Makalah Viktimologi
Tentang
Korban Perkosaan
Disusun oleh :
Fahrezi
Ramadan ( 0910111037 )
Fakultas Hukum
Universitas Andalas
2011
Kata Pengantar
Pertama kali penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT karena berkat rahmat dan karunianyalah penulis dapat menyelesaikan makalah tentang korban perkosaan.
Pada kesempatan ini tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing dalam mata kuliah VIKTIMOLOGI yaitu NILMA SURYANI,SH.MH yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan.untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.mudah-mudahan makalah yang penulis buat dapat memenuhi tugas VIKTIMOLOGI khususnya dan juga bermanfaat bagi pembaca.
Tak ada gading yang tak retak,Tak ada manusia yang sempurna dan Tak ada manusia yang tak salah.Atas segala kesalahan dan kekurangan penulis mohon maaf.
Padang,11 maret 2011
penulis
Daftar isi
Bab I :
Pendahuluan
I.1 : Latar Belakang Masalah
I.2 : Permasalahan
Bab II : Pembahasan
Bab III : Penutup
III.1 : Kesimpulan
III.2 : Saran
Daftar Pustaka
Bab I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang Masalah
Saat ini korban perkosaan merupakan masalah yang
cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau majalah
diberitakan mengenai korban perkosaan.korban perkosaan timbul karna tindak
pidana perkosaan.Jika mempelajari sejarah,sebenarnya jenis korban perkosaan
sudah ada sejak dulu atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik
yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan
selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak terlalu berbeda
jauh dengan sebelumnya.
Korban perkosaan ini tidak hanya ada
di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau
pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang
nilai tradisi dan adat istiadat. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam
perkembangan sosial dewasa ini, banyak terjadi kejahatan perkosaan terutama di
kalangan masyarakat ekonomi lemah.
Kasus korban perkosaan paling banyak
menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan,
penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan putusan.Selain kesulitan dalam batasan
di atas,juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang
umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain.
Walaupun banyak tindak pidana
perkosaan yang telah diproses sampai ke Pengadilan,tapi dari kasus-kasus itu
pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Pasal 281 s/d 296), khususnya
yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan (Pasal 285).
Perhatian dan perlindungan terhadap
kepentingan korban perkosaan baik melalui proses peradilan pidana maupun melalui
sarana kepedulian sosial tertentu merupakan bagian mutlak yang perlu
dipertimbangkan dalam kebijakan hukum pidana dan kebijakan-kebijakan sosial,
baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun oleh
lembaga-lembaga sosial yang ada.
Berdasarkan tujuan untuk mewujudkan
pemerataan keadilan dan kesejahteraan umum,maka hak korban tindak pidana
perkosaan untuk dilindungi pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak
asasi di bidang jaminan sosial.
I.2 Permasalahan
1. Apa
saja pentahapan penderitaan yang di alami oleh korban perkosaan sebelum
persidangan,selama persidangan dan setelah persidangan ?
2.
Upaya apa yang dapat
dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap korban perkosaan?
Bab II
Pembahasan
1.Pengertian Korban Perkosaan
Menurut
I.S. Susanto korban dibagi dalam 2 (dua)
pengertian, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas.Korban dalam arti
sempit adalah korban kejahatan,sedangkan dalam arti luas meliputi pula korban
dalam berbagai bidang seperti korban pencemaran,korban kesewenang-wenangan dan
lain sebagainya .
Wirdjono Prodjodikoro mengungkapkan bahwa perkosaan adalah:“Seorang laki-laki
yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia,
sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau
melakukan persetubuhan itu”.
Menurut Arif
Gosita, korban perkosaan adalah seorang
wanita, yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh
dengan orang lain di luar perkawinan .
B.Penderitaan Korban Perkosaan
Tindak
kekerasan seksual yang terjadi dalam realita kehidupan sehari-hari
mengakibatkan dalam diri perempuan timbul rasa takut, was-was dan tidak aman.
Apalagi ditunjang dengan posisi korban yang seringkali tidak berdaya dimata
praktek peradilan pidana. Artinya, derita korban tidak dijembatani oleh penegak
hukum, dalam hal ini hakim yang berkewajiban
menjatuhkan vonis Terbukti putusan-putusan yang dijatuhkan tidak sebanding
dengan kejahatan yang dilakukan pada korban.
Pentahapan penderitaan korban
tindak pidana perkosaan dapat dibagi sebagai berikut :
1. Sebelum Sidang
Pengadilan
Korban tindak pidana perkosaan
menderita mental, fisik dan sosial karena ia berusaha melapor pada polisi dalam
keadaan sakit dan terganggu jiwanya. Kemudian dalam rangka pengumpulan data
untuk bukti adanya tindak pidana perkosaan,ia harus menceritakan peristiwa yang
menimbulkan trauma kepada polisi. Korban juga merasa ketakutan dengan ancaman pelaku
karna melapor sehingga akan ada pembalasan dari pelaku terhadap dirinya.
I.S. Susanto, Kriminologi,
(Semarang, Fakultas Hukum UNDIP, 1995), hal. 89
Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-tindak
Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung,Eresco, 1986), hal. 117
2. Selama Sidang Pengadilan
Korban tindak pidana perkosaan harus
hadir dalam persidangan pengadilan atas ongkos sendiri untuk menjadi saksi.Korban
dalam memberikan kesaksian harus mengulang cerita mengenai pengalaman pahitnya
dan membuat rekonstruksi peristiwa perkosaan. Ia dihadapkan pada pelaku yang
pernah memperkosanya sekaligus orang yang dibencinya. Selain itu ia harus
menghadapi pembela atau pengacara dari pihak pelaku yang berusaha menghilangkan
kesalahan pelaku. Jaksa dalam peradilan pidana mewakili pihak korban Tetapi terdapat
suatu kejadian yang tidak menguntungkan
pihak korban.Disini perlu disediakan pendamping atau pembela untuk pihak korban
perkosaan.
3. Setelah Sidang
Pengadilan
Setelah selesai sidang pengadilan,
korban tindak pidana perkosaan masih menghadapi berbagai macam kesulitan,
terutama tidak mendapat ganti kerugian dari siapapun.Pemeliharaan kesehatannya
tetap menjadi tanggungannya. Ia tetap dihinggapi rasa takut akan ancaman dari
pelaku. Ada kemungkinan ia tidak diterima dalam keluarganya serta lingkungannya
seperti semula oleh karena ia telah cacat.Penderitaan mentalnya bertambah,
pengetahuan bahwa pelaku tindak pidana perkosaan telah dihukum bukanlah
penanggulangan permasalahan.
Permasalahan-permasalahan yang
dihadapi oleh perempuan korban perkosaan sangatlah kompleks. Permasalahan yang
dihadapi tidak hanya perkosaan yang terjadi pada dirinya,namun juga terjadi
dalam proses hukum terhadap kasus yang menimpanya. Perempuan korban perkosaan
biasanya menjadi korban ganda dalam proses persidangan dan bisa juga mendapat
perlakuan yang tidak adil dalam proses untuk mencari keadilan itu sendiri.
Akibat yang di dapat oleh
korban perkosaan sebgai berikut:
1.
Penderitaan secara
psikologis, seperti merasa tidak lagi berharga
kehilangan keperawanan (kesucian)
dimata masyarakat,dimata suami, calon suami (tunangan) atau pihak-pihak lain
yang terkait dengannya.
Penderitaan psikologis lainnya dapat
berupa kegelisahan,kehilangan rasa
percaya diri, tidak lagi ceria, sering menutup diri atau menjauhi kehidupan ramai,
tumbuh rasa benci (antipati) terhadap lawan jenis dan curiga berlebihan terhadap pihak-pihak lain yang bermaksud
baik padanya.
Arif Gosita, Relevansi
Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan),
(Jakarta, IND.HILL-CO, 1987), hal. 12.
2.
Kehamilan yang
dimungkinkan dapat terjadi. Hal ini dapat berakibat lebih fatal lagi bila janin
yang ada tumbuh menjadi besar (tidak ada keinginan untuk diabortuskan).
Artinya, anak yang dilahirkan akibat perkosaan tidak memiliki kejelasan
statusnya secara yuridis dan norma keagamaan.
3.
Penderitaan fisik,
artinya akibat perkosaan itu akan menimbulkan luka pada diri korban. Luka bukan
hanya terkait pada alat vital (kelamin perempuan) yang robek, namun tidak
menutup kemungkinan ada organ tubuh lainnya yang luka bilamana korban lebih
dulu melakukan perlawanan dengan keras yang sekaligus mendorong pelakunya untuk
berbuat lebih kasar dan kejam guna menaklukkan perlawanan dari korban.
4.
Tumbuh rasa kurang
percaya pada penanganan aparat penegak hukum, bila kasus yang ditanganinya
lebih banyak menyita perhatiannya, sedangkan penanganan kepada tersangka
terkesan kurang sungguh-sungguh. Korban merasa diperlakukan secara diskriminasi
dan dikondisikan makin menderita kejiwaannya atau lemah mentalnya akibat
ditekan secara terus-menerus oleh proses penyelesaian perkara yang tidak
kunjung berakhir.
5.
Korban yang dihadapkan
pada situasi sulit seperti tidak lagi merasa berharga dimata masyarakat,
keluarga, suami dan calon suami dapat saja terjerumus dalam dunia prostitusi.
Artinya, tempat pelacuran dijadikan sebagai tempat pelampiasan diri untuk
membalas dendam pada laki-laki .
C.Upaya Yang Dapat Dilakukan Untuk Memberikan Perlindungan Terhadap
Korban Perkosaan
Berkaitan dengan perlindungan
korban kejahatan,perlu dibentuk suatu lembaga yang khusus menanganinya.
Dibentuknya lembaga yang berskala nasional untuk menampung kaum perempuan yang
menjadi korban perkosaan.Koordinasi dengan pihak kepolisian harus dilakukan,
agar kepolisian segera meminta bantuan lembaga ini ketika mendapat laporan
terjadinya tindak pidana perkosaan. Lembaga ini perlu didukung setidaknya oleh
pekerja sosial, psikolog, ahli hukum dan dokter.
Upaya perlindungan terhadap korban perkosaan tidak
semata-mata merupakan tugas dari aparat penegak hukum saja tetapi juga
merupakan kewajiban masyarakat untuk membantu memulihkan kondisi korban
perkosaan dalam kehidupan bermasyarakat .
Arif Gosita, Relevansi
Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan, Op
Cit,
Dalam rangka memberi
perlindungan terhadap korban perkosaan, maka upaya yang harus dilakukan dalam
memberikan perlindungan terhadap korban perkosaan meliputi :
A.
Prevensi berarti
pencegahan timbulnya perkosaan atau sebagai pencegahan timbulnya masalah
seksual di kemudian hari.Untuk menghindari terjadinya tindak pidana perkosaan
maka disarankan agar para wanita untuk tidak bepergian seorang diri terutama
pada waktu malam hari dan ke tempat yang lenggang dan sunyi. Ada sebaiknya
kalau wanita belajar juga olahraga beladiri, sekedar untuk melindungi diri dari
orang-orang yang berbuat jahat. Hindari membawa senjata tajam pada waktu
bepergian, bila terjadi usaha perkosaan maka bertindaklah wajar, sedapat
mungkin tidak panik atau ketakutan.
B.
Terapi pada korban
tindak pidana perkosaan memerlukan perhatian yang tidak hanya terfokus pada korban saja.
Selain keluhan dari para korban, perlu pula didengar keluhan dari keluarga,
keterangan orang yang menolongnya pertama kali dan informasi dari
lingkungannya. Tujuan terapi pada korban tindak pidana perkosaan adalah untuk
mengurangi bahkan dimungkinkan untuk menghilangkan penderitaannya.Di samping
itu juga untuk memperbaiki perilakunya, meningkatkan kemampuannya untuk membuat
dan mempertahankan pergaulan sosialnya.Terapi harus dapat memberi motivasi dan
rangsangan agar korban tindak pidana perkosaan dapat melakukan hal-hal yang
bersifat produktif dan kreatif.
C.
Rehabilitasi korban
perkosaan adalah tindakan fisik dan psikososial sebagai usaha untuk memperoleh
fungsi dan penyesuaian diri secara maksimal dan untuk mempersiapkan korban
secara fisik, mental dan sosial dalam kehidupannya dimasa mendatang.
Tujuan rehabilitasi meliputi aspek medis, psikologis dan sosial Aspek
medis bertujuan mengurangi invaliditas, dan aspek psikologis serta sosial
bertujuan kearah tercapainya penyesuaian diri, harga diri dan juga tercapainya pandangan dan sikap yang sehat
dari keluarga dan masyarakat
terhadap para korban tindak pidana perkosaan.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka para korban tindak pidana perkosaan selalu
mendapatkan pelayanan medis psikiatrik yang intensif.
D.
perlindungan dari aparat yang
berwenang, yakni atas perilaku yang mungkin akan dilakukan si pelaku yang
dilaporkan oleh korban. perlindungan semacam ini sangat penting untuk
memastikan bahwa korban tersebut diperlakukan dengan simpatik dan
hati-hati oleh penegak hukum, keselamatan dirinya dijamin,sehingga kesaksian
yang diberikannya dipastikan akan
diperoleh untuk menghukum pelaku.
Arif Gosita, Relevansi
Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan, Loc
Cit
E.
Perlindungan Oleh
Hukum
adanya hukum positif di Indonesia merupakan suatu aturan yang salah satu
tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan dan untuk melindungi
masyarakat agar tidak menjadi korban kejahatan sebelum kejahatan itu
terjadi.Pengaturan perlindungan korban dalam Hukum pidana Positif Indonesia
diatur dalam :
Ø Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ketentuan Pasal 14
c ayat 1 telah memberi perlindungan terhadap korban perkosaan kejahatan.
Menurut ketentuan Pasal 14c ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan b
KUHP, hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus
kepada terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang ditimbulkan
kepada korban.
Ø Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab III
Tentang Penggabungan Perkara Ganti Kerugian, Pasal 98 s/d 101 yang mengatur
tentang ganti rugi yang diberikan kepada korban dengan menggabungkan perkara
pidana dan perdata.
Ø Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women-CEDAW).
Ø Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi Dan Korban
F.
Perlindungan Oleh
keluarga
Keluarga
merupakan orang-orang terdekat korban yang
mempunyai peran yang sangat besar dalam membantu memberikan perlindungan
kepada korban.dapat ditunjukkan dengan selalu menghibur korban, tidak
mengungkit-ungkit dengan menanyakan peristiwa perkosaan yang telah dialaminya,
memberi dorongan dan motivasi bahwa korban tidak boleh terlalu larut dengan
masalah yang dihadapinya,memberi keyakinan bahwa perkosaan yang dialaminya
tidak boleh merusak masa depannya, melindungi dia dari cibiran masyarakat yang
menilai buruk dirinya, dan lain-lain.
Hal-hal semacam ini sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh
korban,karena pada dasarnya korban perkosaan merupakan korban ganda yang selain
mengalami kekerasan fisik secara seksual, ia juga mengalami kekerasan psikis
yang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama untuk memulihkannya. Hukuman
yang telah diterima pelaku dan ganti rugi yang diperoleh korban tidak lantas
membuat kondisi kejiwaannya menjadi kembali seperti semula.
Arif Gosita, Bunga
Rampai Viktimisasi, (Bandung, PT. Eresco, 1995) hal 136
Jadi,keluarga sangat berperan penting dalam
rangka membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban sehingga korban juga merasa
dilindungi oleh orang-orang terdekat dalam kehidupannya.
G.
perlindungan oleh
Masyarakat
Tidak
jauh berbeda dengan peran keluarga, masyarakat juga mempunyai peran penting
untuk membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban. Masyarakat diharapkan ikut
mengayomi dan melindungi korban dengan tidak mengucilkan korban dari pergaulan
masyarakat,tidak memberi penilaian buruk kepada korban dan lain-lain.
Perlakuan semacam ini juga dirasakan sebagai salah satu perwujudan
perlindungan kepada korban, karena dengan sikap masyarakat yang baik, korban
tidak merasa minder dan takut dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.
Bab III
Penutup
III.1 Kesimpulan
Korban tindak pidana perkosaan selain mengalami penderitaan
secara fisik juga mengalami penderitaan secara psikis yang membutuhkan waktu
lama untuk memulihkannya. Mengingat penderitaan yang dialami korban perkosaan
tidak ringan dan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa memulihkannya, maka
aparat penegak hukum berkewajiban memberikan perlindungan terhadap korban perkosaan
yang diimplementasikan dalam peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum
yang memihak korban.
Dalam konteks perlindungan terhadap
korban kejahatan,adanya upaya preventif
maupun represif yang
dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat penegak
hukumnya),seperti pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang
dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis,maupun hukum secara
memadai.
III2. Saran
I.
Aparat penegak hukum
(polisi, jaksa, hakim) dalam memberi pelayanan dan perlindungan kepada perempuan korban
perkosaan seharusnya dilandasi oleh rasa kemanusiaan, dan dalam menangani kasus
perkosaan tidak hanya menggunakan landasan KUHP saja melainkan juga menggunakan
Undang-Undang di luar KUHP.
II.
Masyarakat seharusnya
juga ikut mendukung para perempuan korban perkosaan untuk mendapatkan
perlindungan hukum, sehingga bangsa Indonesia menjadi negara yang berhasil
mensejahterakan masyarakat dalam menangani korban perkosaan yang dilandasi oleh
rasa kemanusiaan.
Daftar Pustaka
1.
Arif gosita, Relevansi
Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan),
Jakarta,1987
2.
Arif gosita, Bunga
Rampai Viktimisasi, Bandung,
PT. Eresco, 1995
3.
Didik m arief Mansur, urgensi
perlindungan korban kejahatan,Jakarta,pt
raja grafindo,2007
Online Casino Site - Lucky Club
BalasHapusOnline Casino - Play the best games and the best online casino. Live dealer games. Roulette, Blackjack, Live luckyclub Baccarat, Slots. Rating: 3.9 · 35 votes