BAB I
PENDAHULUAN
Latar
belakang
Hukum pidana menempati posisi penting dalam seluruh sistim
hukum disuatu Negara. Meskipun masih dipertanyakan manfaatnya dalam rangka
penyusunan masyarakat yang tertib dan damai sebagai mana yang telah
diidam-idamkan oleh segenap masyarakat dibangsa ini. Tetapi semakin penting
dipelajari segi-seginya guna menunjang seluruh sistim kehidupan hukum didalam
masyarakat. Sering dikatakan bahwa pidana merupakan ultimatum remendium
atau obat terakhir dalam menjatuhkan sanksi terhadap orang yang melakukan
pelanggaran dan kejahatan didalam suatu masyarakat. Tetapi tidak demikian
halnya dengan “Penuntutan Pidana”, penuntutan pidana tidak mesti berakhir
dengan penjatuhan pidana.
Penuntutan pidana ternyata bermanfaat pula untuk
menyelesaikan pelanggaran hukum pidana. Dengan penyelesaian diluar acara
pengadilan atau biasa disebut dengan transaksi antara penuntut umum dengan
pelanggar, baik dengan syarat maupun tanpa syarat maka dapatlah diselesaikan
suatu pelanggaran hukum pidana.
Didalam mendefinisikan pengertian hukum pidana itu sendiri,
sesungguhnya sangat sulit untuk didefenisikan karena hokum pidana mempunyai
banyak segi, yang masing-masing mempunyai arti sendiri-sendiri. Lagi pula ruang
lingkup pengertian hukum pidana itu dapat bersifat luas dan dapat pula bersifat
sempit. Oleh karena itu, perlu disebut terlebih dahulu segi-segi hukum pidana
yang dimaksud baru kemudian mendefinisikan hukum pidana serta ruang lingkupnya.
Untuk mendefenisikan hukum pidana perlu penguraian secara sistematis tentang
pengertian hukum pidana itu sendiri. Pengertian hukum pidana sebagai suatu
obyek studi, dapat dikutip pendapat Enschede dan Heitjer yang
mengatakan bahwa menurut metodenya, hukum pidana dapat dibedakan:
ilmu hukum
pidana sistematik mencakup:
a, hukum
pidana:hokum pidana materil
b. hukum
acara pidana; hokum pidana kormil
ilmu hukum
pidana berdasarkan pengalamjan antara lain:
kriminologi,
yaitu ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan kejahatan
kriminalistik,
yaitu ajaran tentang pengusutan
phsikiatri
forensik dan phsikologi phorensik
sosiologi
hukum pidana, yaitu ilmu yang mempelajari tentang hokum pidana sebagai gejala
masyarakat.
Jika kita membagi hukum itu menajdi hukum public dan hukum
prifat maka hukum pidana terrgolong hukum publik. Hal ini berlaku dewasa ini.
Dahulu, di Eropa dan juga di Indonesia tidak ada pemisahan antara hukum publik
dan hukum prifat. Gugatan baik dalam bidang termaksud kajian hukum publik
sekarang ini maupun yang termaksud hukum privat diajukan oleh pihak-pihak yang
merasa dirugikan.
Lambat laun, muncullah pengertian hukum publik termaksud
hukum pidana, yang lebih mengutamakan kepentingan umum. Bukanlah orang seorang
yang bertindak jika terjadi pelanggaran hukum, tetapi Negara melalui
alat-alatnya. Kepentingan pribadi seperti ganti rugi, dinomor duakan. Sedangkan
kepentingan umum atau kepentingan masyarakat, lebih diutamakan yaitu berupa
panjatuhan sanksi pidana. Pada hukum pidana formil (hukum acara pidana) corak
hukum publiknya lebih nyata lagi dari pada hukum pidana materil karena yang
bertindak sebagai penyelidik dan yang menuntut adalah alat Negara(polisi,
jaksa) jika terjadi pelanggaran hukum pidana. Terdapat beberapa pengecualian,
misalnya dalam delik aduan alat Negara hanya bertindak jika ada pengaduan dari
pihak yang dirugikan.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penyusunan
makalah ini adalah:
Bagaimana
ketentuan Percobaan didalam melakukan tindak pidana menurut tinjauan KUHP
Mengapa
Percobaan didalam melakukan tindak pidana dikenakan sanksi pidana
Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan ini
adalah:
Untuk
mengetahui ketentuan Percobaan didalam melakukan tindak pidana menurut tinjauan
KUHP.
Untuk
mengetahui ketentuan penjatuhan sanksi pidana terhadap Percobaan didalam
melakukan tindak pidana.
BAB II
PEMBAHASAN
Percobaan
dalam Melakukan Tindak Pidana Menurut Tinjauan KUHP
A. Pengertian Percobaan (Poging)
Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku
ke satu tentang Aturan Umum, Bab 1V pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari
pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional
Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal 53
(1)
Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari
adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan
semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2)
Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga.
(3)
Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4)
Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 54
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Kedua pasal tersebut tidak memberikan defenisi
tentang apa yang dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan. Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila
(kapan) percobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal
53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku
dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Adanya
niat/kehendak dari pelaku;
b. Adanya
permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu;
c.
Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku.
Oleh karena itu agar seseorang dapat dihukum melakukan
percobaan melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti ada
padanya, dengan akta lain suatu percobaan dianggap ada jika memenuhi ketiga
syarat tersebut.
Percobaan seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat
ini menentukan, bahwa yang dapat dipidana adalah seseorang yang melakukan
percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan terhadap delik pelanggaran
tidak dipidana, hanya saja percobaan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan
pidana khusus dapat juga dihukum. Sebagai contoh seseorang yang melakukan
percobaan pelanggaran (mencoba melakukan pelanggaran) terhadap hal-hal yang
telah diatur dalam UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi,
dapat dipidana.
Menurut Loebby Loqman pembedaan antara kejahatan ekonomi
dengan pelanggaran ekonomi ditentukan oleh apakah perbuatan tersebut dilakukan
dengan sengaja atau dengan tidak sengaja. Dianggap sebagai kejahatan ekonomi
jika perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja, tetapi jika perbuatan
tersebut dilakukan karena kelalaian pelaku maka hal ini dianggap sebagai pelanggaran
ekonomi (1996:3).
Selain
itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak dapat dihukum, misalnya
percobaan menganiaya (Pasal 351 ayat (5)), percobaan menganiaya binatang (Pasal
302 ayat (3), dan percobaan perang tanding (Pasal 184 ayat (5)). (Soesilo,
1980:61).
B. Niat / Kehendak (Voornemen)
Jika mengacu kepada penafsiran otentik atau
penafsiran pada waktu suatu undang-undang disusun, dalam hal ini Memori
Penjelasan (MvT) WvS Belanda 1886 yang merupakan sumber dari KUHP Indonesia
yang berlaku saat ini, disebutkan bahwa sengaja (opzet) berarti :
‘de (bewuste) richting van den will op een bepaald wisdrijf (kehendak yang disadari
yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu) (Hamzah, 1991: 84).
Beberapa sarjana beranggapan bahwa niat dalam
kaitannya dengan percobaan adalah sama dengan semua bentuk kesengajaan
(kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan berinsyaf kepastian, dan kesadaran
berinsyaf kemungkinan). Pendapat demikian dianut antara lain oleh D.
Hazewinkel-Suringa, van Hammel, van Hattum, Jonkers, dan van Bemmelen.
Menurut Memori Penjelasan KUHP Belanda (MvT)
niat sama dengan kehendak atau maksud. Hazeinkel-Suringa mengemukakan bahwa
niat adalah kurang lebih suatu rencana untuk mengadakan suatu perbuatan
tertentu dalam keadaan
tertentu pula. Dalam rencana itu selalu mengandung suatu yang dikehendaki
mungkin pula mengandung bayangan-bayangan tentang cara mewujudkannya yaitu
akibat-akibat tambahan yang tidak dikehendaki, tetapi dapat direka-reka akan
timbul. Maka jika rencana tadi dilaksanakan dapat menjadi kesengajaan sebagai
maksud, tetapi mungkin pula menjadi kesengajaan dalam corak lain (sengaja
sebagai keinsyafan kepastian ataupun sengaja sebagai keinsyafan kemungkinan).
Sebagai contoh, dalam suatu niat (kehendak) untuk melakukan
pembunuhan dengan memberikan roti yang mengandung racun kepada seseorang. Dalam
hal ini termasuk juga keinsyafannya bahwa kemungkinan sekali seluruh penghuni
rumah orang yang dikirim roti tersebut ikut menjadi korban. Kemungkinan orang
lain ikut menjadi korban termasuk pula apa yang disebut sebagai niat (kehendak)
pada syarat percobaan.
Hal di atas sesuai pula dengan putusan Hoge Raad tanggal
6 Februari 1951, N.J. 1951 No. 475, m.o. B.V.A.R. yang dikenal dengan automobilist-arrest
yang pada tingkat kasasi telah menyatakan seorang pengemudi mobil terbukti
bersalah telah melakukan suatu percobaan pembunuhan terhadap seorang anggota
polisi, yang kasus posisinya adalah sebagai berikut:
Seorang anggota polisi untuk
keperluan pemeriksaan telah memerintahkan pengemudi mobil tersebut untuk
berhenti. Namun pengemudi itu ternyata tidak mentaati perintah yang diberikan
oleh anggota polisi tersebut, bahkan dengan kecepatan yang tinggi mengarahkan
mobil yang dikendarainya langsung ke arah anggota polisi tersebut, dan hanya
karena anggota polisi tersebut pada saat yang tepat sempat menyelamatkan
dirinya dengan melompat ke pinggir, maka terhindarlah ia dari kematian.
Menurut Hazewinkel-Suringa dalam bukunya Hoge Raad mempersalahkan
pengemudi dengan percobaan pembunuhan, meskipun secara sepintas mungkin tidak
ada rencana untuk membunuh anggota polisi itu. Tetapi kemungkinan yang
diinsyafi (disadari) dapat diterima juga sebagai niat. Dalam hal ini niat
terwujud dalam sengaja bersyarat (dolus eventualis) atau disebut juga dengan
sengaja berinsyaf kemungkinan (opzet bij mogelijkheid bewustzinjn).
Berbeda
dengan pendapat sarjana lainnya Vos menyatakan bahwa jika niat disamakan dengan
kesengajaan, maka niat tersebut hanya merupakan kesengajaan sebagai maksud
saja.
Sedangkan Mulyatno memberikan pendapat hubungan niat dan
kesengajaan adalah sebagai berikut:
a. Niat jangan disamakan dengan
kesengajaan, tetapi niat secara potensial bisa berubah menjadi kesengajaan
apabila sudah diwujudkan menjadi perbuatan yang dituju. Dalam hal semua
perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat yang
dilarang tidak timbul, di sinilah niat sepenuhnya menjadi kesengajaan. Sama
halnya dalam delik yang telah selesai.
b. Akan
tetapi apabila niat itu belum semua diwujudkan menjadi kejahatan, maka niat
masih ada dan merupakan sifat bathin yang memberi arah kepada perbuatan, yaitu “subjektif
onrechts-element”.
c. Oleh
karena niat tidak dapat disamakan dengan kesengajaan, maka isi niat itu jangan
diambil dari isinya kejahatan apabila kejahatan timbul.
C. Permulaan Pelaksanaan
Niat
seseorang akan dapat diketahui jika ia mengatakannya kepada orang lain. Namun
niat itu juga dapat diketahui dari tindakan (perbuatan) yang merupakan
permulaan dari pelaksanaan niat.
Menurut Loebby Loqman, adalah suatu hal yang musykil apabila
seseorang akan mengutarakan niatnya melakukan suatu kejahatan. Oleh karena itu
dalam percobaan, niat seseorang untuk melakukan kejahatan dihubungkan dengan
permulaan pelaksanaan (1995: 18).
Syarat (unsur) kedua yang harus dipenuhi agar seseorang
dapat dihukum karena melakukan percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53 KUHP
adalah unsur niat yang ada itu harus diwujudkan dalam suatu permulaan
pelaksanaan (begin van uitvoering).
Permulaan pelaksanaan sangat penting diketahui untuk
menentukan apakah telah terjadi suatu percobaan melakukan kejahatan atau belum.
Sejak seseorang mempunyai niat sampai kepada tujuan perbuatan yang dikehendaki,
biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan. Sehingga dalam hal ini dapat dilihat
perbedaan antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan (Soesilo
mempergunakan istilah permulaan perbuatan).
Dalam
ilmu pengetahuan hukum pidana timbul permasalahan tentang apa sebenarnya yang
dimaksud dengan permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering). Dalam hal
ini apakah permulaan pelaksanaan harus diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan
dari niat” ataukah “permulaan pelaksanaan dari kejahatan”.
Menurut Moeljatno, tidak ada keraguan baik menurut MvT
maupun pendapat para penulis bahwa permulaan pelaksanaan dalam hal ini adalah
merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan (1985:21).
Dalam Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53
ayat (1) KUHP, telah diberikan beberapa penjelasan yaitu antara lain:
a. Batas
antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat
dihukum itu terdapat diantara apa yang disebut voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan
persiapan) dengan apa yang disebut uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan
pelaksanaan);
b. Yang
dimaksud dengan voorbereidingshandelingen dengan uitvoeringshandelingen
itu adalah tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan sedemikian langsung
dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai dengan
pelaksanaannya;
c.
Pembentuk undang-undang tidak bermaksud menjelaskan lebih lanjut tentang
batas-batas antara uitvoeringshandelingen seperti dimaksud di atas
(Lamintang, 1984: 528).
Berdasarkan Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan
Pasal 53 ayat (1) KUHP, dapat diketahui bahwa batas antara percobaan yang belum
dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat dihukum itu adalah terletak diantara
voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) dengan uitvoerings-handelingen
(tindakan-tindakan pelaksanaan). Selanjutnya MvT hanya memberikan
pengertian tentang uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan
pelaksanaan) yaitu berupa tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan sedemikian
langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai
pelaksanaannya. Sedangkan pengertian dari voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan
persiapan) tidak diberi-kan.
D.
Pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak
pelaku
Syarat ketiga agar seseorang dapat dikatakan
telah melakukan percobaan menurut KUHP adalah pelaksanaan itu tidak selesai
bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku.
Dalam hal ini tidak merupakan suatu percobaan
jika seseorang yang semula telah berkeinginan untuk melakukan suatu tindak
pidana dan niatnya itu telah diwujudkan dalam suatu bentuk perbuatan permulaan
pelaksanaan, tetapi disebabkan oleh sesuatu hal yang timbul dari dalam diri
orang tersebut yang secara suka rela mengundurkan diri dari niatnya semula.
Tidak terlaksananya tindak pidana yang hendak dilakukannya itu bukan karena
adanya faktor keadaan dari luar diri orang tersebut, yang memaksanya untuk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar