Makalah
Hukum Pemerintahan Nagari
Tentang
Pemerintahan
Nagari Pada Era Orde Baru
Disusun
oleh :
Fahrezi
Ramadan
Fakultas
Hukum
Universitas
Andalas
2011
Kata
Pengantar
Pertama kali penulis
mengucapkan puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT karena berkat rahmat dan
karunianyalah penulis dapat menyelesaikan Makalah Tentang pemerintahan nagari
pada era orde baru.
Pada kesempatan ini tak lupa
pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing dalam Mata Kuliah
Hukum Pemerintahan Nagari yaitu Bpk. Lerry Pattra,SH.MH yang telah membimbing
penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah
ini masih banyak terdapat kekurangan.untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah
ini.mudah-mudahan makalah yang penulis buat dapat memenuhi Tugas Hukum
Pemerintahan Nagari khususnya dan juga bermanfaat bagi pembaca.
Tak ada gading yang tak
retak,Tak ada manusia yang sempurna dan Tak ada manusia yang tak salah.Atas
segala kesalahan dan kekurangan penulis mohon maaf.
Padang,
19 agustus 2011
penulis
Daftar
isi
Bab I : Pendahuluan
I.1
: Latar Belakang Masalah
I.2
: Permasalahan
Bab II : Pembahasan
Bab III : Penutup
III.1
: Kesimpulan
III.2
: Saran
Daftar Pustaka
Bab
I
Pendahuluan
I.1
Latar Belakang Masalah
Keberadaan
Nagari sebagai sistem pemerintahan terendah di Propinsi Sumatera Barat telah
ada sejak sebelum kedatangan kolonial Belanda ke Indonesia. Bahkan dikatakan
bahwa sistem nagari diduga sudah ada sejak sebelum Adityawarman mendirikan
Kerajaan Pagaruyung, suatu kerajaan konfederasi dari nagari-nagari otonom
yang berada di bumi Minangkabau.Apabila disimak pengaturan pemerintahan
daerah/desa sejak masa penjajahan Belanda ketika Inlandshe Gemeente Ordonantie
(IGO) diberlakukan untuk Jawa dan Madura dan Inlandshe Gemeente Ordonantie
Buitengewesten (IGOB) untuk luar Jawa dan Madura sampai ditetapkannya UU No.
5/1979 relatif tidak banyak berubah. Sedangkan pada masa Jepang masalah
pedesaan tidak diatur secara khusus.Pada era kolonial Belanda dan era
kemerdekaan, sistem pemerintahan Nagari tetap bertahan. Namun ironisnya,
pada era Orde Baru, dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa, sistem pemerintahan nagari “dipaksa” harus bubar, dan diganti dengan
sistem pemerintahan desa yang diberlakukan secara nasional.Di Indonesia
semenjak Pemerintahan Kolonial Belanda menetapkan peraturan khusus untuk masyarakat
desa, maka sejak itu pula pemerintah ikut campur dalam kehidupan masyarakat
desa.Keadaan ini terus berlanjut hingga Indonesia merdeka bahkan diperparah
lagi setelah adanya konsep pembangunan pada masa pemerintah Orde Baru, sehingga
dengan alasan “pembangunan” Negara dapat saja ikut campur dalam segala aspek
kehidupan masyarakat.
Dampak konsep pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintahan Orde Baru
pada masyarakat pedesaan adalah hampir di seluruh aspek kehidupan masyarakat
didominasi dan diintervensi negara.Negara bertindak monopoli dan sebagai “aktor
tunggal” yang sentralistis. Selama Orde Baru program pembangunan desa
berdasarkan UU No. 5/1979 mempunyai tujuan ganda yaitu melibatkan masyarakat
agar berperan serta dalam pembangunan secara umum melalui proses memasukkan
desa ke dalam negara, dan proses memasukkan negara ke dalam desa. pada masa
pemerintahan Orde Baru peran negara dan aparatnya juga otoriter dan
sentralistik dalam pelaksanaan kebijaksanaan. Pada awal Orde Baru
pemerintah belum berpikir ten-tang pemerintahan desa, apalagi otonomi desa.
Pikiran utama pemerintah terletak pada konsolidasi
politik. Langkah pertama yang ditempuh oleh Orde Baru
adalah membersihkan sisa-sisa pengaruh PKI, yang sebelumnya berakar di desa, untuk mencapai stabilitas
politik.
I.2
Permasalahan
A. Bagaimana
bentuk pemerintahan nagari pada era orde baru ?
B. Apa
saja ketentuan yang terdapat dalam sk gubernur kepala daerah provinsi sumbar no
015/GSB/1968,sk gubernur kepala daerah tingkat 1 sumbar no 155/GSB/1974,UU no 5
Tahun 1979 Tentang Desa ?
C. Bagaimana
eksistensi UU no 5 tahun 1979 Tentang Desa bagi masyarakat dan apa dampak
negatifnya ?
Bab
II
Pembahasan
Pembicaraan tentang Orde Baru selalu terpusat
pada upaya-upaya penguatan
rezim pembangunan yang bersifat otoritarian dan sentralistik baik dalam
pembangunan, pemerintahan daerah dan otonomi desa yang selalu bermuara pada
visi, konteks dan karakter otoritarian dan sentralistik itu. Posisi desa pada masa Orde Baru tidak lepas dari
agenda modernisasi dan pembangunan yang mengutamakan Trilogi : stabilitas,
pertumbuhan dan pemerataan. Pada awal Orde Baru pemerintah belum berpikir
tentang pemerintahan desa, apalagi otonomi desa. Pikiran utama pemerintah
terletak pada konsolidasi politik. pemerintah
mulai melancarkan pembangunan desa untuk tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek pembangunan desa
adalah untuk meningkatkan taraf penghidupan dan kehidupan
rakyat khususnya di desa desa yang berarti
menciptakan situasi dan kekuatan-kekuatan serta kemampuan desa dalam suatu
tingkat yang lebih kuat dan nyata dalam pembangunan-pembangunan berikutnya. Tujuan jangka panjangnya
adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila . Sedangkan
sasaran pembangunan desa adalah agar desa-desa merupakan satuan terkecil
administrasi pemerintahan, ekonomi dan ikatan kemasyarakatan,
dapat mempercepat pertumbuhannya dari desa swadaya, menjadi desa
swakarsa dan seterusnya menjadi desa swasembada.Pemerintah Orde Baru menempatkan isu desentralisasi pemerintahan
daerah/desa setelah atau bahkan di bawah agenda konsolidasi
politik dan pembangunan.
meski
rezim Orde Lama telah berakhir. Masyarakat di daerah ini masih merasa
"sungkan" untuk menunjukkan identitas sebagai orang Minangkabau
karena dengan sendirinya akan dicap sebagai "etnis pemberontak". Kondisi
ini juga sangat mempengaruhi kalangan intelektual dan tokoh-tokoh masyarakat.
Hal ini terlihat dari tidak banyaknya muncul wacana-wacana keminangkabauan dari
tokoh-tokoh masyarakat daerah ini. Suasana ini mulai agak mencair ketika muncul
inisiatif untuk mendirikan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM)
sebagai wadah yang diharapkan dapat berfungsi untuk mengangkatkan kembali identitas budaya masyarakat di daerah ini. Gagasan pendirian lembaga ini sebenarnya bukanlah muncul dari
kalangan pemuka adat, namun justru dari kalangan militer tepatnya dari Panglima
Komando Antar Daerah Letjen TNI Mokoginta dan kemudian direalisasikan oleh
Panglima Kodam III/17 Agustus, Kolonel Poniman untuk mengkondisikan para ninik
mamak dalam rangka menghimpun potensinya ke dalam satu wadah. melalui
musyawarah ninik mamak terbentuklah Badan Kontak Perjuangan Ninik Mamak pada
bulan Maret tahun 1966. Badan inilah yang kemudian menjelma menjadi LKAAM
(Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) sebagai organisasi ninik mamak dan
penghulu se-Sumatera Barat.
Sebenarnya tidak banyak yang dapat diharapkan dari keberadaan lembaga
itu untuk membangkitkan kembali otoritas adat yang selama ini terpinggirkan ,
namun setidaknya gagasan yang muncul dari atas ini dirasakan sebagai kehormatan
bagi identitas Minangkabau, karena adanya perhatian dari pihak militer dan
penguasa terhadap budaya daerah yang selama ini sangat terabaikan. Ada tiga langkah utama yang ditempuh oleh Orde Baru
untuk mengendalikan desa: konsolidasi politik untuk menciptakan stabilitas
politik desa,pembangunan desa;dan modernisasi, negaranisasi dan marginalisasi
desa melalui UU No.5/1979.
A. SK Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumbar No 015/GSB/1968
Pada
tahun 1968 pemerintah daerah mengeluarkan Keputusan tentang Peraturan Tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari Dalam Propinsi Sumatera Barat (SK. No. 015/GSB/
1968 Tanggal 18 Maret 1968). Peraturan yang baru ini menggantikan Peraturan
yang pernah dikeluarkan pada tahun 1963 (SK. Gub. No.02/Desa/GSB/Prt./1963)
yang dinyatakan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat nagari.
Disamping itu Undang-Undang Desa pradja yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat
pada bulan September 1965 (U.U. No. 19 Tahun 1965) ditunda pelaksanaannya
karena masih perlu ditinjau kembali (berdasarkan Instruksi Mendagri No. 29
Tahun 1966) .
alasan pemerintah daerah mengeluarkan
peraturan ini adalah untuk mengambil langkah mengukuhkan kembali sistem
pemerintahan Nagari. Pertimbangan itu lebih didorong oleh kenyataan yang
terdapat di hampir semua nagari di Sumatera Barat pada waktu ini disamping
telah berakhirnya masa jabatan Kepala Nagari sejak bulan Juli tahun sebelumnya,
juga terdapat sejumlah jabatan di sebahagian besar nagari di Sumatera Barat
mengalami kekosongan seperti Kepala Nagari, Pamong Nagari dan anggota Badan
Musyawarah Nagari sebagai akibat terjadinya peristiwa G.30 S. PKI. Hal positif yang dilakukan dengan
dikeluarkannya peraturan itu antara lain adalah upaya penyelamatan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap sistem internal dari intervensi
kekuatan eksternal. Dengan demikian sistem kepemimpinan nagari otonom seperti
yang berlaku pada waktu sebelumnya tetap dapat dipertahankan.peraturan ini telah
memberikan kembali hak-hak politik rakyat nagari serta hak untuk mengatur dan
menyelenggarakan pemerintahan nagari. Pemerintahan Nagari ditegaskan kembali
dalam rumusan S.K. itu sebagai berikut :
"Pemerintah Nagari adalah penguasa Nagari jang memim-pin
rakjat Nagari dengan membuat dan melaksanakan peraturan dan keputusan-keputusan
Nagari, menjelenggarakan segala peraturan perundangan dari Pemerintah tingkat
atasan serta usaha-usaha lainnja jang ditudjukan untuk mewudjudkan masjarakat
adil dan makmur berdasarkan Pantja Sila.
Dalam peraturan ini, Alat
perlengkapan pemerintahan nagari terdiri dari tiga unsur, yaitu : Wali Nagari,
Dewan Perwakilan Rakyat Nagari dan Kerapatan Nagari.
B. SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 Sumatra Barat No 155/GSB/1974
Bentuk atau
susunan Pemerintahan Nagari telah diatur kembali dengan Surat Keputusan
Gubernur Sumatera Barat No. 155/GSB/1974, yaitu mengenai Pokok-Pokok
Pemerintahan Nagari Dalam Daerah Tingkat I Sumatera Barat. Sebelum “ Desa “
ditetapkan sebagai pengganti nagari, Pemerintahan Nagari diatur dengan Surat
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sumatera Barat Nomor 155/GSB/1974 Tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Nagari dalam Daerah Tingkat I Sumatera Barat. Pasal 1
ayat (1) Surat Keputusan tersebut menjelaskan bahwa : “Nagari adalah kesatuan
Masyarakat Hukum di Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat, yang merupakan
pemerintahan dasar dari Negara Republik Indonesia, yang tertentu batas-batas
wilayahnya, mempunyai harta benda sendiri, berhak mengatur rumah tangganya dan
memilih penguasanya”.
Pada tahun 1974 Pemerintah Daerah kembali mengeluarkan Keputusan
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari dalam Propinsi Daerah Tk.I Sumatera
Barat yaitu SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 Sumbar No 155/GSB/1974.SK yang
terakhir ini tidak banyak perbedaan dengan SK gubernur kepala daerah provinsi
sumbar no 015/GSB/1968, namun posisi Kerapatan Nagari malah semakin diperkuat.
Alat perlengkapan Nagari sebagai pemerintahan nagari yang semula terdiri dari
tiga unsur, yaitu : Wali Nagari, Dewan Perwakilan Rakyat Nagari dan Kerapatan
Nagari, kini menjadi dua unsur, yaitu : Wali Nagari dan Kerapatan Nagari yang
dinyatakan secara tegas bersama-sama merupakan Pemerintahan Nagari . Pengaturan
ini semakin memperkuat posisi Kerapatan Nagari sebagai lembaga legislatif yang
tidak lagi diketuai oleh Wali Nagari.Pemerintah daerah masih mengakui
keberadaan Nagari sebagai unit pemerintahan terendah dengan penegasan bahwa
untuk status, kedudukan, dan fungsinya dalam bidang pemerintahan tetap
mempedomani SK. Gubernur No. 155/ GSB/1974.
C. Pemerintahan Nagari Pasca Berlakunya Uu No 5 Tahun 1979 Tentang
Desa
Berdasarkan historisnya, Undang-undang Nomor 5
Tahun 1979 merupakan perwujudan dari pasal 88 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
yang menyebutkan bahwa pengaturan tentang Pemerintahan Desa ditetapkan dengan
Undang-Undang. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tersebut mulai berlaku secara
nasional di seluruh wilayah Negara Indonesia
sejak tanggal 1 Desember 1979. Banyak
pihak menilai bahwa UU No. 5/1979 merupakan bentuk Jawanisasi atau menerapkan model desa Jawa untuk kesatuan masyarakat
adat di Luar Jawa. Dengan sendirinya UU ini tidak mengakui lagi
keberadaan nagari, huta,sosor, marga, negeri, binua, lembang, parangiu
dan lain-lain yang umumnya berada di Luar Jawa . Ketetapan-ketetapan dalam UU No. 5 /1979 memaksa desa dan kesatuanmasyarakat hukum yang menjadi bagian
darinya menjadi seragam. Perse-kutuan sosial desa lain yang belum
sesuai bentuknya dengan desa dipaksa menyesuaikan
diri, melalui upaya misalnya regrouping desa, sehingga tidak dapat
disebut desa lagi. Desa mengalami birokratisasi kedalam satu garis
komando yang sentralistik. desa kemudian menjadi unit
pemerintahan terendah langsung dibawah Camat, guna
mendukung pengendalikan dan pelaksanaan
cita-cita pembangunan, sebagaimana yang diamanatkan dalam Garis-garis
Besar Haluan Negara.
Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I
Sumatera Barat dihadapkan
pada dua pilihan, yaitu apakah nagari yang dijadikan desa ataukah jorong yang
akan ditetapkan sebagai pemerintahan terendah. Pilihan jatuh pada Jorong, yang
berarti memecah Nagari menjadi beberapa buah desa. Berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Sumatera Barat Nomor 162/GSB/1983, terhitung tanggal 1 Agustus 1983
seluruh Jorong yang merupakan bagian dari nagari dinyatakan sebagai desa baru
dengan sistem pemerintahan baru berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979.
Sebagai konsekuensi logis dari penetapan Jorong menjadi Desa ialah banyaknya
Desa yang tidak mampu melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri akibatnya
laju pembangunan desa menjadi lamban, karena minimnya partisipasi sosial
masyarakat desa. Dengan diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa maka berlaku
ketentuan sebagai berikut seperti :
a.
kepala desa
dipilih oleh rakyat melalui demokrasi
langsung. Ketentuan pemilihan kepala desa secara langsung itu merupakan sebuah
sisi demokrasi di desa. Meskipun dipilih secara
demokrasi tidak terlepas dengan
intimidasi terhadap rakyat, manipulasi terhadap hasil pemilihan, dan
dikendalikan secara ketat oleh negara
b.
status Nagari dihilangkandan
diganti dengan desa
c.
jorong-jorong ditingkatkan statusnya menjadi
desa
d.
Kedudukan Wali Nagari
dihapus dan
e.
administrasi pemerintahan
dijalankan oleh para Kepala Desa.
f.
menobatkan
kepala desa sebagai“penguasa tunggal” di
desa.
g.
pembagian
kekuasaan di desa yakni ada kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD) terdapat dalam pasal
3 uu no 5 tahun 1979
h.
Pemerintahan Daerah tidak mempunyai
kebebasan lagi dalam menentukan bentuk susunan
pemerintahan desa sendiri karena berdasarkan undang-undang tersebut organisasi pemerintahan
desa telah tersentralisasi.
Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa menyeragamkan bentuk organisasi
pemerintahan terendah di seluruh Indonesia dengan sebutan Desa. Di Sumatera Barat yang dibentuk jadi Desa adalah Jorong sehingga
Nagari terpecah atas jorong-jorong yang kemudian disebut Desa. Struktur
organisasi Pemerintahan Desa menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa.Kenyataan menunjukkan bahwa kebijaksanaan menetapkan jorong
menjadi desa sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 di Sumatera
Barat telah menimbulkan degradasi dalam berbagai segi. implementasi UU No.5/1979 tersebut menimbulkan dampak
negatif yang tidak kecil seperti :
a.
Timbulnya dualisme dalam
pengaturan kehidupan masyarakat yaitu urusan pemerintahan oleh Kepala Desa
sedangkan soal kemasyarakatan menjadi wewenang Kerapatan Adat Nagari (KAN),
yang dalam kenyataannya memisahkan hal tersebut.
b.
Desa kurang dapat berbuat
banyak dalam pembangunan disebabkan terpecahnya potensi sumber daya manusia dan
sumber daya alam serta kurangnya dukungan dari warga baik yang berada di desa
maupun di perantauan.
c.
Pemerintah Desa lebih
cenderung mengabaikan kedudukan dan perannya dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakatnya.
meskipun dalam perumusannya UU No. 5 Tahun 1979 mengakui dan
menghormati keberadaan hukum adat, terdapat banyak aturan dalam undang-undang
ini yang telah membuat penyeragaman dalam berbagai hal, mulai dari penyebutan istilah-istilah
yang digunakan hingga sistem pengelolaannya. Oleh karenanya, meskipun bertahan
hingga 20 tahun, Undang-Undang ini dianggap tidak konstitusional oleh
masyarakat desa, terutama bagi mereka yang tinggal di luar pulau Jawa, karena
telah menyeragamkan bentuk dan peristilahan desa di seluruh Indonesia.
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1979 yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan Pemerintahan
Desa secara nasional, dalam kenyataannya telah menyebabkan berbagai kesulitan
dan permasalahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik kehidupan
pemerintahan maupun dalam kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat
di Sumatera Barat. Dari segi
kepentingan pemerintah pusat, UU No. 5/1979 tentu membawa banyak manfaat yaitu
:
a.
Penetrasi
pemerintahan pusat pada daerah-daerah pedesaan di Indonesia pada umumnya,
khususnya di desa-desa luar Jawadan Madura, lebih sangat efektif.
b.
Keseragaman struktur pemerintahan desa bagi seluruh desa juga menguntungkan pemerintah pusat karena keseragaman
itu memudahkan pemerintah menjalankan pembinaan terhadap pemerintah desa.
c.
Pelaksanaan
program Inpres Bandes juga bisa berjalan secara efektif (menurut kacamata
pemerintah) karena dijalankan dalam kerangka
pemerintahan desa yang seragam.
d.
Demikian juga dengan agenda konsolidasi politik (kebijakan massa mengambang) dan keamanan yang
bekerja secara efektif dalam birokrasi sipil militer yang paralel, seragam dan
hirakhis.
Kebijakan UU No. 5/1979 tentu menuai badai protes dari berbagai
pihak. Mereka
menyerukan bahwa UU No. 5/1979 sebagai bentuk Jawanisasi, penyeragaman yang
tidak peka terhadap kondisi sosial-budaya setempat dan menghancurkan identitas
dan harga diri orang Minangkabau. Karena itu untuk menyesuaikan undang-undang tersebut dengan situasi
sosial budaya masyarakat local Minangkabau,
Pemda Sumbar melalui Perda No. 13/1983 membentuk apa yang dikenal dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Anggota KAN ini terdiri dari pimpinan adat dan bertugas untuk memutuskan segala masalah
adat yang timbul dalam nagari.
Sejalan dengan gencarnya
tuntutan reformasi dan demokratisasi di berbagai bidang, pemerintah pun
menyadari bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yang menyeragamkan nama,
bentuk, susunan dan kedudukan Pemerintahan Desa tersebut tidak sesuai dengan
jiwa Undang-Undang Dasar 1945, sehingga Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979
tersebut diganti dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah.
Bab III
Penutup
III.1 Kesimpulan
Pada era kolonial Belanda dan
era kemerdekaan, sistem pemerintahan Nagari tetap bertahan. Namun ironisnya,
pada era Orde Baru, dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa, sistem pemerintahan nagari “dipaksa” harus bubar, dan diganti dengan
sistem pemerintahan desa yang diberlakukan secara nasional.Pembicaraan tentang Orde Baru selalu terpusat
pada upaya-upaya penguatan rezim pembangunan yang bersifat otoritarian
dan sentralistik baik dalam pembangunan, pemerintahan daerah dan otonomi desa
yang selalu bermuara pada visi, konteks dan karakter otoritarian dan
sentralistik itu. Suasana ini mulai agak ketika
muncul inisiatif untuk mendirikan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau
(LKAAM) sebagai wadah yang diharapkan dapat berfungsi untuk mengangkatkan
kembali identitas budaya masyarakat di daerah ini.
meskipun
dalam perumusannya UU No. 5 Tahun 1979 mengakui dan menghormati keberadaan
hukum adat, terdapat banyak aturan dalam undang-undang ini yang telah membuat
penyeragaman dalam berbagai hal, mulai dari penyebutan istilah-istilah yang
digunakan hingga sistem pengelolaannya. Oleh karenanya, meskipun bertahan
hingga 20 tahun, Undang-Undang ini dianggap tidak konstitusional oleh
masyarakat desa, terutama bagi mereka yang tinggal di luar pulau Jawa, karena telah
menyeragamkan bentuk dan peristilahan desa di seluruh Indonesia.Sejalan
dengan gencarnya tuntutan reformasi dan demokratisasi di berbagai bidang,
pemerintah pun menyadari bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yang
menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan Pemerintahan Desa tersebut
tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945, sehingga Undang-undang Nomor
5 Tahun 1979 tersebut diganti dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah.
III2. Saran
Beberapa hal yang perlu segera
kita dilakukan bersama-sama untuk menerapkan istilah kembali ke nagari serta
untuk memajukan nagari yaitu :
- Memahami kembali budaya minangkabau yang selama ini kurang dipahami oleh masyarakat minangkabau.
Budaya selalu bersifat dinamis berbanding lurus dengan
kedinamisan masyarakat yang menjadi elemen utama dari kebudayaan tersebut. Oleh
karena budaya masyarakat minang tidaklah seragam sesuai dengan kondisi
masyarakat & karakteristik daerah yang berbeda, sebagai contoh budaya di
pesisir tentu ada perbedaan dengan budaya di dataran tinggi.Oleh karena itu
sudah sepatutnya kita mulai kembali membaca, berdiskusi, membahas budaya adat
istiadat minangkabau yang berlaku di kanagarian masing-masing bersama sanak
famili kita.
- Melakukan diskusi-diskusi dengan sesama anak nagari terhadap kemajuan nagari, baik diperantauan ataupun dikampung halaman.
Hal
ini bisa dilakukan dengan cara bertahap, dimulai dari level terkecil pada
paruik/kaum masing-masing, kemudian ke tingkat jorong dan terakahir ke tingkat
nagari.
- Sudah saatnya perantau melakukan planning bila masanya harus kembali ke kampung halaman dan menetap dikampung.
- Mambangkik Batang nan Tarandam.
- Memahami benar sifat Egaliter yang dijunjung dalam adat & budaya minangkabau.
Egaliter adalah persamaan hak & sederajat dalam suatu
masyarakat, tanpa memandang individu dengan suatu perbedaan dan tingkat sosial.
Tidak memandang manusia karena hartanya, karena kekuasaan, karena
kepintarannya. Apabila hal ini bisa diterapkan secara sungguh, akan tercipta
masyarakat yang saling menghargai, menjunjung tinggi hak azazi setiap individu.
Daftar
Pustaka
1. Mohamad Hasbi, Desa Dan Pembangunan Pedesaan Di Sumatera
Barat.Yayasan Genda Budaya. Padang, 1990.
2. SK gubernur kepala daerah provinsi sumbar no 015/GSB/1968
3. SK gubernur kepala daerah tingkat 1 sumbar no 155/GSB/1974
4. UU No 5 Tahun 1979 Tentang Desa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar