Makalah
Konsepsi Negara Hukum
Tentang
Kekuasaan
Kehakiman Setelah Perubahan UUD 1945
Disusun
oleh :
Fahrezi
Ramadan ( 0910111037 )
Fakultas
Hukum
Universitas
Andalas
2011
Kata
Pengantar
Pertama kali penulis mengucapkan puji dan
syukur kehadirat ALLAH SWT karena berkat rahmat dan karunianyalah penulis dapat
menyelesaikan Makalah Tentang Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan UUD 1945.
Pada kesempatan ini tak lupa
pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing dalam mata kuliah
hukum konsepsi Negara hukum yaitu Bpk. Dr Suharizal,SH.MH yang telah membimbing
penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah
ini masih banyak terdapat kekurangan.untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah
ini.mudah-mudahan makalah yang penulis buat dapat memenuhi tugas konsepsi
negara hukum khususnya dan juga bermanfaat bagi pembaca.
Tak ada gading yang tak retak,Tak ada manusia
yang sempurna dan Tak ada manusia yang tak salah.Atas segala kesalahan dan
kekurangan penulis mohon maaf.
Padang,21
juli 2011
penulis
Daftar
isi
Bab I : Pendahuluan
I.1
: Latar Belakang Masalah
I.2
: Permasalahan
Bab II : Pembahasan
Bab III : Penutup
III.1
: Kesimpulan
III.2
: Saran
Daftar Pustaka
Bab
I
Pendahuluan
I.1
Latar Belakang Masalah
Sebelum adanya
Perubahan UUD, kekuasaan kehakiman atau fungsi yudikatif (judicial) hanya
terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak pada mahkamah agung. Lembaga
Mahkamah Agung tersebut, sesuai dengan prinsip ‘independent of judiciary’
diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi
oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama pemerintah. Prinsip kemerdekaan
hakim ini selain diatur dalam Undang-Undang pokok kekuasaan kehakiman, juga
tercantum dalam penjelasan pasal 24 UUD 1945 yang menegaskan bahwa kekuasaan
kehakiman tidak boleh dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lain.
Namun, setelah perubahan ketiga UUD 1945
disahkan, kekuasaan kehakiman negara kita mendapat tambahan satu jenis mahkamah
lain yang berada di luar mahkamah agung. Lembaga baru tersebut mempunyai
kedudukan yang setingkat atau sederajad dengan Mahkamah Agung. Sebutannya
adalah Mahkamah Konstitusi (constitutional court) yang dewasa ini makin banyak
negara yang membentuknya di luar kerangka Mahkamah Agung (supreme court). Dapat
dikatakan Indonesia merupakan negara ke-78 yang mengadopsi gagasan pembentukan
Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri ini, setelah Austria pada tahun 1920,
Italia pada tahun 1947 dan Jerman pada tahun 1948.
Perubahan pengaturan mengenai
kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945, dimaksudkan untuk mempertegas posisi
kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka dan pengaturan yang lebih
lengkap tentang wewenang dari masing-masing lembaga negara pelaku kekuasaan
kehakiman serta mekanisme pengisian anggota dari badan-badan kekuasaan
kehakiman itu. Hal ini penting karena kekuasaan kehakiman yang bebas harus
dijamin dan diatur secara tegas dalam undang-undang dasar agar tidak
disalahgunakan.
Pada dasarnya, eksistensi kekuasaan
kehakiman sebagai kekuasaan Negara yang merdeka dan bebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya tetap dipertahankan dalam praktek ketatanegaraan baik yang
menganut System Separation Of Power maupun System Distribution Of Power . Menurut
pasal 24 UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan . Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan
Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan TUN dan oleh sebuah MK. Ketentuan Pasal
24 UUD 1945 dimaksudkan untuk melindungi azas yang bebas dalam arti
mandiri,tidak terpengaruh oleh siapapun dan dalam bentuk apapun .
Kemungkinan
terjadi bahwa dalam penyelenggaraan kepentingan rakyat itu hak-hak rakyat
dilarang sehingga perselisihan yang akan timbul antara rakyat dengan pemerintah
dapat diadili oleh suatu pengadilan dengan seorang hakim yang tidak memihak
karena bebas dari pengaruh pemerintah. Kenyatan yang kita temui biasanya usaha
pemerintah ada dalam bentuk apapun untuk mempengaruhi kekuasaan pengadilan
sebagai pertanda bahwa dirinya mempunyai kepentingan dalam suatu perkara yang
diadili.akibatnya karena pengaruh tekanan itu hakim tidak bebas lagi dan tidak
bisa bersikap objektif dalam menilai suatu perkara sehingga keputusannya tidak
memuaskan .
Di samping itu masih terjadi
adanya suatu kerjasama antara jaksa ,hakim, dan pembela dalam menyelesaikan
suatu perkara maka masih sulit untuk disebut bahwa pengadilan itu telah bebas
sama sekali dari pengaruh eksekutif, baik secara langsung maupun tidak langsung.
pengaruh itu akan membawa akibat bagi sikap hakim yang tidak objektif atau
memihak. adanya ditemui kasus mafia peradilan dan kasus pemecatan pengacara
oleh menteri kehakiman membuktikan hal itu.
I.2
Permasalahan
1. Apa
saja perubahan yang sangat mendasar dari kekuasaan kehakiman setelah perubahan
UUD 1945 ?
2. Apa
lembaga baru yang di bentuk dalam kekuasaan kehakiman setelah perubahan UUD
1945 dan bagaimana eksistensi beserta kewenangannya ?
3. Bagaimana
eksistensi perubahan itu bagi system ketatanegaraan Indonesia ?
Bab II
Pembahasan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebelum dan setelah perubahan mengandung beberapa prinsip
yang memiliki perbedaan-perbedaan mendasar. Perubahan atas sistem
penyelenggaraan kekuasaan yang dilakukan melalui perubahan UUD 1945, adalah
upaya untuk menutupi berbagai kelemahan yang terkandung dalam UUD 1945 sebelum
perubahan yang dirasakan dalam praktek ketatanegaraan selama ini. Karena itu arah
perubahan yang dilakukan adalah antara lain mempertegas beberapa prinsip
penyelenggaraan kekuasaan negara sebelum perubahan yaitu prinsip negara hukum (rechtsstaat)
dan prinsip sistem konstitusional (constitutional system), menata
kembali lembaga-lembaga negara yang ada dan membentuk beberapa lembaga negara
yang baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip-prinsip negara
berdasar atas hukum. Perubahan ini tidak merubah sistematika UUD 1945
sebelumnya untuk menjaga aspek kesejarahan dan orisinalitas dari UUD 1945.
Perubahan terutama ditujukan pada penyempurnaan pada sisi kedudukan dan
kewenangan masing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara
demokrasi modern.
Sebelum amandemen, berdasarkan
Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman yang berpuncak pada Mahkamah
Agung. Pada masa yang lalu, kekuasaan kehakiman banyak dipengaruhi dan tidak
terlepas dari intervensi institusi negara lainnya termasuk pemerintah yang
benar-benar mempengaruhi jalannya peradilan yang bebas dan mandiri. Setelah
reformasi yang dimulai pada tahun 1998, maka ide untuk melakukan perubahan
terhadap UUD 1945 mulai muncul sejak tahun 1999 dengan Perubahan Pertama yang
berlanjut hingga Perubahan Keempat pada tahun 2002. Sejak tahun 1999,
sebenarnya telah dimulai upaya untuk menyatukan kekuasaan kehakiman dalam satu
atap (one roof system) yaitu di bawah Mahkamah Agung. Sebelumnya, lembaga
peradilan mempunyai dua atap, yaitu :
1. Peradilan umum dan peradilan tata
usaha negara: pembinaan administrasi, keuangan dan kepegawaian dibawah
pemerintah Departemen Kehakiman (sekarang Dephukham) dan pembinaan teknis peradilan
di bawah Mahkamah Agung R.I.
2. Peradilan agama: pembinaan
administrasi, keuangan dan kepegawaian dibawah Departemen Agama dan pembinaan
teknis dibawah Mahkamah Agung R.I.
3. Peradilan militer : pembinaan
administrasi, keuangan dan kepegawaian dibawah Departemen Pertahanan dan
pembinaan teknis dibawah Mahkamah Agung R.I.
Sistem dua atap tersebut mulai
diakhiri dengan diterbitkannya UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan
Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, dimana dalam Pasal 11 yang menjadi dasar hukum sistem dua
atap diubah menjadi, “Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
Ayat (1), secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung”. Jangka waktu peralihan menjadi satu atap di bawah
Mahkamah Agung tersebut adalah lima tahun sampai dengan Agustus 2004.
Kekuasaan yudikatif, yang
dalam UUD 1945 disebut dengan istilah kekuasaan kehakiman, diselenggarakan
untuk menegakkan hukum dan keadilan. Jika dilihat dari hasil Perubahan UUD
1945, ketentuan tentang kekuasaan kehakiman merupakan salah satu materi muatan
yang mengalami perubahan mendasar. Secara kuantitatif, perubahan tersebut dapat
dilihat dari penambahan butir ketentuan. Sebelum perubahan,ketentuan kekuasaan
kehakiman dan UUD 1945 hanya 2 pasal yang terdiri atas 3 ayat.
Setelah perubahan, ketentuan
tersebut menjadi 5 pasal terdiri atas 19 ayat. Dari sisi kelembagaan, Perubahan
UUD 1945 melahirkan 2 (dua) lembaga di lingkungan kekuasaan kehakiman, yaitu
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman dan
Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga yang terkait dengan keberadaan Mahkamah
Agung (MA).Agar kekuasaan kehakiman dapat menjalankan fungsi dengan
baik,dibutuhkan pengaturan lebih lanjut sesuai dasar konstitusional yang ada.
Perubahan UUD ini
mengintrodusi lembaga Negara yang baru dibidang yudikatif yaitu Mahkamah
Konstitusi yang kedudukannya berada disamping Mahkamah Agung. perubahan yang
sangat mendasar dari kekuasaan kehakiman setelah perubahan UUD 1945 adalah
:
a. Prinsip Konstitusionalisme
Kekuasaan kehakiman sebagai pilar
negara hukum Indonesia mendapat jaminan yang lebih kuat dalam perubahan UUD
ini. Hal ini nampak pada diberikannya kewenangan untuk melakukan hak uji (materil dan atau formil) atas undang-undang
yang merupakan produk bersama DPR dengan Presiden. Undang-undang yang telah
dikeluarkan oleh DPR dan Presiden dapat dinyatakan tidak berlaku baik
sebahagian maupun keseluruhannya oleh lembaga Yudikatif yaitu Mahkamah
Konstitusi. Hak ini sebelum perubahan UUD 1945 , tidak diserahkan kepada
kekuasaan yudikatif akibatnya segala produk undang-undang tidak mungkin
dilakukan pengujian oleh lembaga peradilan, sehingga tidak mungkin dapat
dibatalkan kecuali dicabut sendiri oleh DPR bersama Presiden. Dengan perubahan
ini mengantarkan negara ini kepada negara yang menganut prinsip
konstitusinalisme. Artinya segala tindakan dan produk lembaga-lembaga dan
istitusi Negara harus dapat diuji apakah sesuai atau tidak sesuai dengan
konstitusi berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi.
b. Prinsip Akuntabilitas pada Peradilan
Dalam rangka menegakkan prinsip
akuntabilitas lembaga peradilan, dalam perubahan UUD ini mengintrodusir lembaga
Negara yang baru yaitu Komisisi Yudisial yang merupakan bagian dari
pelakasanaan kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial adalah sebuah komisi yang
dibentuk dengan undang-undang yang memiliki kewenangan untuk mengawasi dan
menegakan harkat dan kehormatan hakim serta melakukan rekruitmen awal calon
hakim agung yang akan diajukan kepada DPR untuk dipilih. Walaupun komisi ini
merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, akan tetapi merupakan sebuah lembaga
pengawasan eksternal terhadap para hakim pengadilan. Komisi ini yang akan
menilai kinerja para hakim, dapat menjukan usulan promosi, demosi atau sanksi
kepada para hakim. Keanggotan komisi ini akan dipilih oleh DPR dan diangkat
oleh Presiden. Pembentukan lembaga ini dirasakan pentingnya karena selama ini
hakim tidak terjangkau oleh pengawasan yang bersifat eksternal.
c. Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945,
eksistensi peradilan agama juga diberikan kedudukan yang sederajat dengan
badan peradilan lainnya sebagai kesatuan sistem yang ditentukan berdasarkan
UUD. Sebelumnya, meskipun dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan
Kehakiman telah ditentukan kesederajatannya, tetapi secara administratif,
manajemen dan penyelenggaraan tugas-tugas peradilan, peradilan agama tertinggal
dibanding badan peradilan umum. Sekarang hal itu sudah tidak ada lagi karena
kesederajatan telah benar-benar direalisasikan, termasuk gaji, tunjangan,
bangunan gedung dan fasilitas lainnya.
d. Berkaitan dengan empat kali
perubahan UUD 1945, maka undang-undang yang mengatur tentang Mahkamah
Agung yaitu UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung telah mengalami dua
kali perubahan, yaitu pertama dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU
No. 3 Tahun 2009, yang memasukkan kembali apa yang telah ditentukan dalam UUD
1945 pasca perubahan dan tambahan ketentuan lainnya, antara lain : pasal
6A,pasal 6B,pasal 11.
e. Selain itu, terdapat dua lembaga
negara baru bentukan pasca perubahan UUD 1945 yaitu Mahkamah Konstitusi dan
Komisi Yudisial.
f. Berkaitan dengan berlakunya UU No.
12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah tanggal 28 April 2008, dimana Pasal 236C menentukan bahwa
penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18
(delapan belas) bulan sejak undang-undang tersebut diundangkan, maka Mahkamah
Agung, dengan Surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial No.
34/WKMA-NY/X/2008 tanggal 09 Oktober 2008, telah menyerahkan kewenangan
pemeriksaan sengketa pemilihan kepala daerah seperti itu kepada Mahkamah
Konstitusi terhitung sejak tanggal 1 Nopember 2008.
g. Hasil perubahan terhadap UUD 1945
tersebut sebenarnya mempertegas pemisahan kekuasaan antara kekuasaan eksekutif,
legislatif, yudikatif, yang sebelumnya dikesankan sebagai pembagian kekuasaan
sehingga seolah-olah kebebasan dan kemandirian Mahkamah Agung dan lembaga
peradilan lainnya tidak berifat mutlak bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya.
Saat ini, dengan telah selesainya peralihan kekuasaan kehakiman menjadi satu
atap di bawah Mahkamah Agung, maka kesan “pembagian” kekuasaan benar-benar
telah berubah menjadi “pemisahan” kekuasaan.
h. Setelah perubahan UUD 1945,
kekuasaan kehakiman selain berpuncak ke Mahkamah Agung juga berpuncak ke
Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga peradilan konstitusi bentukan pasca
perubahan UUD 1945 ini telah mengintrodusir lembaga negara yang baru di bidang
yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi yang kedudukannya berada di samping
Mahkamah Agung.
i.
Setelah
Perubahan Ketiga, maka kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945
pasca perubahan
Lembaga Negara dalam kekuasaan kehakiman
:

Mahkamah Agung (MA) adalah salah satu lembaga negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan
untuk menegakkan hukum dan keadilan (pasal 24 ayat 1). Kewenangan MA adalah
mengadili pada tingkat kasasi atas setiap perkara yang diajukan kepadanya,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan wewenang lain
yang diberikan oleh undang-undang (Pasal 24A ayat 1).
Dengan perubahan ini pula
dipertegas empat lingkungan peradilan yaitu lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara. Walaupun pengadilan yang ada dalam empat lingkungan
peradilan itu berada di bawah Mahkamah Agung bukan berarti MA dapat
mempengaruhi putusan badan peradilan di bawahnya. Kedudukan badan-badan
peradilan di bawah Mahkamah Agung itu adalah independen. Mahkamah Agung hanya
dapat membatalkan atau memperbaiki putusan badan peradilan di bawahnya dalam
tingkat kasasi. Sedangkan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang (Pasal 24 ayat 3). Badan-badan
lain yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah misalnya kejaksaan, kepolisian,
advokat/pengacara dan lain-lain.
Mahkamah Agung juga melakukan
langkah-langkah pembaruan yang telah berjalan sejak tahun 2002, meliputi :
1. Mediasi
Untuk mewujudkan asas sederhana, cepat dan murah serta untuk memberikan akses yang lebih besar bagi para perncari keadilan dalam menemukan penyelesaian perkaranya secara memuaskan dan memenuhi rasa keadilan, Mahkamah Agung telah mengintegrasikan proses mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan, yang dimaksudkan menjadi instrument efektif mengatasi penumpukan perkara.
Untuk itu, Mahkamah Agung telah menerbitkan peraturan Mahkamah Agung yaitu PERMA No. 2 Tahun 2003 tanggal 11 September 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang telah dinyatakan tidak berlaku dan diperbaharui dengan PERMA No. 1 Tahun 2008 tanggal 31 Juli 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Untuk mewujudkan asas sederhana, cepat dan murah serta untuk memberikan akses yang lebih besar bagi para perncari keadilan dalam menemukan penyelesaian perkaranya secara memuaskan dan memenuhi rasa keadilan, Mahkamah Agung telah mengintegrasikan proses mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan, yang dimaksudkan menjadi instrument efektif mengatasi penumpukan perkara.
Untuk itu, Mahkamah Agung telah menerbitkan peraturan Mahkamah Agung yaitu PERMA No. 2 Tahun 2003 tanggal 11 September 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang telah dinyatakan tidak berlaku dan diperbaharui dengan PERMA No. 1 Tahun 2008 tanggal 31 Juli 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
2. Class Action
Class action adalah gugatan perwakilan
kelompok sebagai akibat dari peristiwa atau kegiatan yang menimbulkan
pelanggaran hukum yang mengakibatkan kerugian secara sekaligus, serentak dan
massal terhadap orang banyak, yang karena itu berdasarkan fakta, dasar hukum
dan tergugat yang sama, diajukan dalam satu perkara.
Untuk itu, Mahkamah Agung telah
menerbitkan PERMA No. 1 Tahun 2002 tanggal 26 April 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok.
3. Perluasan Wewenang Pengadilan Niaga
Sejak tahun 2003, wewenang pengadilan
niaga diperluas dengan memasukkan sengketa mengenai hak atas kekayaan
intelektual (HaKI) sebagai kewenangan pengadilan niaga.
4. Perkara Persaingan Tidak Sehat dan
Anti Monopoli
Perkara sengketa persaingan tidak
sehat dan anti monopoli sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diputuskan oleh
Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Keberatan terhadap putusan KPPU
tersebut diajukan ke pengadilan negeri dan terhadap pihak yang tidak puas
dengan putusan pengadilan negeri tersebut dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung.
Untuk itu, Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA No. 03 Tahun 2005 tanggal 18 juli 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap putusan KPPU.
Untuk itu, Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA No. 03 Tahun 2005 tanggal 18 juli 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap putusan KPPU.
5. Pengadilan Khusus Tindak Pidana
Korupsi
Pengadilan khusus tindak pidana
korupsi untuk pertama kali dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan
wilayah hukum seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Pasca Perubahan UUD 1945, maka UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juga harus disesuaikan dan berubah menjadi UU No. 5 Tahun 2004 yang berlaku sejak 15 Januari 2004. Dalam UU No. 5 Tahun 2004 jabatan Panitera dan Sekretaris (dahulu Sekretaris Jenderal) yang sebelumnya dijabat satu orang dipisahkan dan dijabat secara terpisah oleh dua orang. Wakil Ketua Mahkamah Agung yang sebelumnya satu orang, ditambah menjadi dua jabatan yaitu Wakil Ketua Bidang Yudisial dan Wakil Ketua Bidang Non Yudisial.
Pasca Perubahan UUD 1945, maka UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juga harus disesuaikan dan berubah menjadi UU No. 5 Tahun 2004 yang berlaku sejak 15 Januari 2004. Dalam UU No. 5 Tahun 2004 jabatan Panitera dan Sekretaris (dahulu Sekretaris Jenderal) yang sebelumnya dijabat satu orang dipisahkan dan dijabat secara terpisah oleh dua orang. Wakil Ketua Mahkamah Agung yang sebelumnya satu orang, ditambah menjadi dua jabatan yaitu Wakil Ketua Bidang Yudisial dan Wakil Ketua Bidang Non Yudisial.
Lembaga baru yang di bentuk dalam
kekuasaan kehakiman setelah perubahan UUD 1945 :

Perubahan Ketiga UUD 1945 juga
melahirkan lembaga negara baru yaitu Komisi Yudisial yang mempunyai wewenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan menjaga serta menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial, yang bertugas :
1. melakukan
pendaftaran calon hakim agung
2. melakukan
seleksi terhadap calon hakim agung
3. menetapkan
calon hakim agung, dan
4. mengajukan
calon hakim agung ke DPR.
Selain itu, Komisi Yudisial
mempunyai wewenang menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga
perilaku hakim. Putusan pengadilan dengan irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mewajibkan hakim untuk menegakkan keadilan
yang dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia dan secara
vertikal terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ketakwaan terhadap Tuhan menjadi
landasan prinsip pedoman hakim dalam bertingkah laku sesuai dengan agama
masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pembentukan Komisi Yudisial oleh
UUD 1945 dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa kekuasan kehakiman yang merdeka
tidak bisa dibiarkan menjadi sangat bebas tanpa dapat dikontrol dan diawasi,
walaupun pengawasan itu sendiri dalam batas-batas tertentu. Itulah sebabnya
dibentuk Komisi Yudisial dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran, martabat serta perilaku hakim serta mengusulkan pengangkatan hakim
agung. Komisi Yudisial itu sendiri adalah suatu badan kehakiman yang merdeka
yang berada dalam lingkunan kekuasaan kehakiman tapi tidak menyelenggarakan
peradilan. Untuk menjamin kredibilitas komisi ini, maka syarat-syarat untuk
menjadi anggota komisi ini seseorang harus memiliki pengetahuan dan pengalaman
di bidang hukum serta memiliki integritas dan pengabdian yang tidak tercela.
Pengangkatannya dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.

Pembentukan Mahkamah Konstitusi
dimaksudkan untuk menjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the
constitution) . Inilah salah satu ciri dari sistem penyelenggaraan
kekuasaan negara yang berdasarkan konstitusi. Setiap tindakan lembaga-lembaga
negara yang melaksanakan kekuasaan negara harus dilandasi dan berdasarkan
konstitusi. Tindakan yang bertentangan dengan konstitusi dapat diuji dan
diluruskan oleh Mahkamah konstitusi melalui proses peradilan yang
diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi diberikan
wewenang oleh UUD 1945 untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk: menguji undang-undang terhadap UUD, memutus
sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,
memutus pembubaran partai politik dan memutus sengketa pemilu, memberikan
putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut UUD.
Hakim konstitusi terdiri dari 9
orang yang ditetapkan oleh Presiden dari calon yang diajukan masing-masing tiga
orang oleh Mahkamah Agung, DPR dan Presiden. Dengan demikian 9 orang hakim
konstitusi itu mencerminkan perwakilan dari tiga cabang kekuasaan negara yaitu
kekuasaan yudikatif, legislatif dan eksekutif.
Bab III
Penutup
III.1 Kesimpulan
Dengan upaya-upaya pembaruan
yang sudah dan sedang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, maka
perubahan-perubahan ketentuan konstitusi seperti diatas dapat menjadi landasan
dalam setiap langkah yang akan ditempuh oleh Mahkamah Agung dalam meneguhkan
diri sebagai bagian dari upaya mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang
demokratis.
Kekuasaan kehakiman atau fungsi yudikatif, sebelum perubahan
UUD 1945 hanya terdiri dari badan-badan pengadilan yang berpuncak pada Mahkamah
Agung. Sesuai dengan prinsip independent of judiciary, lembaga Mahkamah Agung
diakui bersifat mandiri, dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi
oleh cabang-cabang kekuasaan lain, misalnya pihak eksekutif. Hal ini ditegaskan
pula dalam Penjelasan Pasal 24 UUD 1945, bahwa kekuasaan kehakiman ialah
kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia, baik sebelum maupun sesudah perubahan UUD 1945, sangat rentan dengan campur tangan dan pengaruh kekuasaan lain dalam kehidupan bernegara, meski pasca perubahan UUD 1945 makin ditegaskan bahwa eksistensi kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung dan badan-bdan peradilan dibawahnya dan oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat diintervensi dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia, baik sebelum maupun sesudah perubahan UUD 1945, sangat rentan dengan campur tangan dan pengaruh kekuasaan lain dalam kehidupan bernegara, meski pasca perubahan UUD 1945 makin ditegaskan bahwa eksistensi kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung dan badan-bdan peradilan dibawahnya dan oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat diintervensi dalam menegakkan hukum dan keadilan.
III2. Saran
1.
Untuk mengukuhkan kekuasaan kehakiman yang independent
sebagai perwujudan salah satu pilar Negara hukum diperkirakan masih menghadapi
berbagai rintangan dalam kelangsungan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di
Indonesia,baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang maka pengelolaan kekuasaan
kehakiman baik dari sisi sumber daya, administrasi, maupun keuangan harus diselenggarakan
oleh kekuasaan kehakiman sendiri. Selain itu,semua lingkungan peradilan yang
ada berada di bawah lembaga pelaku kekuasaan kehakiman, tidak ada yang berada
di bawah instansi pemerintah.ini akan menimbulkan kekuasaan kehakiman yang
independent.
2.
perlunya
pengawasan terhadap hakim. Hal itu terkait dengan kondisi peradilan di
Indonesia pada masa lalu yang dinilai indentik dengan korupsi, kolusi, dan
nepotisme serta praktik mafia peradilan. Selain itu,pengawasan juga diperlukan
agar kemerdekaan yang dimiliki oleh hakim tidak disalahgunakan.
3.
upaya
penegakan hukum dan keadilan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan
dibawahnya, juga Mahkamah Konstitusi, tidak akan pernah optimal dan terealisasi
jika eksistensinya sebagai lembaga independen dalam menjalankan fungsi dan
wewenangnya tetap dipengaruhi oleh kekuasaan-kekuasaan lain seperti pihak
eksekutif atau pihak lainnya.
4.
kebebasan
hakim yang menjadi sendi peradilan yang baik tidak saja dalam hal larangan
untuk mempengaruhi kekuasaan kehakiman oleh pihak lain, tetapi Mahkamah Agung
juga dilarang campur tangan terhadap pengadilan di bawahnya yang sedang
memeriksa dan memutus suatu perkara.
Daftar
Pustaka
1. UUD
1945
2. UU
no 3 Tahun 2009 Tentang MA
3. Adjie,Oemar
Seno,1993,’’kekuasaan kehakiman di Indonesia sejak kembali ke UUD 1945 ‘’dalam
ketatanegaraan Indonesia dalam kehidupan politik Indonesia : 30 tahun kembali
ke UUD 1945 , Jakarta :sinar harapan
4. Jimly Asshiddiqie,
Mahkamah Konstitusi dan Cita Hukum Negara Indonesia, Refleksi Pelaksanaan
Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
1945.
5. Isra,Saldi,2010,’’Pergeseran
Fungsi Legislasi‘’Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem
Presidensial Indonesia,Jakarta : Raja Grafindo Persada
6. Manan,Bagir
,‘’Hubungan Ketatanegaraan Mahkamah Agung Dan Mahkamah Konstitusi Dengan Komisi
Yudisial,Varia Peradilan,Majalah Hukum,Tahun Ke XXQ No 224 Maret 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar