara harus
dibagi – bagi dan dipisahkan
satu sama lain dalam
tiga macam kekuasaan.
Untuk membangun penyelenggaraan pemerintahan
yang demokratis , konstitusi
harus mampu mencegah
terjadinya penumpukan kekuasaan
pada satu cabang
kekuasaan negara.sebagaimana dikemukakan
cass R.sustein, mencegah
terjadinya penumpukan kekuasaan
menjadi tujuan utama
konstitusi, yaitu menciptakan kondisi
awal kehidupan demokrasi
yang lebih baik.bagaimanapun , apabila eksekutif
terlampau dominan sementara
kekuasaan legislatif lemah
yang terjadi adalah
kekuasaan eksekutif yang
eksesif yang bekerja
tanpa kontrol.
Presiden hanya
mungkin mengatur sesuatu
yang lain dari
ketentuan undaang – undang
apabila materi aturan
ini bersifat internal
administrasi pemerintahan ataupun
dalam hal terjadinya
keadaan darurat dimana presiden berwenang menerbitkan perppu.selain
itu kewenangan presiden
untuk mengatur haruslah
bersumber kepada kewenangan
legislatif di DPR.sejak
reformasi tidak ada
satupun presiden berhasil
mengontrol birokrasi negara.presiden dalam
membuat kebijakan negara
harus mendapat persetujuan
DPR.dalam kaitan ini
banyaknya interpelasi DPR terhadapbeberapa kebijakan
yang dikeluarkan presiden.pola
hubungan antar lembaga negara menjadi
ruwet dan sering
konflik, intervensi partai
politik di DPR
sangat kuat terhadap
presiden telah menciptakan
ketidakstabilan dalam politik.eksekutif pelaku
utama kekuasaan negara.pelaksana tugas
eksekutif dilakukan oleh
sebuah organ yang
disebut kabinet.
Dalam sistem
presidensiil, menteri – menteri
negara merupakan pembantu
presiden dan langsung
dipimpin olehnya ( pasal 17
UUD 1945
) .berdasarkan ketentuan ini, maka
presiden memiliki otoritas
yang tinggi untuk
menentukan siapa yang
akan menduduki jabatan
menteri . Presiden yang memperoleh
mandat dari rakyat
dan oleh karenanya
harus bertanggung jawab
kepada rakyat.Demikian juga
pembentukan kabinet dalam
sistem presidensiil didasarkan
sepenuhnya kepada pilihan
presiden yang umumnya
dipilih berdasarkan kriteria
yang profesional yang
disebut kabinet keahlian.Presiden Berada
pada posisi yang
kuat dan memiliki
kekuasaan yang luas
dalam menentukan kebijakan
publik dalam batas – batas
rambu undang – undang.
Sebelum membentuk
kabinet baru, kita
dikejutkan dengan ulah
pemerintah yang gemar membentuk lembaga
nonstruktural yang hanya berujung
pada pemborosan APBN. terbentuknya lembaga
baru ini menimbulkan
keruwetan birokrasi akibat
tumpang tindihnya wewenang dan
tanggung jawab . seharusnya pemerintah
tidak membuat kebijakan
seperti itu, seharusnya
lembaga itu di buat
sedikit tapi kewenangan,tanggung jawab
dan kerjanya banyak
sehingga banyak mengeluarkan
uang negara melaui APBN.daripada membuat
lembaga baru lebih baik
menggunakan uang itu
untuk pembangunan
yang sesuai dengan
tujuan bangsa dan
bisa mengurangi pengangguran
di negara yang
kita cintai ini.
Yang Disebut Pemerintahan
pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’
dari skenario sistem yang mengaturnya. Gagasan
Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan
berkeadilan, dikembangkan dengan menata
supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan social yang tertib dan teratur, serta dibina
dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jadi bukan
hanya untuk membentuk lembaga baru
saja tetapi mengembangkan
skill dan kinerja lembaga
yang sudah ada
agar bisa bekerja efektif,efisiensi,baik dan
lebih bertanggung jawab
dalam menjalankan tanggung
jawabnya sebagai wakil
rakyat .
Sama Seperti
Komisi Hak
Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum
(KPU), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Penyiaran indonesia (KPI),
dan lain sebagainya Lembaga, badan atau
organisasi-organisasi ini sebelumnya
dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi
independen sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan
hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan ataupun pemberhentian pimpinannya.ini berarti
semakin banyaknya lembaga
baru yang kemudian
berkembang menjadi independent
sehingga terkuras habisnya
APBN . orang ber-anggapan
dengan dibentuknya banyak
lembaga baru oleh
pemerintah demi tujuan
kelompok kepentingan semata.
Badan dan Lembaga baru Yang
dibentuk oleh lembaga
eksekutif pertama – tama berada
di bawah naungan
presiden
tetapi lama kelamaan
berkembang menjadi bersifat independen.Bentuk keorganisasian banyak Negara modern dewasa ini juga mengalami perkembangan-perkembangan
yang sangat pesat, khususnya berkenaan dengan
inovasi-inovasi baru yang tidak terelakkan. Perkembangan – perkembangan baru itu juga terjadi di
Indonesia di tengah keterbukaan yang muncul
bersamaan dengan gelombang demokratisasi di era reformasi akhir –
akhir ini. meskipun
Independensi
lembaga-lembaga ini diperlukan untuk kepentingan
menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif.
Muncul Kesadaran Yang Makin Kuat Bahwa Badan-Badan / Lembaga –
Lembaga Negara Itu Harus Dikembangkan Secara independen . jika untuk membuat
lembaga baru itu
digunakan presiden untuk
mengawasi jalannya pembangunan ,padahal masyarakat
juga bisa mengawasi
pembangunan dan masyarakat
juga mempunyai andil
dalm pembangunan.pembangunan yang dilaksanakan oleh
pemerintah harus adanya partisipasi masyarakat
di dalamnya.partisipasi
masyarakat diartikan sebagai
keikutsertaan masyarakat
,baik secara individual
maupun kelompok, secara aktif
dalam penentuan kebijakan
pemerintah terutama dalam pembangunan.sebagai sebuah
konsep yang berkembang
dalam sistem politik
modern , partisipasi merupakan ruang
bagi masyarakat untuk
melakukan negosiasi dalam
proses perumusan kebijakan
terutama yang berdampak
langsung terhadap kehidupan
masyarakat.
Sejalan dngan
pandangan Robert B. Gibson tersebut,mas achmad
santosa menambahkan bahwa pengambilan
keputusan publik yang
partisipatif barmanfaat agar
keputusan tersebut benar – benar
mencerminkan kebutuhan , kepentingan
serta keinginan masyarakat
luas.kalau dalmm demokrasi elit
partisipasi masyarakat
begitu dibatasi , dalam demokrasi
partisipatoris keterlibatan masyarakat
yang lebih luas
dan bermakna merupakan
keniscayaan.
Argumentasinya ,makna
hakiki dari demokrasi adalah
memberi dorongan bagi
masyarakat berperan serta
dalam pembuat keputusan
yang mempengaruhi kehidupan
mereka.ditambahkan Robert B. Gibson,
demokrasi partisipatori tidak
hanya berupaya mewujudkan
pemerintahan yang demokratis
tetapi juga masyarakat
yang demokratis.dengan demikian , mengabaikan peran
serta masyarakat , terutama di
negara berkembang ,aakan gagal
menjadikan hukum sebagai
program transformasi karena
rakyat tidak difasilitasi
secara baik dan tidak didengar
dalam penentuan kebijakan
pemerintah. Peluang
masyarakat untuk dapat
ikut serta dalam
penentuan kebijakan pemerintah
merupakan prinsip yang
berlaku di semua
negara demokrasi.
Referensi :
1. Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994
2. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, 1988
3. Didi
Nazmi Yunas, Sh,Mh . Konsepsi
Negara Hukum, Angkasa Raya, 1992.
4. Moh. Mahfud Md, Politik Hukum Di Indonesia,Rajawali Pers
, Jakarta , 2010
5. Saldi Isra . Rajawali Pers , pergeseran fungsi
legislasi , jakarta , 2010
3.kekuasaan yudikatif
Baleg
Gagas KY Tak Bisa Periksa Putusan
Perdebatan
antara Mahkamah Agung (MA) dan KY ini sepertinya akan segera berakhir. Badan
Legislasi (Baleg) yang sedang menggodok draf revisi UU MA dan UU KY mengarahkan
bahwa KY memang tidak boleh lagi memeriksa putusan hakim. KY harus fokus kepada
fungsinya mengawasi kode etik dan pedoman perilaku hakim sesuai dengan UUD
1945. “RUU MA sedang kami godok. Masa’ KY bisa melakukan pengawasan secara
langsung (memeriksa putusan,-red). Sedangkan, tugasnya kan hanya mengawasi code
of conduct atau code of ethic. Hakim itu independen,” ujar Dimyati di Gedung
DPR, Selasa (11/5).
Dimyati menuturkan pengaturan
pengawasan KY dalam UU MA ini memang hal krusial dalam revisi UU MA ini.
Sementara, untuk isu-isu yang lain, Dimyati menilai sudah tidak ada lagi
masalah. “Usia pensiun hakim agung 70 tahun sudah cukup ideal. Jadi itu tidak
termasuk yang akan direvisi,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan ini. Sekedar
mengingatkan, Baleg telah mencanangkan akan segera merampungkan penyusunan draf
23 RUU pada masa sidang IV tahun 2010-2011 ini. Revisi RUU MA termasuk dari 23
RUU target Baleg yang drafnya akan diselesaikan itu.
Sementara, Ketua Asosiasi Advokat
Konstitusi (AAK) Bahrul Ilmi Yakup meminta agar prosedur pengawasan KY itu
dipertegas dalam revisi UU KY yang juga sedang digodok di DPR. Sebelum proses
ini selesai, Bahrul tak sependapat bila KY melakukan pemeriksaan terhadap
hakim. “Asosiasi Advokat Konstitusi menolak segala bentuk pemeriksaan hakim
oleh KY, sebelum ada revisi atau pembentukan UU KY oleh DPR yang menitahkan
kewenangan KY memeriksa hakim secara tegas, lugas, limitatif dan
konstitusional,” jelasnya dalam siaran pers yang diperoleh
hukumonline.
Bahrul mengingatkan bahwa Mahkamah
Konstitusi (MK), dalam putusan judicial review UU KY, pernah meminta pengaturan
agar diperjelas. Pasalnya, aturan pengawasan hakim dalam UU KY tidak rinci
mengatur mengenai prosedur pengawasan, tidak jelas dan tegas menentukan siapa
subjek yang mengawasi, apa objek yang diawasi, serta instrumen apa yang
digunakan. Mahkamah, masih dalam putusannya, juga menegaskan bahwa persoalan
teknis yudisial bukan merupakan kewenangan KY. Karenanya, pengaturan ketentuan
yang ketat harus dilakukan agar tidak terjadi penyimpangan. “Oleh karena itu
pembentuk undang-undang haruslah mengatur pengawasan itu secara jelas dan rinci
dengan cara mengadakan perubahan dalam rangka elaborasi, harmonisasi, dan
sinkronisasi atas UU KK, UU KY, dan UU MA dengan selalu merujuk pada UUD 1945,”
demikian bunyi pertimbangan Mahkamah.
Dimyati mengaku mengetahui adanya putusan MK itu. Ia berjanji bahwa proses penyusunan draf RUU MA ini akan merujuk kepada pertimbangan MK dalam putusan tersebut. “Kita tentu harus merujuk pendapat MK, agar nanti tidak dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945,” pungkasnya.
Dimyati mengaku mengetahui adanya putusan MK itu. Ia berjanji bahwa proses penyusunan draf RUU MA ini akan merujuk kepada pertimbangan MK dalam putusan tersebut. “Kita tentu harus merujuk pendapat MK, agar nanti tidak dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945,” pungkasnya.
Analisa :
Dalam rangka implementasi check and balances system,
pada hakekatnya semua kekuasaan baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif
perlu adanya kontrol dan pengawasan. Termasuk Hakim Agung juga harus ada
pengawasan.
Kegagalan sistem yang ada dalam mencaiptakan peradilan yang lebih baik pada
masa lalu telah mendorong timbulnya pemikiran kearah pembentukan suatu lembaga
pengawas eksternal (external auditors) yang bernama Komisi Yudisial. Oleh karena itu sistem pengawasan
hakim agung idealnya dilakukan dengan model pengawasan ganda baik internal
maupun eksternal, supaya pengawasan berjalan efektif yang pada gilirannya
mendorong terciptanya peradilan yang lebih baik. Pengawasan internal dilakukan
oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Agung (MKMA), sedang pengawasan eksternal
dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Meskipun demikian harus ada proporsi pengawasan yang
jelas antara MA dan Komisi Yudisial. Misalnya kewenangan pengawasan internal MA
mencakup pengawasan di bidang kompetensi dan profesionalisme, administratif,
organisatoris dan financial. Sedangkan kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Dalam
perkembangannya, fungsi pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial seolah tidak
ada artinya lagi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi. Meskipun kalau
dicermati sebenarnya putusan Mahkamah Konstitusi tidak bermaksud menegasikan
kewenangan Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan, keluhuran dan perilaku
hakim agung, hanya perlu dilakukan harmonisasi dengan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Demikian pula hakim di lingkungan peradilan lain
juga perlu pengawasan internal oleh pimpinan dan atasan institusi peradilan
maupun pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial. Jadi pengawasan sudah tepat
dilakukan secara berjenjang mulai dari bawah sampai puncaknya di Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial disamping punya
kewenangan mengawasi para hakim, sekaligus mestinya juga diberi kewenangan
untuik menjatuhkan sanksi. Peradilan yang lebih tinggi secara automatically
mempunyai kewenangan pengawasan terhadap peradilan di bawahnya. Di samping
lembaga pengawasan formal yang sudah ditentukan dalam perundang-undangan,
masyarakat dan LSM juga dapat berperan serta melakukan pengawasan dengan
memberikan informasi tentang penyimpangan yang dilakukan oleh hakim.
Ruang lingkup pengawasan hakim pada dasarnya dapat
dibedakan dua macam, yaitu dalam kedinasan maupun di luar kedinasan. Ruang
lingkup pengawasan terhadap hakim tersebut harus dirumuskan normanya secara
jelas termasuk parameternya. Sehingga dapat diketahui secara pasti perbuatan
hakim manakah yang menyimpang dan tidak menyimpang baik dalam kedinasan maupun
diluar kedinasan. Sehubungan dengan itu perlu dibuat pedoman pengawasan bagi
hakim yang dituangkan dalam perundang-undangan agar memiliki daya mengikat bagi
hakim dengan disertai bentuk sanksi dan prosedur penindakannya.
Pelaksanaan
pengawasan terhadap hakim sebagai konsekwensi check and balances system
tidaklah ditujukan untuk mengurangi independensi hakim dalam menjalankan tugas
dan wewenang yudisialnya, yaitu dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu
perkara. Pengawasan dilakukan dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim. Apakah perilaku tertentu seorang hakim sudah
sesuai atau menyimpang dari norma yang telah ditentukan. Masalah yang muncul
adalah sulitnya memisahkan secara tegas korelasi antara perilaku hakim dengan
independensi tugas yudisialnya. Dalam praktik selama ini, Komisi Yudisial
berasumsi bahwa putusan hakim yang ”bermasalah” berkorelasi positif dengan
perilaku hakim yang menyimpang.
Asumsi seperti itu tidak salah, karena putusan yang
”bermasalah” dapat menjadi indikasi atau petunjuk bahwa perilaku hakimnya juga
menyimpang dari norma yang penyimpangannya harus dibuktikan lebih lanjut. Oleh
karena perlu dicarikan parameter kongkrit seperti apa kategori suatu putusan
dianggap bermasalah. Sudah
tentu putusan ”bermasalah” di sini tidaklah selalu identik dengan putusan
”kontroversial” karena ”terobosan hukumnya”, seperti yang pernah diputuskan
oleh Hakim Bismar Siregar yang menganalogikan kemaluan wanita sebagai barang
yang dapat dikenakan delik penipuan terhadap orang yang mengambilnya secara
melawan hukum. Karena apa yang dilakukan oleh Hakim Bismar Siregar adalah
bentuk ”ijtihad hukum” dalam rangka memberikan perlindungan dan keadilan bagi
wanita yang ditinggal pasangannya secara tak bertanggung jawab. Putusan
bermasalah disini lebih berkonotasi dengan adanya mafioso peradilan atau
timbulnya judicial corruption.
Pengawasan terhadap perilaku
hakim dapat dilakukan dengan cara mengkaji putusan pengadilan. Kredibilitas
seorang Hakim hakekatnya juga ditentukan oleh putusan-putusan yang dibuatnya.
Tidak berlebihan kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa mahkota atau wibawa
hakim terletak pada putusannya, terutama pada bagian pertimbangan hukumnya.
Untuk mencari hakim yang jujur dan berkualitas, dapat dilihat dari
putusan-putusan yang telah dihasilkannya selama ini, yaitu dengan cara
melakukan eksaminasi putusan.
Eksaminasi juga bisa digunakan untuk memenuhi
kebutuhan akuntabilitas seperti yang selama ini disuarakan oleh masyarakat.
Melalui eksaminasi, masyarakat bisa mengetahui dasar pertimbangan seorang hakim
dalam mengambil putusannya. Dari situ, bisa dinilai pula apakah putusan hakim
tersebut diambil dengan cara-cara yang semestinya atau malah sarat dengan
nuansa KKN. Eksaminasi
putusan biasanya dilakukan oleh pimpinan pengadilan atas putusan hakim
bawahannya sebagai bagian dari sistem pengawasan dan penilaian hakim tersebut.
Dalam kaitan ini, eksaminasi dilakukan untuk mencari atau menemukan berbagai
permasalahan dalam pertimbangan hukum maupun putusan hakim terutama menyangkut
penerapan hukum materiil maupun formilnya dalam kerangka penilaian secara
obyektif menyangkut perkara yang bersangkutan.
Meskipun lembaga eksaminasi sudah dikenal lama di
lingkungan pengadilan, akan tetapi dalam prakteknya cenderung tidak efektif dan
jarang sekali dilakukan. Belakangan
ini eksaminasi putusan hakim juga dilakukan secara eksternal oleh lembaga
bentukan masyarakat untuk keperluan pendidikan kepada masyarakat tentang
kualitas seorang hakim. Dan cara eksaminasi ini telah ditempuh oleh beberapa
Ornop yang tergabung dalam koalisi pemantau peradilan, seperti Indonesian Court
Monitoring (ICM) dan Indonesian Corruption Watch (ICW) dengan melibatkan para
pakar hukum, akademisi, maupun praktisi hukum. Alasannya sederhana, publik
selama ini tidak pernah tahu atau dilibatkan terhadap eksaminasi yang digagas
oleh lembaga peradilan sehingga tidak ada kontrol sama sekali. Di samping itu,
Mahkamah Agung dan jajaran pengadilan diharapkan mau membuka mata bahwa
masyarakat tidak pernah berhenti mengawasi lembaga peradilan ini. Secara
umum yang dimaksud eksaminasi adalah menguji kembali putusan hakim dengan
melihat isi/materi dari putusan tersebut.
Dalam
kaitannya dengan pengawasan hakim, prinsip akuntabilitas dan transparansi harus
diterapkan. Sebagai contoh dalam lembaga peradilan seharusnya ada kejelasan
fungsi, tugas, wewenang dan mekanisme pertanggungjawaban organ dalam pengawasan
hakim-hakimnya sehingga pelaksanaan pengawasan di lingkungan peradilan dapat
terlaksana secara efektif. Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan mempunyai
wewenang melakukan pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim (Lihat Pasal 13
ayat (1) UU No. 2 Tahun 1986 jo. Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 tahun
2004).Berdasarkan kewenangannya tersebut, Mahkamah Agung mestinya harus
mengumumkan secara berkala kepada publik mengenai kinerjanya dalam hal
pengawasan terhadap para hakim, misalnya berapa banyak hakim yang melakukan
kesalahan dan apa bentuk tindakan atau sanksi yang dijatuhkan. Hal ini tentunya
akan direspon positif oleh publik ditengah krisis hilangnya kepercayaan publik
terhadap lembaga peradilan.
Di dalam Pasal 32 A ayat
(4) RUU yang berbunyi : ”Dalam hal ada perbedaan substansi hasil pengawasan
antara pengawasan eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengawasan
internal sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka yang berlaku adalah hasil
pengawasan Komisi Yudisial”. Pertanyaannya adalah apa reasoningnya pengawasan
eksternal Komisi Yudisial lebih didahulukan dari pengawasan internal Mahkamah
Agung. hal ini mengesankan
Mahkamah Agung sebagai supreme court diletakkan di bawah Komisi Yudisial.
Mestinya harus ada pembagian fungsi kewenangan yang jelas antara kedua lembaga
tersebut dalam pengawasan hakim agung, kalau perlu diperjelas ruang lingkup
pengawasan internal maupun pengawasan eksternal meliputi apa saja supaya tidak
menimbulkan tumpang tindih (over lapping) dalam pengawasan.
Referensi :
1. Manan,
Bagir, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Pusat Penerbitan Universitas LPPM Unisba, Bandung,
1995.
2. Rahardjo,
Satjipto, Komisi Yudisial untuk Hakim dan Pengadilan Progresif, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun
Komisi Yudisial, Komisi Yudisial Republik
Indonesia, Jakarta, 2006
3. Saifudin,
Lukman Hakim, Komisi Yudisial dan Fungsi
Checks and Balances dalam
Kekuasaan Kehakiman, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, Komisi
Yudisial Republik Indonesia, Jakarta,
2006.
4. Sirajuddin
dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006.
5. Ustman,
Yuhanes, Komisi Yudisial, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial RI,
Jakarta, 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar