Makalah
Hukum perdata internasional
Tentang
Status hukum anak hasil perkawinan campuran
Disusun oleh :
Fahrezi
ramadan
0910111037
Fakultas
hukum
Universitas
andalas
2011
Kata
pengantar
Pertama kali penulis mengucapkan puji dan syukur kehadiran allah swt
karena berkat rahmat dan hidayahnyalah penulis dapat menyelesaikan makalah
hukum perdata internasional tentang status anak hasil dari perkawinan campuran.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan.untuk itu penulis mengharapkan kritikan dan saran
yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.
Mudah-mudahan makalah yang penulis buat dapat memenuhi tugas hukum
perdata internasional khususnya dan juga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Dan
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing bapak
NARZIF,SH.MH
Padang, 9 maret 2011
Penulis
Daftar isi:
Bab 1 : pendahuluan
1.1
: latar
belakang
1.2
: rumusan
masalah
Bab 2 :
pembahasan
Bab 3 : penutup
3.1kesimpulan
Daftar pustaka
Bab I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Perkawinan campuran telah merambah
seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi,
pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur
adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia.[2] Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club,
jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara
lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis,
berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena.
Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja
dari negara lain.[3] Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia
sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir
dengan baik dalam perundang-undangan di indonesia.
Dalam perundang-undangan di Indonesia,
perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, pasal 57 :
”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam
Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Selama hampir setengah abad pengaturan
kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan
warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring
berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan
para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan
anak. Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan
yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu
yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja
timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi
kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran. Persoalan yang rentan
dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan
anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal,
sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu
kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti
adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di
kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat
pengasuhan anaknya yang warga negara asing.
2.perumusan masalah
Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan
yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini
terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran, berikut komparasinya terhadap
UU Kewarganegaraan yang lama. Secara garis besar perumusan masalah adalah
sebagai berikut :
- Bagaimana pengaturan status hukum anak yang lahir dari perkawinan campuran sebelum dan sesudah lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru?
- Apakah kewarganegaraan ganda ini akan menimbulkan masalah bagi anak?
Bab 2
PEMBAHASAN
ANAK SEBAGAI SUBJEK HUKUM
Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak adalah :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Dalam hukum perdata, diketahui bahwa
manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP
memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek
hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan
hidup.[4] Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki
hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia
cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki
kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang
lain.
Berdasarkan pasal 1330 KUHP, mereka
yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, wanita bersuami,
dan mereka yang dibawah pengampuan. Dengan demikian anak dapat dikategorikan
sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang
tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam
melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki
kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga
tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang
lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU
Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk
dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada
dua yurisdiksi hukum.
PENGATURAN MENGENAI ANAK DALAM PERKAWINAN CAMPURAN
A.Menurut Teori Hukum Perdata Internasional
Menurut teori hukum perdata
internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang
tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan[5], apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak
memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah,
sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan
hukum dengan ibunya.
Sejak dahulu diakui bahwa soal
keturunan termasuk status personal[6]. Negara-negara common law berpegang pada prinsip
domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip
nasionalitas (ius sanguinis).[7] Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah
sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara
sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan
kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak
maritalnya.[8] Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak
dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia,
Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.[9] Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama
menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam
keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan
tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum
yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62
tahun 1958.[10]
Kecondongan pada sistem hukum ayah
demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga,
namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan
dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan
membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak
tersebut masih dibawah umur.
B.Menurut UU
Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958
1.
Permasalahan dalam perkawinan campuran
Ada dua bentuk perkawinan
campuran dan permasalahannya:
1.Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan
Wanita Warga Negara Indonesia (WNI)
Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun
1958, seorang perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing
bisa kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia
menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan
kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA
bila ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan
yang ditentukan bagi WNA biasa.[11] Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia
bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena
satu dan lain hal( faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan
pendidikan,dll) maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam keterpisahan.[12]
2.Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah
dengan Pria Warga Negara Indonesia (WNI)
Indonesia menganut azas
kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan pasal 7 UU No.62 Tahun 1958
apabila seorang perempuan WNA menikah dengan pria WNI, ia dapat memperoleh
kewarganegaraan Indonesia tapi pada saat yang sama ia juga harus kehilangan
kewarganegaraan asalnya. Permohonan untuk menjadi WNI pun harus dilakukan
maksimal dalam waktu satu tahun setelah pernikahan, bila masa itu terlewati ,
maka pemohonan untuk menjadi WNI harus mengikuti persyaratan yang berlaku bagi
WNA biasa.[13] Untuk dapat tinggal di Indonesia perempuan WNA ini
mendapat sponsor suami dan dapat memperoleh izin tinggal yang harus
diperpanjang setiap tahun dan memerlukan biaya serta waktu untuk pengurusannya.
Bila suami meninggal maka ia akan kehilangan sponsor dan otomatis keberadaannya
di Indonesia menjadi tidak jelas Setiap kali melakukan perjalanan keluar negri
memerlukan reentry permit yang permohonannya harus disetujui suami sebagai
sponsor.[14] Bila suami meninggal tanah hak milik yang
diwariskan suami harus segera dialihkan dalam waktu satu tahun.[15] Seorang wanita WNA tidak dapat bekerja kecuali
dengan sponsor perusahaan. Bila dengan sponsor suami hanya dapat bekerja
sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai istri/ibu dari WNI, perempuan ini
kehilangan hak berkontribusi pada pendapatan rumah tangga.
2. Anak
hasil perkawinan campuran
Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana
kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun
1958 :
“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang
mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu
memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh
kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di
Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu
tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh
kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.”
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir
dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi
warganegara asing :
- Menjadi warganegara Indonesia.
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara
seorang wanita warga negara asing dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1
huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya,
kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus
kehilangan kewarganegaraan Indonesianya.[16] Bila suami meninggal dunia dan anak anak masih
dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak anak nya
yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai
negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun
suami.[17]
2. Menjadi warganegara asing.
Apabila anak tersebut lahir dari
perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan warganegara
asing.[18] Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai
warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya,
dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus
diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian,
akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62
tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon
kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada
dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.
Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).[19]
C. Menurut UU
Kewarganegaraan BaruMasih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).[19]
- Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran
Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas
kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam
Undang-Undang ini sebagai berikut:[20]
- Asas ius sanguinis
(law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang
berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
- Asas ius soli (law
of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi
anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
- Asas
kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi
setiap orang.
- Asas kewarganegaraan
ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak
mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan
(apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam
Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.[21] Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka
hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya
hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan
kewarganegaraan anak menjadi hilang.[22]
2.Kewarganegaraan
Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran
Berdasarkan UU ini anak yang lahir
dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari
perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga
negara Indonesia.[23] Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan
setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan
pilihannya.[24] Pernyataan untuk memilih tersebut harus
disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau
setelah kawin.[25] Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan
terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran.
Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan
permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda
berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
Indonesia memiliki sistem hukum
perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal
indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16
A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil
Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk
status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar
negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya ,
tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia,
sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam
wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang
hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka.[26] Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status
personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak,
wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal
status anak-anak yang dibawah umur.[27]
Bila dikaji dari segi hukum perdata
internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya
dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas,
maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila
ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan
maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum
negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu
akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu
melanggar asas ketertiban umum[28] pada ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal
perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang
perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah[29] maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat
materil[30] harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat
formil[31] mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan.
Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis
lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut
dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara
pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana
yang harus diikutinya.
Hal tersebut yang tampaknya perlu
dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum perdata internasional sehubungan
dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis berpendapat karena undang-undang
kewarganegaraan ini masih baru maka potensi masalah yang bisa timbul dari
masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi kajian para ahli hukum perdata
internasional.
3..Kritisi
terhadap UU Kewarganegaraan yang baru
Walaupun banyak menuai pujian,
lahirnya UU baru ini juga masih menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satu
pujian sekaligus kritik yang terkait dengan status kewarganegaraan anak
perkawinan campuran datang dari KPC Melati (organisasi para istri warga negara
asing).
“Ketua KPC Melati Enggi Holt mengatakan, Undang-Undang
Kewarganegaraan menjamin kewarganegaraan anak hasil perkawinan antar bangsa.
Enggi memuji kerja DPR yang mengakomodasi prinsip dwi kewarganegaraan, seperti
mereka usulkan, dan menilai masuknya prinsip ini ke UU yang baru merupakan
langkah maju. Sebab selama ini, anak hasil perkawinan campur selalu mengikuti
kewarganegaraan bapak mereka. Hanya saja KPC Melati menyayangkan aturan warga
negara ganda bagi anak hasil perkawinan campur hanya terbatas hingga si anak
berusia 18 tahun. Padahal KPC Melati berharap aturan tersebut bisa berlaku
sepanjang hayat si anak.[32] Penulis kurang setuju dengan kritik yang
disampaikan oleh KPC Melati tersebut. Menurut hemat penulis, kewarganegaraan
ganda sepanjang hayat akan menimbulkan kerancuan dalam menentukan hukum yang
mengatur status personal seseorang. Karena begitu seseorang mencapat taraf
dewasa, ia akan banyak melakukan perbuatan hukum, dimana dalam setiap perbuatan
hukum tersebut, untuk hal-hal yang terkait dengan status personalnya akan
diatur dengan hukum nasionalnya, maka akan membingungkan bila hukum nasional
nya ada dua, apalagi bila hukum yang satu bertentangan dengan hukum yang lain.
Sebagai contoh dapat dianalogikan sebagai berikut :
“Joko, pemegang kewarganegaraan ganda, Indonesia dan
Belanda, ia hendak melakukan pernikahan sesama jenis. Menurut hukum Indonesia
hal tersebut dilarang dan melanggar ketertiban hukum, sedangkan menurut hukum
Belanda hal tersebut diperbolehkan. Maka akan timbul kerancuan hukum mana yang
harus diikutinya dalam hal pemenuhan syarat materiil perkawinan khususnya.”
Terkait dengan persoalan status anak,
penulis cenderung mengkritisi pasal 6 UU Kewarganegaraan yang baru, dimana anak
diizinkan memilih kewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah.
Bagaimana bila anak tersebut perlu sekali melakukan pemilihan kewarganegaraan
sebelum menikah, karena sangat terkait dengan penentuan hukum untuk status
personalnya, karena pengaturan perkawinan menurut ketentuan negara yang satu
ternyata bertentangan dengan ketentuan negara yang lain. Seharusnya bila memang
pernikahan itu membutuhkan suatu penentuan status personal yang jelas, maka
anak diperbolehkan untuk memilih kewarganegaraannya sebelum pernikahan itu
dilangsungkan. Hal ini penting untuk mengindari penyelundupan hukum, dan
menghindari terjadinya pelanggaran ketertiban umum yang berlaku di suatu negara.
BAB 3
PENUTUP
KESIMPULANAnak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.
UU Kewarganegaraan yang baru ini
menuai pujian dan juga kritik, termasuk terkait dengan status anak. Penulis
juga menganalogikan sejumlah potensi masalah yang bisa timbul dari
kewarganegaraan ganda pada anak. Seiring berkembangnya zaman dan sistem hukum,
UU Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya semoga dapat terus dikritisi oleh
para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk mengantisipasi potensi
masalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar