Minggu, 17 September 2017

Pemerintahan Nagari Pada Era Orde Baru




Makalah Hukum Pemerintahan Nagari
Tentang
Pemerintahan Nagari Pada Era Orde Baru



Disusun oleh  :
Fahrezi Ramadan


Fakultas Hukum
Universitas Andalas
2011




Kata Pengantar

                Pertama kali penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT karena berkat rahmat dan karunianyalah penulis dapat menyelesaikan Makalah Tentang pemerintahan nagari pada era orde baru.
                Pada kesempatan ini tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing dalam Mata Kuliah Hukum Pemerintahan Nagari yaitu Bpk. Lerry Pattra,SH.MH yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
               Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan.untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.mudah-mudahan makalah yang penulis buat dapat memenuhi Tugas Hukum Pemerintahan Nagari khususnya dan juga bermanfaat bagi pembaca.
               Tak ada gading yang tak retak,Tak ada manusia yang sempurna dan Tak ada manusia yang tak salah.Atas segala kesalahan dan kekurangan penulis mohon maaf.


Padang, 19 agustus  2011


                                                                                                                penulis








Daftar isi




Bab I       : Pendahuluan
        I.1   : Latar Belakang Masalah
        I.2   : Permasalahan
Bab II     : Pembahasan
Bab III    : Penutup
      III.1  : Kesimpulan
      III.2  : Saran
Daftar Pustaka







Bab I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang Masalah
            Keberadaan Nagari sebagai sistem pemerintahan teren­dah di Propin­si Sumatera Barat telah ada sejak sebelum kedatangan kolonial Belanda ke Indonesia. Bahkan dikatakan bahwa sistem nagari diduga sudah ada sejak sebelum Aditya­­­war­man mendiri­kan Kerajaan Pagaruyung, suatu kera­jaan kon­fe­derasi dari nagari-nagari otonom yang berada di bumi Minang­­­kabau.Apabila disimak pengaturan pemerintahan daerah/desa sejak masa penjajahan Belanda ketika Inlandshe Gemeente Ordonantie (IGO) diberlakukan untuk Jawa dan Madura dan Inlandshe Gemeente Ordonantie Buitengewesten (IGOB) untuk luar Jawa dan Madura sampai ditetapkannya UU No. 5/1979 relatif tidak banyak berubah. Sedangkan pada masa Jepang masalah pedesaan tidak diatur secara khusus.Pada era kolonial Belanda dan era kemerdekaan, sis­tem peme­rintah­an Nagari tetap bertahan. Namun ironisnya, pada era Orde Baru, dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerin­tahan Desa, sistem pemerintahan nagari “dipaksa” ha­rus bubar, dan di­ganti dengan sistem pemerintahan desa yang di­berlaku­kan secara nasional.Di Indonesia semenjak Pemerintahan Kolonial Belanda menetapkan peraturan khusus untuk masyarakat desa, maka sejak itu pula pemerintah ikut campur dalam kehidupan masyarakat desa.Keadaan ini terus berlanjut hingga Indonesia merdeka bahkan diperparah lagi setelah adanya konsep pembangunan pada masa pemerintah Orde Baru, sehingga dengan alasan “pembangunan” Negara dapat saja ikut campur dalam segala aspek kehidupan masyarakat.
              Dampak konsep pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintahan Orde Baru pada masyarakat pedesaan adalah hampir di seluruh aspek kehidupan masyarakat didominasi dan diintervensi negara.Negara bertindak monopoli dan sebagai “aktor tunggal” yang sentralistis. Selama Orde Baru program pembangunan desa berdasarkan UU No. 5/1979 mempunyai tujuan ganda yaitu melibatkan masyarakat agar berperan serta dalam pembangunan secara umum melalui proses memasukkan desa ke dalam negara, dan proses memasukkan negara ke dalam desa. pada masa pemerintahan Orde Baru peran negara dan aparatnya juga otoriter dan sentralistik dalam pelaksanaan kebijaksanaan. Pada awal Orde Baru pemerintah belum berpikir ten-tang pemerintahan desa, apalagi otonomi desa. Pikiran utama pemerintah terletak pada konsolidasi politik. Langkah pertama yang ditempuh oleh Orde Baru adalah membersihkan sisa-sisa pengaruh PKI, yang sebelumnya berakar di desa, untuk mencapai stabilitas politik.

I.2 Permasalahan
A.    Bagaimana bentuk pemerintahan nagari pada era orde baru  ?
B.     Apa saja ketentuan yang terdapat dalam sk gubernur kepala daerah provinsi sumbar no 015/GSB/1968,sk gubernur kepala daerah tingkat 1 sumbar no 155/GSB/1974,UU no 5 Tahun 1979 Tentang Desa   ?
C.     Bagaimana eksistensi UU no 5 tahun 1979 Tentang Desa bagi masyarakat dan apa dampak negatifnya ?
























Bab II
Pembahasan
                   Pembicaraan tentang Orde Baru selalu terpusat pada upaya-upaya penguatan rezim pembangunan yang bersifat otoritarian dan sentralistik baik dalam pembangunan, pemerintahan daerah dan otonomi desa yang selalu bermuara pada visi, konteks dan karakter otoritarian dan sentralistik itu. Posisi desa pada masa Orde Baru tidak lepas dari agenda modernisasi dan pembangunan yang mengutamakan Trilogi : stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Pada awal Orde Baru pemerintah belum berpikir tentang pemerintahan desa, apalagi otonomi desa. Pikiran utama pemerintah terletak pada konsolidasi politik. pemerintah mulai melancarkan pembangunan desa untuk tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek pembangunan desa adalah untuk meningkatkan taraf penghidupan dan kehidupan rakyat khususnya di desa desa yang berarti menciptakan situasi dan kekuatan-kekuatan serta kemampuan desa dalam suatu tingkat yang lebih kuat dan nyata dalam pembangunan-pembangunan berikutnya. Tujuan jangka panjangnya adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila . Sedangkan sasaran pembangunan desa adalah agar desa-desa merupakan satuan terkecil administrasi pemerintahan, ekonomi dan ikatan kemasyarakatan, dapat mempercepat pertumbuhannya dari desa swadaya, menjadi desa swakarsa dan seterusnya menjadi desa swasembada.Pemerintah Orde Baru menempatkan isu desentralisasi pemerintahan daerah/desa setelah atau bahkan di bawah agenda konsolidasi politik dan pembangunan.
               meski rezim Orde Lama telah berakhir. Masyarakat di daerah ini masih merasa "sungkan" untuk menunjukkan identitas sebagai orang Minangkabau karena dengan sendirinya akan dicap sebagai "etnis pemberontak". Kondisi ini juga sangat mempengaruhi kalangan intelektual dan tokoh-tokoh masyarakat. Hal ini terlihat dari tidak banyaknya muncul wacana-wacana keminangkabauan dari tokoh-tokoh masyarakat daerah ini. Suasana ini mulai agak mencair ketika muncul inisiatif untuk mendirikan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) sebagai wadah yang diharapkan dapat berfungsi untuk mengangkatkan kembali identitas budaya masyarakat di daerah ini. Gagasan pendirian lembaga ini sebenarnya bukanlah muncul dari kalangan pemuka adat, namun justru dari kalangan militer tepatnya dari Panglima Komando Antar Daerah Letjen TNI Mokoginta dan kemudian direalisasikan oleh Panglima Kodam III/17 Agustus, Kolonel Poniman untuk mengkondisikan para ninik mamak dalam rangka menghimpun potensinya ke dalam satu wadah. melalui musyawarah ninik mamak terbentuklah Badan Kontak Perjuangan Ninik Mamak pada bulan Maret tahun 1966. Badan inilah yang kemudian menjelma menjadi LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) sebagai organisasi ninik mamak dan penghulu se-Sumatera Barat.
                   Sebenarnya tidak banyak yang dapat diharapkan dari keberadaan lembaga itu untuk membangkitkan kembali otoritas adat yang selama ini terpinggirkan , namun setidaknya gagasan yang muncul dari atas ini dirasakan sebagai kehormatan bagi identitas Minangkabau, karena adanya perhatian dari pihak militer dan penguasa terhadap budaya daerah yang selama ini sangat terabaikan. Ada tiga langkah utama yang ditempuh oleh Orde Baru untuk mengendalikan desa: konsolidasi politik untuk menciptakan stabilitas politik desa,pembangunan desa;dan modernisasi, negaranisasi dan marginalisasi desa melalui UU No.5/1979.
A.     SK Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumbar No 015/GSB/1968
                    Pada tahun 1968 pemerintah daerah mengeluarkan Keputusan tentang Peraturan Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari Dalam Propinsi Sumatera Barat (SK. No. 015/GSB/ 1968 Tanggal 18 Maret 1968). Peraturan yang baru ini menggantikan Peraturan yang pernah dikeluarkan pada tahun 1963 (SK. Gub. No.02/Desa/GSB/Prt./1963) yang dinyatakan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat nagari. Disamping itu Undang-Undang Desa pradja yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat pada bulan September 1965 (U.U. No. 19 Tahun 1965) ditunda pelaksanaannya karena masih perlu ditinjau kembali (berdasarkan Instruksi Mendagri No. 29 Tahun 1966) .
                    alasan pemerintah daerah mengeluarkan peraturan ini adalah untuk mengambil langkah mengukuhkan kembali sistem pemerintahan Nagari. Pertimbangan itu lebih didorong oleh kenyataan yang terdapat di hampir semua nagari di Sumatera Barat pada waktu ini disamping telah berakhirnya masa jabatan Kepala Nagari sejak bulan Juli tahun sebelumnya, juga terdapat sejumlah jabatan di sebahagian besar nagari di Sumatera Barat mengalami kekosongan seperti Kepala Nagari, Pamong Nagari dan anggota Badan Musyawarah Nagari sebagai akibat terjadinya peristiwa G.30 S. PKI. Hal positif yang dilakukan dengan dikeluarkannya peraturan itu antara lain adalah upaya penyelamatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap sistem internal dari intervensi kekuatan eksternal. Dengan demikian sistem kepemimpinan nagari otonom seperti yang berlaku pada waktu sebelumnya tetap dapat dipertahankan.peraturan ini telah memberikan kembali hak-hak politik rakyat nagari serta hak untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan nagari. Pemerintahan Nagari ditegaskan kembali dalam rumusan S.K. itu sebagai berikut :
"Pemerintah Nagari adalah penguasa Nagari jang memim-pin rakjat Nagari dengan membuat dan melaksanakan peraturan dan keputusan-keputusan Nagari, menjelenggarakan segala peraturan perundangan dari Pemerintah tingkat atasan serta usaha-usaha lainnja jang ditudjukan untuk mewudjudkan masjarakat adil dan makmur berdasarkan Pantja Sila.
                     Dalam peraturan ini, Alat perlengkapan pemerintahan nagari terdiri dari tiga unsur, yaitu : Wali Nagari, Dewan Perwakilan Rakyat Nagari dan Kerapatan Nagari.


B.     SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 Sumatra Barat No 155/GSB/1974
                   Bentuk atau susunan Pemerintahan Nagari telah diatur kembali dengan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat No. 155/GSB/1974, yaitu mengenai Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari Dalam Daerah Tingkat I Sumatera Barat. Sebelum “ Desa “ ditetapkan sebagai pengganti nagari, Pemerintahan Nagari diatur dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sumatera Barat Nomor 155/GSB/1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari dalam Daerah Tingkat I Sumatera Barat. Pasal 1 ayat (1) Surat Keputusan tersebut menjelaskan bahwa : “Nagari adalah kesatuan Masyarakat Hukum di Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat, yang merupakan pemerintahan dasar dari Negara Republik Indonesia, yang tertentu batas-batas wilayahnya, mempunyai harta benda sendiri, berhak mengatur rumah tangganya dan memilih penguasanya”.
                   Pada tahun 1974 Pemerintah Daerah kembali mengeluarkan Keputusan tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari dalam Propinsi Daerah Tk.I Sumatera Barat yaitu SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 Sumbar No 155/GSB/1974.SK yang terakhir ini tidak banyak perbedaan dengan SK gubernur kepala daerah provinsi sumbar no 015/GSB/1968, namun posisi Kerapatan Nagari malah semakin diperkuat. Alat perlengkapan Nagari sebagai pemerintahan nagari yang semula terdiri dari tiga unsur, yaitu : Wali Nagari, Dewan Perwakilan Rakyat Nagari dan Kerapatan Nagari, kini menjadi dua unsur, yaitu : Wali Nagari dan Kerapatan Nagari yang dinyatakan secara tegas bersama-sama merupakan Pemerintahan Nagari . Pengaturan ini semakin memperkuat posisi Kerapatan Nagari sebagai lembaga legislatif yang tidak lagi diketuai oleh Wali Nagari.Pemerintah daerah masih mengakui keberadaan Nagari sebagai unit pemerintahan terendah dengan penegasan bahwa untuk status, kedudukan, dan fungsinya dalam bidang pemerintahan tetap mempedomani SK. Gubernur No. 155/ GSB/1974.
C.     Pemerintahan Nagari Pasca Berlakunya Uu No 5 Tahun 1979 Tentang Desa
                    Berdasarkan historisnya, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 merupakan perwujudan dari pasal 88 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa pengaturan tentang Pemerintahan Desa ditetapkan dengan Undang-Undang. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tersebut mulai berlaku secara nasional di seluruh wilayah Negara Indonesia sejak tanggal 1 Desember 1979. Banyak pihak menilai bahwa UU No. 5/1979 merupakan bentuk Jawanisasi atau menerapkan model desa Jawa untuk kesatuan masyarakat adat di Luar Jawa. Dengan sendirinya UU ini tidak mengakui lagi keberadaan nagari, huta,sosor, marga, negeri, binua, lembang, parangiu dan lain-lain yang umumnya berada di Luar Jawa . Ketetapan-ketetapan dalam UU No. 5 /1979 memaksa desa dan kesatuanmasyarakat hukum yang menjadi bagian darinya  menjadi seragam. Perse-kutuan sosial desa lain yang belum sesuai bentuknya dengan desa dipaksa menyesuaikan diri, melalui upaya misalnya regrouping desa, sehingga tidak dapat disebut desa lagi. Desa mengalami birokratisasi  kedalam satu garis komando yang sentralistik. desa kemudian menjadi unit pemerintahan terendah langsung dibawah Camat, guna mendukung pengendalikan dan pelaksanaan cita-cita pembangunan, sebagaimana yang diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.
                     Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat dihadapkan pada dua pilihan, yaitu apakah nagari yang dijadikan desa ataukah jorong yang akan ditetapkan sebagai pemerintahan terendah. Pilihan jatuh pada Jorong, yang berarti memecah Nagari menjadi beberapa buah desa. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 162/GSB/1983, terhitung tanggal 1 Agustus 1983 seluruh Jorong yang merupakan bagian dari nagari dinyatakan sebagai desa baru dengan sistem pemerintahan baru berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979. Sebagai konsekuensi logis dari penetapan Jorong menjadi Desa ialah banyaknya Desa yang tidak mampu melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri akibatnya laju pembangunan desa menjadi lamban, karena minimnya partisipasi sosial masyarakat desa. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa maka berlaku ketentuan sebagai berikut seperti :
a.       kepala desa dipilih oleh rakyat melalui demokrasi langsung. Ketentuan pemilihan kepala desa secara langsung itu merupakan sebuah sisi demokrasi di  desa. Meskipun dipilih secara demokrasi tidak terlepas dengan intimidasi terhadap rakyat, manipulasi terhadap hasil pemilihan, dan dikendalikan secara ketat oleh negara
b.      status Nagari dihilangkandan diganti dengan desa
c.        jorong-jorong ditingkatkan statusnya menjadi desa
d.      Kedudukan Wali Nagari dihapus dan
e.       administrasi pemerintahan dijalankan oleh para Kepala Desa.
f.       menobatkan kepala desa sebagai“penguasa tunggal” di desa.
g.      pembagian kekuasaan di desa yakni ada kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD) terdapat dalam pasal 3 uu no 5 tahun 1979
h.      Pemerintahan Daerah tidak mempunyai kebebasan lagi dalam menentukan bentuk susunan pemerintahan desa sendiri karena berdasarkan undang-undang tersebut organisasi pemerintahan desa telah tersentralisasi.
                    Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa menyeragamkan bentuk organisasi pemerintahan terendah di seluruh Indonesia dengan sebutan Desa. Di Sumatera Barat yang dibentuk jadi Desa adalah Jorong sehingga Nagari terpecah atas jorong-jorong yang kemudian disebut Desa. Struktur organisasi Pemerintahan Desa menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.Kenyataan menunjukkan bahwa kebijaksanaan menetapkan jorong menjadi desa sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 di Sumatera Barat telah menimbulkan degradasi dalam berbagai segi. implementasi UU No.5/1979 tersebut menimbulkan dampak negatif yang tidak kecil seperti :
a.       Timbulnya dualisme dalam pengaturan kehidupan masyarakat yaitu urusan pemerintahan oleh Kepala Desa sedangkan soal kemasyarakatan menjadi wewenang Kerapatan Adat Nagari (KAN), yang dalam kenyataannya memisahkan hal tersebut.
b.      Desa kurang dapat berbuat banyak dalam pembangunan disebabkan terpecahnya potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam serta kurangnya dukungan dari warga baik yang berada di desa maupun di perantauan.
c.       Pemerintah Desa lebih cenderung mengabaikan kedudukan dan perannya dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. 
                   meskipun dalam perumusannya UU No. 5 Tahun 1979 mengakui dan menghormati keberadaan hukum adat, terdapat banyak aturan dalam undang-undang ini yang telah membuat penyeragaman dalam berbagai hal, mulai dari penyebutan istilah-istilah yang digunakan hingga sistem pengelolaannya. Oleh karenanya, meskipun bertahan hingga 20 tahun, Undang-Undang ini dianggap tidak konstitusional oleh masyarakat desa, terutama bagi mereka yang tinggal di luar pulau Jawa, karena telah menyeragamkan bentuk dan peristilahan desa di seluruh Indonesia. 
                  Penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan Pemerintahan Desa secara nasional, dalam kenyataannya telah menyebabkan berbagai kesulitan dan permasalahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik kehidupan pemerintahan maupun dalam kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat di Sumatera Barat. Dari segi kepentingan pemerintah pusat, UU No. 5/1979 tentu membawa banyak manfaat yaitu :
a.       Penetrasi pemerintahan pusat pada daerah-daerah pedesaan di Indonesia pada umumnya, khususnya di desa-desa luar Jawadan Madura, lebih sangat efektif.
b.      Keseragaman struktur pemerintahan desa bagi seluruh desa juga menguntungkan pemerintah pusat karena keseragaman itu memudahkan pemerintah menjalankan pembinaan terhadap pemerintah desa.
c.       Pelaksanaan program Inpres Bandes juga bisa berjalan secara efektif (menurut kacamata pemerintah) karena dijalankan dalam kerangka pemerintahan desa yang seragam.
d.      Demikian juga dengan agenda konsolidasi politik (kebijakan massa mengambang) dan keamanan yang bekerja secara efektif dalam birokrasi sipil militer yang paralel, seragam dan hirakhis.
                         Kebijakan UU No. 5/1979 tentu menuai badai protes dari berbagai pihak. Mereka menyerukan bahwa UU No. 5/1979 sebagai bentuk Jawanisasi, penyeragaman yang tidak peka terhadap kondisi sosial-budaya setempat dan menghancurkan identitas dan harga diri orang Minangkabau. Karena itu untuk menyesuaikan undang-undang tersebut dengan situasi sosial budaya masyarakat local Minangkabau, Pemda Sumbar melalui Perda No. 13/1983 membentuk apa yang dikenal dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Anggota KAN ini terdiri dari pimpinan adat dan bertugas untuk memutuskan segala masalah adat yang timbul dalam nagari.
                  Sejalan dengan gencarnya tuntutan reformasi dan demokratisasi di berbagai bidang, pemerintah pun menyadari bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan Pemerintahan Desa tersebut tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945, sehingga Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tersebut diganti dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.





















Bab III
Penutup

III.1 Kesimpulan
                Pada era kolonial Belanda dan era kemerdekaan, sis­tem peme­rintah­an Nagari tetap bertahan. Namun ironisnya, pada era Orde Baru, dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerin­tahan Desa, sistem pemerintahan nagari “dipaksa” ha­rus bubar, dan di­ganti dengan sistem pemerintahan desa yang di­berlaku­kan secara nasional.Pembicaraan tentang Orde Baru selalu terpusat pada upaya-upaya penguatan rezim pembangunan yang bersifat otoritarian dan sentralistik baik dalam pembangunan, pemerintahan daerah dan otonomi desa yang selalu bermuara pada visi, konteks dan karakter otoritarian dan sentralistik itu. Suasana ini mulai agak ketika muncul inisiatif untuk mendirikan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) sebagai wadah yang diharapkan dapat berfungsi untuk mengangkatkan kembali identitas budaya masyarakat di daerah ini.
                meskipun dalam perumusannya UU No. 5 Tahun 1979 mengakui dan menghormati keberadaan hukum adat, terdapat banyak aturan dalam undang-undang ini yang telah membuat penyeragaman dalam berbagai hal, mulai dari penyebutan istilah-istilah yang digunakan hingga sistem pengelolaannya. Oleh karenanya, meskipun bertahan hingga 20 tahun, Undang-Undang ini dianggap tidak konstitusional oleh masyarakat desa, terutama bagi mereka yang tinggal di luar pulau Jawa, karena telah menyeragamkan bentuk dan peristilahan desa di seluruh Indonesia.Sejalan dengan gencarnya tuntutan reformasi dan demokratisasi di berbagai bidang, pemerintah pun menyadari bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan Pemerintahan Desa tersebut tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945, sehingga Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tersebut diganti dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
III2. Saran
                Beberapa hal yang perlu segera kita dilakukan bersama-sama untuk menerapkan istilah kembali ke nagari serta untuk memajukan nagari yaitu :
  1. Memahami kembali budaya minangkabau yang selama ini kurang dipahami oleh masyarakat minangkabau.
Budaya selalu bersifat dinamis berbanding lurus dengan kedinamisan masyarakat yang menjadi elemen utama dari kebudayaan tersebut. Oleh karena budaya masyarakat minang tidaklah seragam sesuai dengan kondisi masyarakat & karakteristik daerah yang berbeda, sebagai contoh budaya di pesisir tentu ada perbedaan dengan budaya di dataran tinggi.Oleh karena itu sudah sepatutnya kita mulai kembali membaca, berdiskusi, membahas budaya adat istiadat minangkabau yang berlaku di kanagarian masing-masing bersama sanak famili kita.
  1. Melakukan diskusi-diskusi dengan sesama anak nagari terhadap kemajuan nagari, baik diperantauan ataupun dikampung halaman.
Hal ini bisa dilakukan dengan cara bertahap, dimulai dari level terkecil pada paruik/kaum masing-masing, kemudian ke tingkat jorong dan terakahir ke tingkat nagari.
  1. Sudah saatnya perantau melakukan planning bila masanya harus kembali ke kampung halaman dan menetap dikampung.
  2. Mambangkik Batang nan Tarandam.
  3. Memahami benar sifat Egaliter yang dijunjung dalam adat & budaya minangkabau.
Egaliter adalah persamaan hak & sederajat dalam suatu masyarakat, tanpa memandang individu dengan suatu perbedaan dan tingkat sosial. Tidak memandang manusia karena hartanya, karena kekuasaan, karena kepintarannya. Apabila hal ini bisa diterapkan secara sungguh, akan tercipta masyarakat yang saling menghargai, menjunjung tinggi hak azazi setiap individu.










Daftar Pustaka
1.       Mohamad Hasbi, Desa Dan Pembangunan Pedesaan Di Sumatera Barat.Yayasan Genda Budaya. Padang, 1990.
2.       SK gubernur kepala daerah provinsi sumbar no 015/GSB/1968
3.       SK gubernur kepala daerah tingkat 1 sumbar no 155/GSB/1974
4.       UU No 5 Tahun 1979 Tentang Desa



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar