Sabtu, 16 September 2017

Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan UUD 1945




Makalah Konsepsi Negara Hukum
Tentang
Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan UUD 1945



Disusun oleh :
Fahrezi Ramadan              ( 0910111037 )






Fakultas Hukum
Universitas Andalas
2011



 
Kata Pengantar

                Pertama kali penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT karena berkat rahmat dan karunianyalah penulis dapat menyelesaikan Makalah Tentang Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan UUD 1945.
                Pada kesempatan ini tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing dalam mata kuliah hukum konsepsi Negara hukum yaitu Bpk. Dr Suharizal,SH.MH yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
               Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan.untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.mudah-mudahan makalah yang penulis buat dapat memenuhi tugas konsepsi negara hukum khususnya dan juga bermanfaat bagi pembaca.
               Tak ada gading yang tak retak,Tak ada manusia yang sempurna dan Tak ada manusia yang tak salah.Atas segala kesalahan dan kekurangan penulis mohon maaf.


Padang,21 juli  2011


                                                                                                                                       penulis








Daftar isi




Bab I       : Pendahuluan
        I.1   : Latar Belakang Masalah
        I.2   : Permasalahan
Bab II     : Pembahasan
Bab III    : Penutup
      III.1  : Kesimpulan
      III.2  : Saran
Daftar Pustaka








Bab I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang Masalah
               Sebelum adanya Perubahan UUD, kekuasaan kehakiman atau fungsi yudikatif (judicial) hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak pada mahkamah agung. Lembaga Mahkamah Agung tersebut, sesuai dengan prinsip ‘independent of judiciary’ diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama pemerintah. Prinsip kemerdekaan hakim ini selain diatur dalam Undang-Undang pokok kekuasaan kehakiman, juga tercantum dalam penjelasan pasal 24 UUD 1945 yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman tidak boleh dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lain.
               Namun, setelah perubahan ketiga UUD 1945 disahkan, kekuasaan kehakiman negara kita mendapat tambahan satu jenis mahkamah lain yang berada di luar mahkamah agung. Lembaga baru tersebut mempunyai kedudukan yang setingkat atau sederajad dengan Mahkamah Agung. Sebutannya adalah Mahkamah Konstitusi (constitutional court) yang dewasa ini makin banyak negara yang membentuknya di luar kerangka Mahkamah Agung (supreme court). Dapat dikatakan Indonesia merupakan negara ke-78 yang mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri ini, setelah Austria pada tahun 1920, Italia pada tahun 1947 dan Jerman pada tahun 1948.
               Perubahan pengaturan mengenai kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945, dimaksudkan untuk mempertegas posisi kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka dan pengaturan yang lebih lengkap tentang wewenang dari masing-masing lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman serta mekanisme pengisian anggota dari badan-badan kekuasaan kehakiman itu. Hal ini penting karena kekuasaan kehakiman yang bebas harus dijamin dan diatur secara tegas dalam undang-undang dasar agar tidak disalahgunakan.
              Pada dasarnya, eksistensi kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan Negara yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya tetap dipertahankan dalam praktek ketatanegaraan baik yang menganut System Separation Of Power maupun System Distribution Of Power . Menurut pasal 24 UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan . Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan TUN dan oleh sebuah MK. Ketentuan Pasal 24 UUD 1945 dimaksudkan untuk melindungi azas yang bebas dalam arti mandiri,tidak terpengaruh oleh siapapun dan dalam bentuk apapun .

                Kemungkinan terjadi bahwa dalam penyelenggaraan kepentingan rakyat itu hak-hak rakyat dilarang sehingga perselisihan yang akan timbul antara rakyat dengan pemerintah dapat diadili oleh suatu pengadilan dengan seorang hakim yang tidak memihak karena bebas dari pengaruh pemerintah. Kenyatan yang kita temui biasanya usaha pemerintah ada dalam bentuk apapun untuk mempengaruhi kekuasaan pengadilan sebagai pertanda bahwa dirinya mempunyai kepentingan dalam suatu perkara yang diadili.akibatnya karena pengaruh tekanan itu hakim tidak bebas lagi dan tidak bisa bersikap objektif dalam menilai suatu perkara sehingga keputusannya tidak memuaskan .
                Di samping itu masih terjadi adanya suatu kerjasama antara jaksa ,hakim, dan pembela dalam menyelesaikan suatu perkara maka masih sulit untuk disebut bahwa pengadilan itu telah bebas sama sekali dari pengaruh eksekutif, baik secara langsung maupun tidak langsung. pengaruh itu akan membawa akibat bagi sikap hakim yang tidak objektif atau memihak. adanya ditemui kasus mafia peradilan dan kasus pemecatan pengacara oleh menteri kehakiman membuktikan hal itu.

I.2 Permasalahan
1.      Apa saja perubahan yang sangat mendasar dari kekuasaan kehakiman setelah perubahan UUD 1945 ?
2.      Apa lembaga baru yang di bentuk dalam kekuasaan kehakiman setelah perubahan UUD 1945 dan bagaimana eksistensi beserta kewenangannya ?
3.      Bagaimana eksistensi perubahan itu bagi system ketatanegaraan Indonesia ?











Bab II
Pembahasan

                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum dan setelah perubahan mengandung beberapa prinsip yang memiliki perbedaan-perbedaan mendasar. Perubahan atas sistem penyelenggaraan kekuasaan yang dilakukan melalui perubahan UUD 1945, adalah upaya untuk menutupi berbagai kelemahan yang terkandung dalam UUD 1945 sebelum perubahan yang dirasakan dalam praktek ketatanegaraan selama ini. Karena itu arah perubahan yang dilakukan adalah antara lain mempertegas beberapa prinsip penyelenggaraan kekuasaan negara sebelum perubahan yaitu prinsip negara hukum (rechtsstaat) dan prinsip sistem konstitusional (constitutional system), menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada dan membentuk beberapa lembaga negara yang baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum. Perubahan ini tidak merubah sistematika UUD 1945 sebelumnya untuk menjaga aspek kesejarahan dan orisinalitas dari UUD 1945. Perubahan terutama ditujukan pada penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan masing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.
                Sebelum amandemen, berdasarkan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, kekuasaan kehakiman  dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Pada masa yang lalu, kekuasaan kehakiman banyak dipengaruhi dan tidak terlepas dari intervensi institusi negara lainnya termasuk pemerintah yang benar-benar mempengaruhi jalannya peradilan yang bebas dan mandiri. Setelah reformasi yang dimulai pada tahun 1998, maka ide untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 mulai muncul sejak tahun 1999 dengan Perubahan Pertama yang berlanjut hingga Perubahan Keempat pada tahun 2002. Sejak tahun 1999, sebenarnya telah dimulai upaya untuk menyatukan kekuasaan kehakiman dalam satu atap (one roof system) yaitu di bawah Mahkamah Agung. Sebelumnya, lembaga peradilan mempunyai dua atap, yaitu :
1.      Peradilan umum dan peradilan tata usaha negara: pembinaan administrasi, keuangan dan kepegawaian dibawah pemerintah Departemen Kehakiman (sekarang Dephukham) dan pembinaan teknis peradilan di bawah Mahkamah  Agung R.I.
2.      Peradilan agama: pembinaan administrasi, keuangan dan kepegawaian dibawah Departemen Agama dan pembinaan teknis dibawah Mahkamah Agung R.I.
3.      Peradilan militer : pembinaan administrasi, keuangan dan kepegawaian dibawah Departemen Pertahanan dan pembinaan teknis dibawah Mahkamah Agung R.I.
                 Sistem dua atap tersebut mulai diakhiri dengan diterbitkannya UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas  Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana dalam Pasal 11 yang menjadi dasar hukum sistem dua atap diubah menjadi, “Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Ayat (1), secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung”. Jangka waktu peralihan menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung tersebut adalah lima tahun sampai dengan Agustus 2004.
                 Kekuasaan yudikatif, yang dalam UUD 1945 disebut dengan istilah kekuasaan kehakiman, diselenggarakan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Jika dilihat dari hasil Perubahan UUD 1945, ketentuan tentang kekuasaan kehakiman merupakan salah satu materi muatan yang mengalami perubahan mendasar. Secara kuantitatif, perubahan tersebut dapat dilihat dari penambahan butir ketentuan. Sebelum perubahan,ketentuan kekuasaan kehakiman dan UUD 1945 hanya 2 pasal yang terdiri atas 3 ayat.
                 Setelah perubahan, ketentuan tersebut menjadi 5 pasal terdiri atas 19 ayat. Dari sisi kelembagaan, Perubahan UUD 1945 melahirkan 2 (dua) lembaga di lingkungan kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman dan Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga yang terkait dengan keberadaan Mahkamah Agung (MA).Agar kekuasaan kehakiman dapat menjalankan fungsi dengan baik,dibutuhkan pengaturan lebih lanjut sesuai dasar konstitusional yang ada.
                 Perubahan UUD ini mengintrodusi lembaga Negara yang baru dibidang yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi yang kedudukannya berada disamping Mahkamah Agung. perubahan yang sangat mendasar dari kekuasaan kehakiman setelah perubahan UUD 1945 adalah :   
a.       Prinsip Konstitusionalisme
           Kekuasaan kehakiman sebagai pilar negara hukum Indonesia mendapat jaminan yang lebih kuat dalam perubahan UUD ini. Hal ini nampak pada diberikannya kewenangan untuk melakukan hak uji  (materil dan atau formil) atas undang-undang yang merupakan produk bersama DPR dengan Presiden. Undang-undang yang telah dikeluarkan oleh DPR dan Presiden dapat dinyatakan tidak berlaku baik sebahagian maupun  keseluruhannya oleh lembaga Yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi. Hak ini sebelum  perubahan UUD 1945 , tidak diserahkan kepada kekuasaan yudikatif akibatnya segala produk undang-undang tidak mungkin dilakukan pengujian oleh lembaga peradilan, sehingga tidak mungkin dapat dibatalkan kecuali dicabut sendiri oleh DPR bersama Presiden. Dengan perubahan ini mengantarkan negara ini kepada negara yang menganut prinsip konstitusinalisme. Artinya segala tindakan dan produk lembaga-lembaga dan istitusi Negara harus dapat diuji apakah sesuai atau tidak sesuai dengan konstitusi berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi.

b.      Prinsip Akuntabilitas pada Peradilan
            Dalam rangka menegakkan prinsip akuntabilitas lembaga peradilan, dalam perubahan UUD ini mengintrodusir lembaga Negara yang baru yaitu Komisisi Yudisial yang merupakan bagian dari pelakasanaan kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial adalah sebuah komisi yang dibentuk dengan undang-undang yang memiliki kewenangan untuk mengawasi dan menegakan harkat dan kehormatan hakim serta melakukan rekruitmen awal calon hakim agung yang akan diajukan kepada DPR untuk dipilih. Walaupun komisi ini merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, akan tetapi merupakan sebuah lembaga pengawasan eksternal terhadap para hakim pengadilan. Komisi ini yang akan menilai kinerja para hakim, dapat menjukan usulan promosi, demosi atau sanksi kepada para hakim. Keanggotan komisi ini akan dipilih oleh DPR dan diangkat oleh Presiden. Pembentukan lembaga ini dirasakan pentingnya karena selama ini hakim tidak terjangkau oleh pengawasan yang bersifat eksternal.

c.       Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945, eksistensi peradilan agama juga diberikan  kedudukan yang sederajat dengan badan peradilan lainnya sebagai kesatuan sistem yang ditentukan berdasarkan UUD. Sebelumnya, meskipun dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman telah ditentukan kesederajatannya, tetapi secara administratif, manajemen dan penyelenggaraan tugas-tugas peradilan, peradilan agama tertinggal dibanding badan peradilan umum. Sekarang hal itu sudah tidak ada lagi karena kesederajatan telah benar-benar direalisasikan, termasuk gaji, tunjangan, bangunan gedung dan fasilitas lainnya.

d.      Berkaitan dengan empat kali perubahan UUD 1945,  maka undang-undang yang mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung telah mengalami dua kali perubahan, yaitu pertama dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009, yang memasukkan kembali apa yang telah ditentukan dalam UUD 1945 pasca perubahan dan tambahan ketentuan lainnya, antara lain : pasal 6A,pasal 6B,pasal 11.

e.       Selain itu, terdapat dua lembaga negara baru bentukan pasca perubahan UUD 1945 yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.

f.       Berkaitan dengan berlakunya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tanggal 28 April 2008, dimana Pasal 236C menentukan bahwa penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang tersebut diundangkan, maka Mahkamah Agung, dengan Surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial No. 34/WKMA-NY/X/2008 tanggal 09 Oktober 2008, telah menyerahkan kewenangan pemeriksaan sengketa pemilihan kepala daerah seperti itu kepada Mahkamah Konstitusi terhitung sejak tanggal 1 Nopember 2008.

g.      Hasil perubahan terhadap UUD 1945 tersebut sebenarnya mempertegas pemisahan kekuasaan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, yang sebelumnya dikesankan sebagai pembagian kekuasaan sehingga seolah-olah kebebasan dan kemandirian Mahkamah Agung dan lembaga peradilan lainnya tidak berifat mutlak bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya. Saat ini, dengan telah selesainya peralihan kekuasaan kehakiman menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung, maka kesan “pembagian” kekuasaan benar-benar telah berubah menjadi “pemisahan” kekuasaan.

h.      Setelah perubahan UUD 1945, kekuasaan kehakiman selain berpuncak ke Mahkamah Agung juga berpuncak ke Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga peradilan konstitusi bentukan pasca perubahan UUD 1945 ini telah mengintrodusir lembaga negara yang baru di bidang yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi yang kedudukannya berada di samping Mahkamah Agung.

i.        Setelah Perubahan Ketiga, maka kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945 pasca perubahan
Lembaga Negara dalam kekuasaan kehakiman :
*      Mahkamah Agung (MA)
            Mahkamah Agung (MA) adalah salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan (pasal 24 ayat 1). Kewenangan MA adalah mengadili pada tingkat kasasi atas setiap perkara yang diajukan kepadanya, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang (Pasal 24A ayat 1).
             Dengan perubahan ini pula dipertegas empat lingkungan peradilan yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. Walaupun pengadilan yang ada dalam empat lingkungan peradilan itu berada di bawah Mahkamah Agung bukan berarti MA dapat mempengaruhi putusan badan peradilan di bawahnya. Kedudukan badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung itu adalah independen. Mahkamah Agung hanya dapat membatalkan atau memperbaiki putusan badan peradilan di bawahnya dalam tingkat kasasi. Sedangkan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang (Pasal 24 ayat 3). Badan-badan lain yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah misalnya kejaksaan, kepolisian, advokat/pengacara dan lain-lain.
Mahkamah Agung juga melakukan langkah-langkah pembaruan yang telah berjalan sejak tahun 2002, meliputi :
1.      Mediasi
       Untuk mewujudkan asas sederhana, cepat dan murah serta untuk memberikan akses yang lebih besar bagi para perncari keadilan dalam menemukan penyelesaian perkaranya secara memuaskan dan memenuhi rasa keadilan,  Mahkamah Agung telah mengintegrasikan proses mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan, yang dimaksudkan menjadi instrument efektif mengatasi penumpukan perkara.
       Untuk itu, Mahkamah Agung telah menerbitkan peraturan Mahkamah Agung yaitu PERMA No. 2 Tahun 2003 tanggal 11 September 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang telah dinyatakan tidak berlaku dan diperbaharui dengan PERMA No. 1 Tahun 2008 tanggal 31 Juli 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
2.      Class Action
        Class action adalah gugatan perwakilan kelompok sebagai akibat dari peristiwa atau kegiatan yang menimbulkan pelanggaran hukum yang mengakibatkan kerugian secara sekaligus, serentak dan massal terhadap orang banyak, yang karena itu berdasarkan fakta, dasar hukum dan tergugat yang sama, diajukan dalam satu perkara.
        Untuk itu, Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA No. 1 Tahun 2002 tanggal 26 April 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
3.      Perluasan Wewenang Pengadilan Niaga
         Sejak tahun 2003, wewenang pengadilan niaga diperluas dengan memasukkan sengketa mengenai hak atas kekayaan intelektual (HaKI) sebagai kewenangan pengadilan niaga.
4.      Perkara Persaingan Tidak Sehat dan Anti Monopoli
         Perkara sengketa persaingan tidak sehat dan anti monopoli sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diputuskan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
          Keberatan terhadap putusan KPPU tersebut diajukan ke pengadilan negeri dan terhadap pihak yang tidak puas dengan putusan pengadilan negeri tersebut dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Untuk itu, Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA No. 03 Tahun 2005 tanggal 18 juli 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap putusan KPPU.
5.      Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi
          Pengadilan khusus tindak pidana korupsi untuk pertama kali dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan wilayah hukum seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Pasca Perubahan UUD 1945, maka UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juga harus disesuaikan dan berubah menjadi UU No. 5 Tahun 2004 yang berlaku sejak 15 Januari 2004. Dalam UU No. 5 Tahun 2004 jabatan Panitera dan Sekretaris (dahulu Sekretaris Jenderal) yang sebelumnya dijabat satu orang dipisahkan dan dijabat secara terpisah oleh dua orang. Wakil Ketua Mahkamah Agung yang sebelumnya satu orang, ditambah menjadi dua jabatan yaitu Wakil Ketua Bidang Yudisial dan Wakil Ketua Bidang Non Yudisial.
Lembaga baru yang di bentuk dalam kekuasaan kehakiman setelah perubahan UUD 1945 :
*      Komisi Yudisial
           Perubahan Ketiga UUD 1945 juga melahirkan lembaga negara baru yaitu Komisi Yudisial yang mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan menjaga serta menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, yang bertugas :
1.      melakukan pendaftaran calon hakim agung
2.      melakukan seleksi terhadap calon hakim agung
3.      menetapkan calon hakim agung, dan
4.      mengajukan calon hakim agung ke DPR.
            Selain itu, Komisi Yudisial mempunyai wewenang menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Putusan pengadilan dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mewajibkan hakim untuk menegakkan keadilan yang dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia dan secara vertikal terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ketakwaan terhadap Tuhan menjadi landasan prinsip pedoman hakim dalam bertingkah laku sesuai dengan agama masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
             Pembentukan Komisi Yudisial oleh UUD 1945 dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa kekuasan kehakiman yang merdeka tidak bisa dibiarkan menjadi sangat bebas tanpa dapat dikontrol dan diawasi, walaupun pengawasan itu sendiri dalam batas-batas tertentu. Itulah sebabnya dibentuk Komisi Yudisial dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta perilaku hakim serta mengusulkan pengangkatan hakim agung. Komisi Yudisial itu sendiri adalah suatu badan kehakiman yang merdeka yang berada dalam lingkunan kekuasaan kehakiman tapi tidak menyelenggarakan peradilan. Untuk menjamin kredibilitas komisi ini, maka syarat-syarat untuk menjadi anggota komisi ini seseorang harus memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan pengabdian yang tidak tercela. Pengangkatannya dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
*      Mahkamah Konstitusi
               Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk menjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution) . Inilah salah satu ciri dari sistem penyelenggaraan kekuasaan negara yang berdasarkan konstitusi. Setiap tindakan lembaga-lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara harus dilandasi dan berdasarkan konstitusi. Tindakan yang bertentangan dengan konstitusi dapat diuji dan diluruskan oleh Mahkamah konstitusi melalui proses peradilan yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi.
               Mahkamah Konstitusi diberikan wewenang oleh UUD 1945 untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus sengketa pemilu, memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
               Hakim konstitusi terdiri dari 9 orang yang ditetapkan oleh Presiden dari calon yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, DPR dan Presiden. Dengan demikian 9 orang hakim konstitusi itu mencerminkan perwakilan dari tiga cabang kekuasaan negara yaitu kekuasaan yudikatif, legislatif dan eksekutif.      
             





















Bab III
Penutup

III.1 Kesimpulan
                Dengan upaya-upaya pembaruan yang sudah dan sedang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, maka perubahan-perubahan ketentuan konstitusi seperti diatas dapat menjadi landasan dalam setiap langkah yang akan ditempuh oleh Mahkamah Agung dalam meneguhkan diri sebagai bagian dari upaya mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis.
                Kekuasaan kehakiman atau fungsi yudikatif, sebelum perubahan UUD 1945 hanya terdiri dari badan-badan pengadilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Sesuai dengan prinsip independent of judiciary, lembaga Mahkamah Agung diakui bersifat mandiri, dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lain, misalnya pihak eksekutif. Hal ini ditegaskan pula dalam Penjelasan Pasal 24 UUD 1945, bahwa kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
                Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia, baik sebelum maupun sesudah perubahan UUD 1945, sangat rentan dengan campur tangan dan pengaruh kekuasaan lain dalam kehidupan bernegara, meski pasca perubahan UUD 1945 makin ditegaskan bahwa eksistensi kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung dan badan-bdan peradilan dibawahnya dan oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat diintervensi dalam menegakkan hukum dan keadilan.
III2. Saran
1.      Untuk mengukuhkan kekuasaan kehakiman yang independent sebagai perwujudan salah satu pilar Negara hukum diperkirakan masih menghadapi berbagai rintangan dalam kelangsungan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia,baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang maka pengelolaan kekuasaan kehakiman baik dari sisi sumber daya, administrasi, maupun keuangan harus diselenggarakan oleh kekuasaan kehakiman sendiri. Selain itu,semua lingkungan peradilan yang ada berada di bawah lembaga pelaku kekuasaan kehakiman, tidak ada yang berada di bawah instansi pemerintah.ini akan menimbulkan kekuasaan kehakiman yang independent.
2.      perlunya pengawasan terhadap hakim. Hal itu terkait dengan kondisi peradilan di Indonesia pada masa lalu yang dinilai indentik dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta praktik mafia peradilan. Selain itu,pengawasan juga diperlukan agar kemerdekaan yang dimiliki oleh hakim tidak disalahgunakan.
3.      upaya penegakan hukum dan keadilan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya, juga Mahkamah Konstitusi, tidak akan pernah optimal dan terealisasi jika eksistensinya sebagai lembaga independen dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya tetap dipengaruhi oleh kekuasaan-kekuasaan lain seperti pihak eksekutif atau pihak lainnya.
4.      kebebasan hakim yang menjadi sendi peradilan yang baik tidak saja dalam hal larangan untuk mempengaruhi kekuasaan kehakiman oleh pihak lain, tetapi Mahkamah Agung juga dilarang campur tangan terhadap pengadilan di bawahnya yang sedang memeriksa dan memutus suatu perkara.























Daftar Pustaka
1.      UUD 1945
2.      UU no 3 Tahun 2009 Tentang MA
3.      Adjie,Oemar Seno,1993,’’kekuasaan kehakiman di Indonesia sejak kembali ke UUD 1945 ‘’dalam ketatanegaraan Indonesia dalam kehidupan politik Indonesia : 30 tahun kembali ke UUD 1945 , Jakarta :sinar harapan
4.      Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi dan Cita Hukum Negara Indonesia, Refleksi Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
5.      Isra,Saldi,2010,’’Pergeseran Fungsi Legislasi‘’Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia,Jakarta : Raja Grafindo Persada
6.      Manan,Bagir ,‘’Hubungan Ketatanegaraan Mahkamah Agung Dan Mahkamah Konstitusi Dengan Komisi Yudisial,Varia Peradilan,Majalah Hukum,Tahun Ke XXQ No 224 Maret 2006





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar