Kata
Pengantar
Pertama kali penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat ALLAH
SWT karena berkat rahmat dan karunianyalah penulis dapat menyelesaikan
Penyusunan Proposal ini yang berjudul ‘’
Analisis Kewenangan Komisi Yudisial Dalam Melakukan Pengawasan Hakim Konstitusi
Berdasarkan Undang-Undang No. 22
Tahun 2004 ‘’.
Penyusunan Proposal ini dimaksudkan untuk memenuhi Tugas Metode Penelitian
Hukum.
Pada kesempatan ini tak lupa
pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing dalam Mata Kuliah
Metode Penelitian Hukum
yaitu
Bpk. Dahlil Mardjon,SH.MH yang telah membimbing
penulis dalam menyelesaikan penyusunan proposal penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa makalah
ini masih banyak terdapat kekurangan.untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini. Tak ada
gading yang tak retak,Tak ada manusia yang sempurna dan Tak ada manusia yang
tak salah.Atas segala kesalahan dan kekurangan penulis mohon maaf.
Padang, 18 November 2011
penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................. 1
DAFTAR ISI ........................................................................................... 2
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................ 3
B. Rumusan Masalah............................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian ........................................................................... 7
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Komisi Yudisial.............................................................. 8
B. Pengawasan
terhadap hakim yang dilakukan oleh komisi yudisial.. 9
C. Kewenangan
Pengawasan Oleh Komisi Yudisial............................ 11
D. Objek
Pengawasan .......................................................................... 11
III.
METODE PENELITIAN
A.
Metode
Pendekatan ........................................................................ 16
B.
Spesifikasi Penelitian .................................................................... 17
C.
Jenis
dan sumber data
.....................................................................17
D.
Teknik
pengumpulan data ...............................................................18
E.
Teknik
analisis data
.........................................................................18
F.
Sistematika
penulisan ......................................................................19
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang penelitian
Tuntutan reformasi
di segala bidang yang digaungakan pada tahun 1998 telah menimbulkan berbagai
istilah yang intinya menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum atau
dikenal juga dengan sebutan Rule of Law.
Hal ini muncul karena hukum diharapakan dapat berperan aktif dalam mewarnai
proses demokratisasi yang menjadi hakekat gerakan reformasi.
Perkembangan proses
reformasi yang utama mengarah pada bidang-bidang hukum yang diantaranya
munculnya perundang-undangan dibidang politik, adanya otonomi daerah dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah, dan munculnya lembaga-lembaga negara baik
yang dibentuk oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
maupun dibentuk oleh peraturan
perundangan lainnya.
Dalam
kekuasaan dan pelembagaan yudikatif memunculkan Mahkamah
Konstitusi dan Komisi Yudisial yang memperkuat fungsi kekuasaan yudikatif disamping Mahkamah
Agung beserta badan-badan peradilan yang bernaung dibawahnya.
Mahkamah Konstitusi keberadaannya
dijamin oleh Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24 c Undang - Undang
Dasar 1945 hasil amandemen dan kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi
dan telah diamandemen menjadi Undang-undang Nomor 8 Tahun
2011 sedang
Komisi Yudisial keberadaannya dijamin oleh Pasal 24
b Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen dan kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.[1] Komisi Yudisial (KY) adalah buah
reformasi yang lahir berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ketiga
dalam Pasal 24B dalam rumpun kekuasaan kehakiman.[2]
Keberadaan
MK-RI memberikan nuansa baru yang dapat ditiru oleh peradilan Indonesia
lainnya. Proses peradilan yang cepat dan murah serta modern benar-benar
diterapkan oleh lembaga ini. Putusan hakim dapat diperoleh segera setelah
putusan dibacakan. Disamping itu MK-RI sangat produktif dalam menghasilkan
putusan-putusan yang memang dibutuhkan oleh para pihak yang menilai hak-hak
konstitusionalnya dirugikan akibat suatu ketentuan undang-undang.
Namun
demikian harus dimaklumi bahwa muncul juga penilaian bahwa MK-RI telah
menghasilkan putusan-putusan yang kontroversial. Di antara putusan MK yang
menimbulkan kontroversi adalah yang berkait dengan kewenangan Komisi Yudisial
(KY). Putusan ini mengurangi kewenangan KY dalam hal pengawasan terhadap
perilaku hakim. Putusan ini juga diterjemahkan oleh para hakim bahwa KY tidak
lagi berwenang memanggil para hakim dalam upaya “menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.”
Permasalahan ini timbul ketika adanya judicial review
yang diajukan oleh 31 orang Hakim Agung terhadap Undang-Undang Komisi Yudisial dan telah diputus
Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006
ini dengan putusan yang pada intinya Undang-Undang Komisi Yudisial dinilai bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 sehingga
harus dirubah, khususnya dalam ketentuan mengenai pengawasan. Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi pada
intinya menyatakan bahwa
hakim Mahkamah Konstitusi tidak termasuk dalam obyek pengawasan Komisi Yudisial selain itu
segala ketentuan yang menyangkut pengawasan
harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sebab Undang-Undang
Komisi Yudisial tersebut tidak rinci mengatur pengawasan,
subyek yang mengawasi, obyek yang diawasi, instrument yang digunakan, dan bagaimana proses
pengawasan dilaksanakan. Akibatnya
semua ketentuan tentang pengawasan menjadi kabur dan menimbulkan ketidakpasitan hukum dalam pelaksanaannya.[3]
Komisi
Yudisial merupakan salah satu lembaga yang sengaja dibentuk untuk menangani urusan yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial pasal 13 yaitu :
1) Pengangkatan
Hakim Agung
2) Penegakan kehormatan, keluhuran martabat
dan perilaku hakim dalam usaha
mewujudkan kekuasaan kehakian yang merdeka.
Hakim yang dimaksud di sini adalah berdasarkan pasal 1
angka 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 yaitu “ hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan
peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[4]
Sebagai
lembaga Negara baru tugas dan fungsi Komisi Yudisial memang masih menimbulkan polemik. Prof.
Dr. Jimlie Ashiddiqie, SH.
saat ini ketua Mahkamah Konstitusi pernah menyatakan :
“Hubungan pasal-pasal
dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945
juga belum sempurna. Dengan demikian jika dirinci satu persatu, bisa saja menimbulkan konflik antar
lembaga dalam tahap implementasi
di kemudian hari”[5]
Permasalahan
yang telah dikemukakan di atas yaitu adanya pengurangan fungsi pengawasan Komisi Yudisial dalam melakukan
pengawasan Hakim Konstitusi di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial menarik perhatian penulis untuk meneliti lebih jauh dan
bagaimana perkembangan serta implementasinya
di kemudian hari.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pengaturan kewenangan Komisi Yudisial dalam Melakukan Pengawasan Terhadap Hakim
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial ?
2. Bagaimana
Analisis Kewenangan Komisi Yudisial Dalam Melakukan Pengawasan Hakim Konstitusi
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
C. Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisi dan mengetahui
lebih dalam tentang :
1. Mengetahui
pengaturan mengenai fungsi pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim dalam
Undang-Undang Komisi Yudisial.
2. Menganalisis
terhadap Undang-Undang Komisi Yudisial tentang apakah Komisi Yudisial itu
berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap Hakim Konstitusi atau tidak
berwenang.
D. Manfaat
Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari
penulisan proposal penelitian ini adalah:
1. Bagi
para pihak yang membaca, hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat
memberikan
informasi
serta pengetahuan mengenai perkembangan ilmu
Hukum di indonesia Khususnya mengenai ilmu hukum
tata negara.
2. Bagi
penulis merupakan penerapan secara ilmiah ilmu hukum
di indonesia khususnya mengenai
ilmu hukum tata negara.
3. Sebagai
referensi bagi penulis lain yang juga menulis dalam hal yang sama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Komisi Yudisial
Komisi Yudisial
merupakan lembaga Negara yang terbentuk setelah adanya amandemen terhadap
Undang-Undang Dasar 1945. Komisi Yudisial merupakan lembaga Negara yang
bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau
pengaruh kekuasaan lainnya.[6]
Dalam konteks ketatanegaraan Komisi Yudisial mempunyai peranan
yang sangat penting yaitu :
1.
Mewujudkan
kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan Hakim Agung.
2. Melakukan
pengawasan terhadap Hakim yang transparan dan partisipatif guna menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Dalam hubungannya dengan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dengan cara:
1. melakukan
pendaftaran calon Hakim Agung;
2. melakukan
seleksi terhadap calon Hakim Agung;
3. menetapkan
calon Hakim Agung;
4. mengajukan
calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat.[7]
Sedangkan dalam melaksanakan kewenangan menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim,Komisi Yudisial memiliki
tugas melakukan pengawasan, terhadap
pelaksanaan pengawasan ini Komisi Yudisial dapat:
1.
menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim.
2.
meminta
laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim.
3.
melakukan
pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim.
4. memanggil
dan meminta keterangan dari hakim yang diduga
melanggar kode etik perilaku hakim.
5. membuat
laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi disampaikan kepada Mahkamah Agung atau Mahkamah
Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat.
Apabila
dugaan Komisi Yudisial terbukti, artinya
perilaku hakim benar-benar menyimpang dari peraturan perundang-undangan, Komisi
Yudisial dapat mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Usul penjatuhan sanksi dapat berupa teguran tertulis, pemberhentian
sementara atau pemberhentian yang bersifat mengikat.
Selain
sebagaimana yang telah diuraikan diatas Komisi Yudisial dapat mengusulkan
kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan
kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta menjaga perilaku hakim.
B.
Pengawasan
Terhadap Hakim Yang Dilakukan Oleh Komisi Yudisial
1.
Urgensi dan Posisi Komisi Yudisial
Secara konstitusional
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan landasan
hukum yang kuat bagi
reformasi bidang hukum, yakni memberikan
kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk
mewujudkan check and balance dalam
kekuasaan kehakiman Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat
mandiri dengan wewenang yang
jelas dan meskipun Komisi Yudisial bukan
pelaku kekuasaan kehakiman namun cara
wewenangnya lembaga ini berfungsi
sebagai polisi yang berkaitan dengan lembaga peradilan. Komisi
Yudisial bertugas mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim.[8]
Hakim yang menjadi sasaran pengawasan Komisi Yudisial dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Komisi Yudisial sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 5 antara lain, bahwa hakim adalah hakim agung
dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi.10
Sedangkan wewenang Komisi Yudisial menurut pasal 24 B ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 yaitu berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan [9]kehormatan,
keluhuran, martabat serta perilaku
hakim.
2.
Relevansi Komisi Yudisial dengan
kekuasaan Kehakiman yang merdeka
Kehadiran Komisi Yudisial di Indonesia
didasarkan pemikiran bahwa hakim
agung yang sudah duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur
yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan
hukum dan keadilan,[10]apalagi
hakim yang sudah duduk pada tingkat peradilan tertinggi dalam susunan peradilan. Sebagai negara hukum masalah kehormatan dan keluhuran
martabat, serta perilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis
untuk mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham
dalam negara hukum.
Melalui Komisi Yudisial
ini, diharapkan dapat diwujudkan lembaga
peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang terjaga
kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya.[11]Sebagai
institusi yang lahir dan dari hasil perubahan Undang-Undang Dasar 1945,
keberadaan Komisi Yudisial juga dilatarbelakangi oleh adanya kehendak kuat agar kekuasaan kehakiman yang dilakukan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
benar-benar merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.[12]
Hal ini didasari adanya fakta bahwa praktek mafia
peradilan terjadi hampir di semua
tingkat peradilan. Maka keberadaan Komisi Yudisial diharapkan hakim tidak lagi menyalahgunakan kekuasaan nya dengan berlindung
dibalik dalih kekuasaan yang merdeka dalam mengketukan palunya. Eksistensi
Komisi Yudisial dengan mandat Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Komisi
Yudisial menjadi sangat penting dan
strategis dalam menjaga hukum agar tidak disalahgunakan oleh hakim.
C.
Kewenangan
Pengawasan oleh Komisi Yudisial
Dalam Konteks supremasi hukum, pengawasan merupakan salah satu unsur esensial dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, sehingga siapapun
pejabat negara tidak boleh menolak untuk
diawasi. Melihat pengawasan tiada lain
untuk melakukan pengendalian yang bertujuan mencegah absolutisme kekuasaan, kesewenang-wenangan dan
penyalahgunaan wewenang.[13] Komisi Yudisial sebagai institusi yang berwenang
mengawasi tingkah laku hakim, pejabat dan pegawai peradilan memiliki fungsi yang sangat penting dalam
memberantas mafia peradilan. Ketegasan dan konsistensi institusi ini, sangat jelas untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dalam
tubuh lembaga peradilan. Sikap ini sangat
didambakan rakyat Indonesia mengingat
penegakan keadilan semuanya bertumpuk pada tangan hakim.[14]
D.
Obyek
Pengawasan
Komisi Yudisial merupakan sebuah institusi yang diberi mandat oleh Undang-Undang Dasar
untuk melakukan pengawasan terhadap
hakim di berbagai tingkatan baik hakim
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun hakim agung. Hakim mempunyai
fungsi yang sangat strategis
dalam mendukung upaya penegakan
hukum sebagai konsekuensi dari paham Indonesia sebagai negara hukum. Hakim
adalah aktor utama penegakan hukum (law enforcement) di pengadilan yang
mempunyai peran lebih apabila dibandingkan dengan jaksa, pengacara dan
Panitera. Hakim merupakan living
interpretator pada saat hukum mulai memasuki wilayah das sein
dan meninggalkan wilayah das
sollen.
Ia tidak
lagi sekedar berisi pasal-pasal mati
yang terdapat dalam suatu peraturan terkait,
tetapi sudah dihidupkan lagi oleh hakim.[15] Dengan demikian memang terhadap tingkah laku para hakim
baik didalam persidangan maupun di luar persidangan perlu mendapat pengawasan.
Masalahnya siapakah yang harus melakukan fungsi pengawasan tersebut dan
bagaimana cara efektif dan efisien agar
pengawasan terhadap hakim dapat terlaksana dengan baik.
Ada tiga
hal yang menjadi obyek pengawasan terhadap kinerja[16]hakim
yaitu :
a) Pengawasan bidang teknis peradilan atau teknis yustisial
Yang dimaksud dengan teknis peradilan adalah segala sesuatu yang menjadi tugas
pokok hakim, yaitu menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Dalam kaitan
ini termasuk pula bagaimana
terlaksananya putusan tersebut. Jadi tujuan pengawasan dalam konteks ini adalah
adanya peningkatan kualitas putusan hakim.
b)
Pengawasan bidang administrasi peradilan
Sedang yang dimaksud dengan administrasi peradilan adalah segala sesuatu yang menjadi
tugas pokok kepaniteraan lembaga pengadilan. Administrasi peradilan disini harus dipisahkan dengan
administrasi umum yang tidak ada sangkutpautnya dengan suatu perkara di lembaga
pengadilan tersebut. Administrasi peradilan
erat kaitannya terhadap teknis peradilan. Suatu putusan pengadilan tidak akan sempurna apabila masalah administrasi peradilan
diabaikan.
c) Pengawasan terhadap perbuatan pejabat
peradilan Pengawasan model ketiga ini adalah pengawasan terhadap tingkah laku perbuatan (pekerjaan) pejabat pengadilan dan
para hakim panitera, yang mengurangi kewajaran jalannya peradilan dilakukan
berdasarkan temuan-temuan, penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh hakim
dan pejabat kepaniteraan, baik yang dikemukakan atas dasar laporan hasil pengawasan internal maupun atas laporan
masyarakat media massa, dan lain-lain
pengawasan internal.
Konsekuensi logis sebuah negara
hukum yang telah dipilih Indonesia
berakar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas
dasar hukum yang baik dan adil. Salah satu lembaga yang memiliki peranan yang
sangat urgent dan mutlak diperlukan dalam
struktur negara modern dan mewadahi salah satu komponen dalam negara hukum
adalah kekuasaan kehakiman yang bebas, mandiri
dan bertanggung jawab. Kekuasaan kehakiman berfungsi sebagai lembaga pengontrol terhadap berlakunya hukum ini sehingga mutlak
diperlukan suatu lembaga kekuasaan
kehakiman yang tidak hanya sekedar ada, memiliki fasilitas yang diperlukan ataupun mampu
menyelesaikan perkara yang muncul tetapi lebih dari itu juga harus bersyaratkan
sebuah predikat yang bersih dan
berwibawa dalam
rangka
mewujudkan penegakan hukum dan keadilan.[17]
Sejarah telah
membuktikan bahwa Kekuasaan kehakiman
yang mandiri sebagai sebuah cita-cita
yang harus dijunjung tinggi dalam negara hukum Indonesia telah kehilangan
alamnya.[18]Pasal 13
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menyatakan :
a. Mengusulkan
pengangkatan hakim agung kepada
Dewan Perwakilan Rakyat, dan
b. Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat
serta menjaga perilaku hakim.
Komisi Yudisial mempunyai
peranan penting dalam sistem seleksi dan rekruitmen hakim agung yang
disamping hakim karier, juga berasal
dari non-hakim seperti praktisi,
akademisi dan lain-lain asal memenuhi syarat yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan. Kehadiran Komisi Yudisial di Indonesia juga didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di Mahkamah
Agung merupakan figur yang sangat menentukan dalam penegakan hukum dan keadilan.
Sementara itu khusus yang
berkaitan dengan kewenangan kedua yaitu menjaga
dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim, bertitik tolak pada fakta
bahwa diantara para penegak hukum yang lain, posisi hakim adalah istimewa. Hakim adalah konkretisasi
hukum dan keadilan yang abstrak. Hal ini berkaitan dengan tugas hakim seperti
yang digariskan dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu sebagai berikut :
1.
tugas bidang peradilan (teknis
yustisial) diantaranya :
a. Menerima, memeriksa dan mengadili
serta menyelesaikan setiap perkara
yang diajukan kepadanya;
b.
Mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang (Pasal 5
ayat (1));
c. Membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan
(Pasal 5 ayat (2));
d.
Tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara
yang diajukan dengan dalih belum hukumnya tidak/kurang jelas, tetapi
wajib memeriksa dan
menjadikannya (Pasal 16 ayat (1)).
2. tugas yuridis, yaitu memberi keterangan,
pertimbangan dan nasihat-nasihat tentang soal-soal hukum kepada lembaga negara lainnya apabila diminta
(Pasal 27).
3. tugas akademis ilmiah dalam melaksanakan
tugas pokoknya, yaitu hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1).
Dalam kerangka
tugas-tugas hakim seperti yang
digariskan Undang-Undang tersebut, Komisi Yudisial melakukan pengawasan terhadap
perilaku hakim. Jadi Komisi Yudisial merupakan lembaga pengawas ekstern dan
bersifat independen. Sedangkan Mahkamah Agung melakukan pengawasan intern terhadap hakim. Pengawasan pada
hakikatnya adalah suatu tindakan menilai apakah telah berjalan sesuai dengan
yang telah ditentukan. Dengan pengawasan akan ditemukan kesalahan-kesalahan
yang akan dapat diperbaiki dan yang terpenting jangan sampai kesalahan yang sama
terulang lagi.Selanjutnya babak terakhir
dari hasil pengawasan yang
dilakukan oleh Komisi Yudisial berujung
pada rekomendasi kepada Mahkamah Agung dan atau Mahkamah Konstitusi
(Pasal 23 Undang-Undang Komisi Yudisial), serta mengusulkan penjatuhan sanksi (punishment) terhadap
hakim yang melakukan pelanggaran. Disamping
itu Komisi Yudisial juga dapat mengusulkan pemberian penghargaan (reward)
terhadap hakim yang baik dan berprestasi.
Bab III
Metode Penelitian
1. Metode
pendekatan
Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
yuridis normatif, karena yang akan diteliti adalah permasalahan kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan fungsi
pengawasannya terhadap Hakim Konstitusi sebab dalam putusannya
Mahkamah Konstitusi pada intinya menyatakan bahwa
hakim Mahkamah Konstitusi tidak termasuk dalam obyek pengawasan Komisi Yudisial selain itu
segala ketentuan yang menyangkut pengawasan
harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sebab Undang-Undang
Komisi Yudisial tersebut tidak rinci mengatur pengawasan,
subyek yang mengawasi, obyek yang diawasi, instrument yang digunakan, dan bagaimana proses
pengawasan dilaksanakan, dan pengaturan
fungsi pengawasan yang sebaiknya diberlakukan agar
semua ketentuan tentang pengawasan
Komisi Yudisial terhadap Hakim Konstitusi tidak menjadi kabur
dan menimbulkan ketidakpasitan hukum dalam pelaksanaannya.
Penelitian hukum normatif ini mencakup :
1.
Penelitian terhadap azas-azas hukum.
2.
Inventarisasi undang-undang / hukum
positif.
3.
Penelitian terhadap sistematik hukum.
4.
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi
vertikal dan horizontal.
5.
Perbandingan hukum.
6.
Sejarah hukum[19]
2. Spesifikasi
penelitian
Penelitian
ini bersifat Deskriptif-analitis, karena prosedur pemecahan
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/ melukiskan
keadaan subyek/obyek penelitian, dalam hal ini lembaga Negara yaitu : Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial
pada saat sekarang
berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
Usaha
mendeskripsikan fakta-fakta itu pada tahap permulaan tertuju pada usaha mengemukakan
gejala-gejala secara lengkap didalam
aspek yang diselidiki agar jelas keadaan atau kondisinya, termasuk hubungannya satu dengan yang
lain di dalam aspek-aspek yang
diselidiki itu.
Pada
tahap berikutnya fakta-fakta yang ditemukan diberikan penafsiran, kemudian diikuti dengan
analisa dan interpretasi tentang arti
data yang ada.
3. Jenis
dan sumber data
a.
Jenis
data
Jenis
data dapat dikelompokkan menjadi data kualitatif dan data kuantitatif. Dalam penelitian ini lebih
banyak digunakan data kualitatif
sebab penelitian akan dilakukan secara deskriptif. Data kualitatif ini dinyatakan dalam bentuk
kalimat atau uraian.
b. Sumber data
Dalam
penelitian hukum normatif maka yang digunakan sebagai sumber data adalah bahan pustaka.
Apabila dilihat dari sudut sifat informasi
yang diberikannya bahan pustaka dapat dibagi dalam 2 kelompok sebagai berikut :
1.
Bahan
hukum primer, yakni bahan pustaka yang berisikan penelitian ilmiah yang baru
atau mutakhir, atau pengertian baru tentang fakta yang diketahui maupun
mengenai suatu gagasan atau ide. Bahan atau sumber hukum primer ini mencakup
buku, seminar, majalah, skripsi.
2. Bahan
hukum sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisi infomasi tentang bahan primer.
Bahan hukum sekunder ini diantaranya mencakup abstrak, indeks, bibliografi dan
acuan lain.
4. Teknik
pengumpulan data
Mengingat
penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, maka data yang diidentifikasi
diperoleh dengan menggunakan
teknik/studi kepustakaan. Dalam teknik/studi kepustakaan
penelitian ini tidak pernah dapat dilepaskan dari literature-literatur ilmiah.
Dalam penelitian kualitatif, teknik ini berfungsi sebagai
alat pengumpul data utama, karena pembuktian hipotesanya dilakukan secara logis dan rasional
melalui pendapat, teori atau hukum-hukum
yang diterima kebenarannya, baik yang menolak maupun
yang mendukung hipotesa tersebut
5.
Teknik analisis data
Teknik
analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis
kualitatif yang artinya kegiatan mengumpulkan data kemudian diadakan pengeditan terlebih
dahulu untuk selanjutnya dimanfaatkan
sebagai bahan analisis yang sifatnya kualitatif yang dalam penelitian ini juga digunakan
pendekatan yuridis normatif, kemudian
untuk menganalisis data yang dilakukan dengan analisis normatif kualitatif, dan diharapkan
dapat menghasilkan data deskriptif
kualitatif.
Data
yang diperoleh kemudian ditafsirkan pada peraturan perundang-undangan dan doktrin-doktrin
hukum yang berhubungan
dengan masalah yang diteliti.
E.
Sistematika penulisan
Hasil penelitian ini akan disusun dalam sistematika
penulisan sebagai berikut
:
Tentang latar belakang
penelitian beserta permasalahannya yang memuat manfaat dan tujuan penelitian ini akan dibahas
didalam Bab I Pendahuluan. selanjutnya tentang tinjauan pustaka dan pembahasan yang memuat uraian tentang analisa penulis terhadap
permasalahan yang menjadi fokus
penelitian akan dibahas didalam Bab II tinjauan pustaka. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan proposal
ini akan dibahas dalam bab III. kemudian tentang
kesimpulan dari pembahasan yang telah diuraikan dalam Bab II, disertai saran - saran berdasarkan temuan-temuan
yang diperoleh dalam penelitian ini akan
dibahas didalam bab IV Penutup.
[1] Prim Fahrur Razi, “Sengketa Kewenangan Pengawasan antara Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial”Program
Pascasarjana (S-2)UNDIP
[2] Pasal 24 B UUD 1945 Perubahan Ketiga
[3] Prim Fahrur Razi, “Sengketa Kewenangan Pengawasan antara Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial”Program Pascasarjana (S-2)UNDIP
[4] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial
[6] Pasal
7B Undang-Undang Dasar 1945 Pasca
Amandemen
[7] Pasal
14 UU Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
[8] Pasal 13 Undang-Undang No 22 Tahun 2004
Tentang Komisi Yudisial
[9] Pasal 1 angka 5 undang-undang no 22 tahun
2004 tentang komisi yudisial
[10]A.
Ahsin Thohari, Dari Law Enforcement ke Justice Enforcement, Harian Kompas,
Rabu, 3 Juli, 2002.
[11]
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Panduan
dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara RI tahun
1945, Latar Belakang, Proses dan
Hasil Perubahan UUD Negara RI tahun
1945, Jakarta : Sekjen MPR RI, 2003, hal
195.
[12]
Lukman Hakim Saifuddin, Komisi Yudisial
dan Fungsi Checks and Balance dalam KK, Bunga Rampai, hal 422
[13]Yohanes
Usfunan, Komisi Yudisial, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi
Yudisial, hal. 207, Komisi Yudisial
RI, Jakarta.
[14] Ibid.
hal 194.
[15] A.
Ahsini Thohari, Loc Cit.
[16] MARI,
Pedoman Perilaku Hakim (code of
landnet), MARI, Jakarta, 2004, hal 80-81
[17]
AL Wisnubroto, Hakim dan Peradilan di
Indonesia, Dalam Beberapa Aspek Kajian,
Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, 1997, hal 64.
[18]
Sirajuddin & Zulkarnain, Komisi
Yudisial dan Eksaminasi Publik, PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 3.
[19]
Suryono
Sukanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT.Raja
GrafindoPersada, Jakarta, Cet IV, 2001, hal 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar