Sabtu, 16 September 2017

Poging ( Percobaan ) Pasal 53 dan 54 KUHP




BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Hukum pidana menempati posisi penting dalam seluruh sistim hukum disuatu Negara. Meskipun masih dipertanyakan manfaatnya dalam rangka penyusunan masyarakat yang tertib dan damai sebagai mana yang telah diidam-idamkan oleh segenap masyarakat dibangsa ini. Tetapi semakin penting dipelajari segi-seginya guna menunjang seluruh sistim kehidupan hukum didalam masyarakat. Sering dikatakan bahwa pidana merupakan ultimatum remendium atau obat terakhir dalam menjatuhkan sanksi terhadap orang yang melakukan pelanggaran dan kejahatan didalam suatu masyarakat. Tetapi tidak demikian halnya dengan “Penuntutan Pidana”, penuntutan pidana tidak mesti berakhir dengan penjatuhan pidana.
Penuntutan pidana ternyata bermanfaat pula untuk menyelesaikan pelanggaran hukum pidana. Dengan penyelesaian diluar acara pengadilan atau biasa disebut dengan transaksi antara penuntut umum dengan pelanggar, baik dengan syarat maupun tanpa syarat maka dapatlah diselesaikan suatu pelanggaran hukum pidana.
Didalam mendefinisikan pengertian hukum pidana itu sendiri, sesungguhnya sangat sulit untuk didefenisikan karena hokum pidana mempunyai banyak segi, yang masing-masing mempunyai arti sendiri-sendiri. Lagi pula ruang lingkup pengertian hukum pidana itu dapat bersifat luas dan dapat pula bersifat sempit. Oleh karena itu, perlu disebut terlebih dahulu segi-segi hukum pidana yang dimaksud baru kemudian mendefinisikan hukum pidana serta ruang lingkupnya. Untuk mendefenisikan hukum pidana perlu penguraian secara sistematis tentang pengertian hukum pidana itu sendiri. Pengertian hukum pidana sebagai suatu obyek studi, dapat dikutip pendapat Enschede dan Heitjer yang mengatakan bahwa menurut metodenya, hukum pidana dapat dibedakan:
ilmu hukum pidana sistematik mencakup:
a, hukum pidana:hokum pidana materil
b. hukum acara pidana; hokum pidana kormil
ilmu hukum pidana berdasarkan pengalamjan antara lain:
kriminologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan kejahatan
kriminalistik, yaitu ajaran tentang pengusutan
phsikiatri forensik dan phsikologi phorensik
sosiologi hukum pidana, yaitu ilmu yang mempelajari tentang hokum pidana sebagai gejala masyarakat.
Jika kita membagi hukum itu menajdi hukum public dan hukum prifat maka hukum pidana terrgolong hukum publik. Hal ini berlaku dewasa ini. Dahulu, di Eropa dan juga di Indonesia tidak ada pemisahan antara hukum publik dan hukum prifat. Gugatan baik dalam bidang termaksud kajian hukum publik sekarang ini maupun yang termaksud hukum privat diajukan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Lambat laun, muncullah pengertian hukum publik termaksud hukum pidana, yang lebih mengutamakan kepentingan umum. Bukanlah orang seorang yang bertindak jika terjadi pelanggaran hukum, tetapi Negara melalui alat-alatnya. Kepentingan pribadi seperti ganti rugi, dinomor duakan. Sedangkan kepentingan umum atau kepentingan masyarakat, lebih diutamakan yaitu berupa panjatuhan sanksi pidana. Pada hukum pidana formil (hukum acara pidana) corak hukum publiknya lebih nyata lagi dari pada hukum pidana materil karena yang bertindak sebagai penyelidik dan yang menuntut adalah alat Negara(polisi, jaksa) jika terjadi pelanggaran hukum pidana. Terdapat beberapa pengecualian, misalnya dalam delik aduan alat Negara hanya bertindak jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.

Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penyusunan makalah ini adalah:
Bagaimana ketentuan Percobaan didalam melakukan tindak pidana menurut tinjauan KUHP
Mengapa Percobaan didalam melakukan tindak pidana dikenakan sanksi pidana

Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan ini adalah:
Untuk mengetahui ketentuan Percobaan didalam melakukan tindak pidana menurut tinjauan KUHP.
Untuk mengetahui ketentuan penjatuhan sanksi pidana terhadap Percobaan didalam melakukan tindak pidana.











BAB II
PEMBAHASAN

Percobaan dalam Melakukan Tindak Pidana Menurut Tinjauan KUHP
A. Pengertian Percobaan (Poging)
Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan Umum, Bab 1V pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal 53
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 54
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Kedua pasal tersebut tidak memberikan defenisi tentang apa yang dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan. Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Adanya niat/kehendak dari pelaku;
b. Adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu;
c. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku.
Oleh karena itu agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti ada padanya, dengan akta lain suatu percobaan dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat tersebut.
Percobaan seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini menentukan, bahwa yang dapat dipidana adalah seseorang yang melakukan percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan terhadap delik pelanggaran tidak dipidana, hanya saja percobaan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana khusus dapat juga dihukum. Sebagai contoh seseorang yang melakukan percobaan pelanggaran (mencoba melakukan pelanggaran) terhadap hal-hal yang telah diatur dalam UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dapat dipidana.
Menurut Loebby Loqman pembedaan antara kejahatan ekonomi dengan pelanggaran ekonomi ditentukan oleh apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja atau dengan tidak sengaja. Dianggap sebagai kejahatan ekonomi jika perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja, tetapi jika perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaian pelaku maka hal ini dianggap sebagai pelanggaran ekonomi (1996:3).
Selain itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak dapat dihukum, misalnya percobaan menganiaya (Pasal 351 ayat (5)), percobaan menganiaya binatang (Pasal 302 ayat (3), dan percobaan perang tanding (Pasal 184 ayat (5)). (Soesilo, 1980:61).
B. Niat / Kehendak (Voornemen)
Jika mengacu kepada penafsiran otentik atau penafsiran pada waktu suatu undang-undang disusun, dalam hal ini Memori Penjelasan (MvT) WvS Belanda 1886 yang merupakan sumber dari KUHP Indonesia yang berlaku saat ini, disebutkan bahwa sengaja (opzet) berarti :
‘de (bewuste) richting van den will op een bepaald wisdrijf (kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu) (Hamzah, 1991: 84).
Beberapa sarjana beranggapan bahwa niat dalam kaitannya dengan percobaan adalah sama dengan semua bentuk kesengajaan (kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan berinsyaf kepastian, dan kesadaran berinsyaf kemungkinan). Pendapat demikian dianut antara lain oleh D. Hazewinkel-Suringa, van Hammel, van Hattum, Jonkers, dan van Bemmelen.
Menurut Memori Penjelasan KUHP Belanda (MvT) niat sama dengan kehendak atau maksud. Hazeinkel-Suringa mengemukakan bahwa niat adalah kurang lebih suatu rencana untuk mengadakan suatu perbuatan tertentu dalam keadaan tertentu pula. Dalam rencana itu selalu mengandung suatu yang dikehendaki mungkin pula mengandung bayangan-bayangan tentang cara mewujudkannya yaitu akibat-akibat tambahan yang tidak dikehendaki, tetapi dapat direka-reka akan timbul. Maka jika rencana tadi dilaksanakan dapat menjadi kesengajaan sebagai maksud, tetapi mungkin pula menjadi kesengajaan dalam corak lain (sengaja sebagai keinsyafan kepastian ataupun sengaja sebagai keinsyafan kemungkinan).
Sebagai contoh, dalam suatu niat (kehendak) untuk melakukan pembunuhan dengan memberikan roti yang mengandung racun kepada seseorang. Dalam hal ini termasuk juga keinsyafannya bahwa kemungkinan sekali seluruh penghuni rumah orang yang dikirim roti tersebut ikut menjadi korban. Kemungkinan orang lain ikut menjadi korban termasuk pula apa yang disebut sebagai niat (kehendak) pada syarat percobaan.
Hal di atas sesuai pula dengan putusan Hoge Raad tanggal 6 Februari 1951, N.J. 1951 No. 475, m.o. B.V.A.R. yang dikenal dengan automobilist-arrest yang pada tingkat kasasi telah menyatakan seorang pengemudi mobil terbukti bersalah telah melakukan suatu percobaan pembunuhan terhadap seorang anggota polisi, yang kasus posisinya adalah sebagai berikut:
Seorang anggota polisi untuk keperluan pemeriksaan telah memerintahkan pengemudi mobil tersebut untuk berhenti. Namun pengemudi itu ternyata tidak mentaati perintah yang diberikan oleh anggota polisi tersebut, bahkan dengan kecepatan yang tinggi mengarahkan mobil yang dikendarainya langsung ke arah anggota polisi tersebut, dan hanya karena anggota polisi tersebut pada saat yang tepat sempat menyelamatkan dirinya dengan melompat ke pinggir, maka terhindarlah ia dari kematian.
Menurut Hazewinkel-Suringa dalam bukunya Hoge Raad mempersalahkan pengemudi dengan percobaan pembunuhan, meskipun secara sepintas mungkin tidak ada rencana untuk membunuh anggota polisi itu. Tetapi kemungkinan yang diinsyafi (disadari) dapat diterima juga sebagai niat. Dalam hal ini niat terwujud dalam sengaja bersyarat (dolus eventualis) atau disebut juga dengan sengaja berinsyaf kemungkinan (opzet bij mogelijkheid bewustzinjn).
Berbeda dengan pendapat sarjana lainnya Vos menyatakan bahwa jika niat disamakan dengan kesengajaan, maka niat tersebut hanya merupakan kesengajaan sebagai maksud saja.
Sedangkan Mulyatno memberikan pendapat hubungan niat dan kesengajaan adalah sebagai berikut:
a. Niat jangan disamakan dengan kesengajaan, tetapi niat secara potensial bisa berubah menjadi kesengajaan apabila sudah diwujudkan menjadi perbuatan yang dituju. Dalam hal semua perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat yang dilarang tidak timbul, di sinilah niat sepenuhnya menjadi kesengajaan. Sama halnya dalam delik yang telah selesai.
b. Akan tetapi apabila niat itu belum semua diwujudkan menjadi kejahatan, maka niat masih ada dan merupakan sifat bathin yang memberi arah kepada perbuatan, yaitu “subjektif onrechts-element”.
c. Oleh karena niat tidak dapat disamakan dengan kesengajaan, maka isi niat itu jangan diambil dari isinya kejahatan apabila kejahatan timbul.
C. Permulaan Pelaksanaan
Niat seseorang akan dapat diketahui jika ia mengatakannya kepada orang lain. Namun niat itu juga dapat diketahui dari tindakan (perbuatan) yang merupakan permulaan dari pelaksanaan niat.
Menurut Loebby Loqman, adalah suatu hal yang musykil apabila seseorang akan mengutarakan niatnya melakukan suatu kejahatan. Oleh karena itu dalam percobaan, niat seseorang untuk melakukan kejahatan dihubungkan dengan permulaan pelaksanaan (1995: 18).
Syarat (unsur) kedua yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dihukum karena melakukan percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53 KUHP adalah unsur niat yang ada itu harus diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering).
Permulaan pelaksanaan sangat penting diketahui untuk menentukan apakah telah terjadi suatu percobaan melakukan kejahatan atau belum. Sejak seseorang mempunyai niat sampai kepada tujuan perbuatan yang dikehendaki, biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan. Sehingga dalam hal ini dapat dilihat perbedaan antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan (Soesilo mempergunakan istilah permulaan perbuatan).
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana timbul permasalahan tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering). Dalam hal ini apakah permulaan pelaksanaan harus diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan dari niat” ataukah “permulaan pelaksanaan dari kejahatan”.
Menurut Moeljatno, tidak ada keraguan baik menurut MvT maupun pendapat para penulis bahwa permulaan pelaksanaan dalam hal ini adalah merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan (1985:21).
Dalam Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP, telah diberikan beberapa penjelasan yaitu antara lain:
a. Batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat dihukum itu terdapat diantara apa yang disebut voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) dengan apa yang disebut uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan);
b. Yang dimaksud dengan voorbereidingshandelingen dengan uitvoeringshandelingen itu adalah tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai dengan pelaksanaannya;
c. Pembentuk undang-undang tidak bermaksud menjelaskan lebih lanjut tentang batas-batas antara uitvoeringshandelingen seperti dimaksud di atas (Lamintang, 1984: 528).
Berdasarkan Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP, dapat diketahui bahwa batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat dihukum itu adalah terletak diantara voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) dengan uitvoerings-handelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan). Selanjutnya MvT hanya memberikan pengertian tentang uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan) yaitu berupa tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai pelaksanaannya. Sedangkan pengertian dari voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) tidak diberi-kan.
D. Pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku
Syarat ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan percobaan menurut KUHP adalah pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku.
Dalam hal ini tidak merupakan suatu percobaan jika seseorang yang semula telah berkeinginan untuk melakukan suatu tindak pidana dan niatnya itu telah diwujudkan dalam suatu bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan, tetapi disebabkan oleh sesuatu hal yang timbul dari dalam diri orang tersebut yang secara suka rela mengundurkan diri dari niatnya semula. Tidak terlaksananya tindak pidana yang hendak dilakukannya itu bukan karena adanya faktor keadaan dari luar diri orang tersebut, yang memaksanya untuk



Tidak ada komentar:

Posting Komentar