Sabtu, 16 September 2017

Makalah Viktimologi Tentang Korban Perkosaan




Makalah Viktimologi
Tentang
Korban Perkosaan



Disusun oleh : 
Fahrezi Ramadan ( 0910111037 )




Fakultas Hukum
Universitas Andalas
2011




Kata Pengantar

                         Pertama kali penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT karena berkat rahmat dan karunianyalah penulis dapat menyelesaikan makalah tentang korban perkosaan.

                         Pada kesempatan ini tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing dalam mata kuliah VIKTIMOLOGI yaitu NILMA SURYANI,SH.MH yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan makalah ini.

                          Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan.untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.mudah-mudahan makalah yang penulis buat dapat memenuhi tugas VIKTIMOLOGI khususnya dan juga bermanfaat bagi pembaca.

                         Tak ada gading yang tak retak,Tak ada manusia yang sempurna dan Tak ada manusia yang tak salah.Atas segala kesalahan dan kekurangan penulis mohon maaf.

Padang,11 maret 2011





                                                                                                                 penulis








Daftar isi


Bab I       : Pendahuluan
        I.1   : Latar Belakang Masalah
        I.2   : Permasalahan
Bab II     : Pembahasan
Bab III    : Penutup
      III.1  : Kesimpulan
      III.2  : Saran
Daftar Pustaka








Bab I
Pendahuluan

I.1 Latar Belakang Masalah
           Saat ini korban perkosaan merupakan masalah yang cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau majalah diberitakan mengenai korban perkosaan.korban perkosaan timbul karna tindak pidana perkosaan.Jika mempelajari sejarah,sebenarnya jenis korban perkosaan sudah ada sejak dulu atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya.
          Korban perkosaan ini tidak hanya ada di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam perkembangan sosial dewasa ini, banyak terjadi kejahatan perkosaan terutama di kalangan masyarakat ekonomi lemah.
         Kasus korban perkosaan paling banyak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan putusan.Selain kesulitan dalam batasan di atas,juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain.
         Walaupun banyak tindak pidana perkosaan yang telah diproses sampai ke Pengadilan,tapi dari kasus-kasus itu pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Pasal 281 s/d 296), khususnya yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan (Pasal 285).
         Perhatian dan perlindungan terhadap kepentingan korban perkosaan baik melalui proses peradilan pidana maupun melalui sarana kepedulian sosial tertentu merupakan bagian mutlak yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan hukum pidana dan kebijakan-kebijakan sosial, baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun oleh lembaga-lembaga sosial yang ada.
         Berdasarkan tujuan untuk mewujudkan pemerataan keadilan dan kesejahteraan umum,maka hak korban tindak pidana perkosaan untuk dilindungi pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak asasi di bidang jaminan sosial.
                                                               

I.2 Permasalahan
1.      Apa saja pentahapan penderitaan yang di alami oleh korban perkosaan sebelum persidangan,selama persidangan dan setelah persidangan ?
2.      Upaya apa yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap korban perkosaan?





















Bab II
Pembahasan

1.Pengertian Korban Perkosaan
                 Menurut I.S. Susanto korban dibagi dalam 2 (dua) pengertian, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas.Korban dalam arti sempit adalah korban kejahatan,sedangkan dalam arti luas meliputi pula korban dalam berbagai bidang seperti korban pencemaran,korban kesewenang-wenangan dan lain sebagainya .
                   Wirdjono Prodjodikoro mengungkapkan bahwa perkosaan adalah:“Seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu”.
                   Menurut Arif Gosita, korban perkosaan adalah seorang wanita, yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh dengan orang lain di luar perkawinan .

B.Penderitaan Korban Perkosaan
             Tindak kekerasan seksual yang terjadi dalam realita kehidupan sehari-hari mengakibatkan dalam diri perempuan timbul rasa takut, was-was dan tidak aman. Apalagi ditunjang dengan posisi korban yang seringkali tidak berdaya dimata praktek peradilan pidana. Artinya, derita korban tidak dijembatani oleh penegak hukum, dalam hal ini hakim yang berkewajiban menjatuhkan vonis Terbukti putusan-putusan yang dijatuhkan tidak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan pada korban.
            Pentahapan penderitaan korban tindak pidana perkosaan dapat dibagi sebagai berikut :
1. Sebelum Sidang Pengadilan
        Korban tindak pidana perkosaan menderita mental, fisik dan sosial karena ia berusaha melapor pada polisi dalam keadaan sakit dan terganggu jiwanya. Kemudian dalam rangka pengumpulan data untuk bukti adanya tindak pidana perkosaan,ia harus menceritakan peristiwa yang menimbulkan trauma kepada  polisi. Korban juga merasa ketakutan dengan ancaman pelaku karna melapor sehingga akan ada pembalasan dari pelaku terhadap dirinya.



  I.S. Susanto, Kriminologi, (Semarang, Fakultas Hukum UNDIP, 1995), hal. 89
 Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung,Eresco, 1986), hal. 117
2. Selama Sidang Pengadilan
          Korban tindak pidana perkosaan harus hadir dalam persidangan pengadilan atas ongkos sendiri untuk menjadi saksi.Korban dalam memberikan kesaksian harus mengulang cerita mengenai pengalaman pahitnya dan membuat rekonstruksi peristiwa perkosaan. Ia dihadapkan pada pelaku yang pernah memperkosanya sekaligus orang yang dibencinya. Selain itu ia harus menghadapi pembela atau pengacara dari pihak pelaku yang berusaha menghilangkan kesalahan pelaku. Jaksa dalam peradilan pidana mewakili pihak korban Tetapi terdapat suatu kejadian  yang tidak menguntungkan pihak korban.Disini perlu disediakan pendamping atau pembela untuk pihak korban perkosaan.

3. Setelah Sidang Pengadilan
         Setelah selesai sidang pengadilan, korban tindak pidana perkosaan masih menghadapi berbagai macam kesulitan, terutama tidak mendapat ganti kerugian dari siapapun.Pemeliharaan kesehatannya tetap menjadi tanggungannya. Ia tetap dihinggapi rasa takut akan ancaman dari pelaku. Ada kemungkinan ia tidak diterima dalam keluarganya serta lingkungannya seperti semula oleh karena ia telah cacat.Penderitaan mentalnya bertambah, pengetahuan bahwa pelaku tindak pidana perkosaan telah dihukum bukanlah penanggulangan permasalahan.
         Permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh perempuan korban perkosaan sangatlah kompleks. Permasalahan yang dihadapi tidak hanya perkosaan yang terjadi pada dirinya,namun juga terjadi dalam proses hukum terhadap kasus yang menimpanya. Perempuan korban perkosaan biasanya menjadi korban ganda dalam proses persidangan dan bisa juga mendapat perlakuan yang tidak adil dalam proses untuk mencari keadilan itu sendiri.

Akibat yang di dapat oleh korban perkosaan sebgai berikut:
1.      Penderitaan secara psikologis, seperti merasa tidak lagi berharga  kehilangan  keperawanan (kesucian) dimata masyarakat,dimata suami, calon suami (tunangan) atau pihak-pihak lain yang terkait dengannya.
        Penderitaan psikologis lainnya dapat berupa  kegelisahan,kehilangan rasa percaya diri, tidak lagi ceria, sering menutup diri atau menjauhi kehidupan ramai, tumbuh rasa benci (antipati) terhadap lawan jenis dan curiga berlebihan terhadap pihak-pihak lain yang bermaksud baik padanya.


        Arif Gosita, Relevansi Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan), (Jakarta, IND.HILL-CO, 1987), hal. 12.
2.      Kehamilan yang dimungkinkan dapat terjadi. Hal ini dapat berakibat lebih fatal lagi bila janin yang ada tumbuh menjadi besar (tidak ada keinginan untuk diabortuskan). Artinya, anak yang dilahirkan akibat perkosaan tidak memiliki kejelasan statusnya secara yuridis dan norma keagamaan.
3.      Penderitaan fisik, artinya akibat perkosaan itu akan menimbulkan luka pada diri korban. Luka bukan hanya terkait pada alat vital (kelamin perempuan) yang robek, namun tidak menutup kemungkinan ada organ tubuh lainnya yang luka bilamana korban lebih dulu melakukan perlawanan dengan keras yang sekaligus mendorong pelakunya untuk berbuat lebih kasar dan kejam guna menaklukkan perlawanan dari korban.
4.    Tumbuh rasa kurang percaya pada penanganan aparat penegak hukum, bila kasus yang ditanganinya lebih banyak menyita perhatiannya, sedangkan penanganan kepada tersangka terkesan kurang sungguh-sungguh. Korban merasa diperlakukan secara diskriminasi dan dikondisikan makin menderita kejiwaannya atau lemah mentalnya akibat ditekan secara terus-menerus oleh proses penyelesaian perkara yang tidak kunjung berakhir.
5.      Korban yang dihadapkan pada situasi sulit seperti tidak lagi merasa berharga dimata masyarakat, keluarga, suami dan calon suami dapat saja terjerumus dalam dunia prostitusi. Artinya, tempat pelacuran dijadikan sebagai tempat pelampiasan diri untuk membalas dendam pada laki-laki .

C.Upaya Yang Dapat Dilakukan Untuk Memberikan Perlindungan Terhadap Korban Perkosaan
            Berkaitan dengan perlindungan korban kejahatan,perlu dibentuk suatu lembaga yang khusus menanganinya. Dibentuknya lembaga yang berskala nasional untuk menampung kaum perempuan yang menjadi korban perkosaan.Koordinasi dengan pihak kepolisian harus dilakukan, agar kepolisian segera meminta bantuan lembaga ini ketika mendapat laporan terjadinya tindak pidana perkosaan. Lembaga ini perlu didukung setidaknya oleh pekerja sosial, psikolog, ahli hukum dan dokter.                  
          Upaya perlindungan terhadap korban perkosaan tidak semata-mata merupakan tugas dari aparat penegak hukum saja tetapi juga merupakan kewajiban masyarakat untuk membantu memulihkan kondisi korban perkosaan dalam kehidupan bermasyarakat .




     Arif Gosita, Relevansi Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan, Op Cit,
Dalam rangka memberi perlindungan terhadap korban perkosaan, maka upaya yang harus dilakukan dalam memberikan perlindungan terhadap korban perkosaan meliputi :
A.     Prevensi berarti pencegahan timbulnya perkosaan atau sebagai pencegahan timbulnya masalah seksual di kemudian hari.Untuk menghindari terjadinya tindak pidana perkosaan maka disarankan agar para wanita untuk tidak bepergian seorang diri terutama pada waktu malam hari dan ke tempat yang lenggang dan sunyi. Ada sebaiknya kalau wanita belajar juga olahraga beladiri, sekedar untuk melindungi diri dari orang-orang yang berbuat jahat. Hindari membawa senjata tajam pada waktu bepergian, bila terjadi usaha perkosaan maka bertindaklah wajar, sedapat mungkin tidak panik atau ketakutan.
B.      Terapi pada korban tindak pidana perkosaan memerlukan perhatian  yang tidak hanya terfokus pada korban saja. Selain keluhan dari para korban, perlu pula didengar keluhan dari keluarga, keterangan orang yang menolongnya pertama kali dan informasi dari lingkungannya. Tujuan terapi pada korban tindak pidana perkosaan adalah untuk mengurangi bahkan dimungkinkan untuk menghilangkan penderitaannya.Di samping itu juga untuk memperbaiki perilakunya, meningkatkan kemampuannya untuk membuat dan mempertahankan pergaulan sosialnya.Terapi harus dapat memberi motivasi dan rangsangan agar korban tindak pidana perkosaan dapat melakukan hal-hal yang bersifat produktif dan kreatif.
C.      Rehabilitasi korban perkosaan adalah tindakan fisik dan psikososial sebagai usaha untuk memperoleh fungsi dan penyesuaian diri secara maksimal dan untuk mempersiapkan korban secara fisik, mental dan sosial dalam kehidupannya dimasa mendatang.
          Tujuan rehabilitasi meliputi aspek medis, psikologis dan sosial Aspek medis bertujuan mengurangi invaliditas, dan aspek psikologis serta sosial bertujuan kearah tercapainya penyesuaian diri, harga diri dan juga   tercapainya pandangan dan sikap yang sehat dari keluarga dan masyarakat
terhadap para korban tindak pidana perkosaan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka para korban tindak pidana perkosaan selalu mendapatkan pelayanan medis psikiatrik yang intensif.
D.     perlindungan dari aparat yang berwenang, yakni atas perilaku yang mungkin akan dilakukan si pelaku yang dilaporkan oleh korban. perlindungan semacam ini sangat penting untuk memastikan bahwa korban tersebut diperlakukan dengan simpatik dan hati-hati oleh penegak hukum, keselamatan dirinya dijamin,sehingga kesaksian yang diberikannya  dipastikan akan diperoleh untuk menghukum pelaku.

        Arif Gosita, Relevansi Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan, Loc Cit        
E.      Perlindungan Oleh Hukum
      adanya hukum positif di Indonesia merupakan suatu aturan yang salah satu tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan dan untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban kejahatan sebelum kejahatan itu terjadi.Pengaturan perlindungan korban dalam Hukum pidana Positif Indonesia diatur dalam :
Ø  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ketentuan Pasal 14 c ayat 1 telah memberi perlindungan terhadap korban perkosaan kejahatan. Menurut ketentuan Pasal 14c ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan b KUHP, hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus kepada terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban.
Ø  Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab III Tentang Penggabungan Perkara Ganti Kerugian, Pasal 98 s/d 101 yang mengatur tentang ganti rugi yang diberikan kepada korban dengan menggabungkan perkara pidana dan perdata.
Ø  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women-CEDAW).
Ø  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

F.       Perlindungan Oleh keluarga
         Keluarga merupakan orang-orang terdekat korban yang  mempunyai peran yang sangat besar dalam membantu memberikan perlindungan kepada korban.dapat ditunjukkan dengan selalu menghibur korban, tidak mengungkit-ungkit dengan menanyakan peristiwa perkosaan yang telah dialaminya, memberi dorongan dan motivasi bahwa korban tidak boleh terlalu larut dengan masalah yang dihadapinya,memberi keyakinan bahwa perkosaan yang dialaminya tidak boleh merusak masa depannya, melindungi dia dari cibiran masyarakat yang menilai buruk dirinya, dan lain-lain.
         Hal-hal semacam ini sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh korban,karena pada dasarnya korban perkosaan merupakan korban ganda yang selain mengalami kekerasan fisik secara seksual, ia juga mengalami kekerasan psikis yang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama untuk memulihkannya. Hukuman yang telah diterima pelaku dan ganti rugi yang diperoleh korban tidak lantas membuat kondisi kejiwaannya menjadi kembali seperti semula.


Arif Gosita, Bunga Rampai Viktimisasi, (Bandung, PT. Eresco, 1995) hal 136
Jadi,keluarga sangat berperan penting dalam rangka membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban sehingga korban juga merasa dilindungi oleh orang-orang terdekat dalam kehidupannya.

G.     perlindungan oleh Masyarakat
         Tidak jauh berbeda dengan peran keluarga, masyarakat juga mempunyai peran penting untuk membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban. Masyarakat diharapkan ikut mengayomi dan melindungi korban dengan tidak mengucilkan korban dari pergaulan masyarakat,tidak memberi penilaian buruk kepada korban dan lain-lain.
          Perlakuan semacam ini juga dirasakan sebagai salah satu perwujudan perlindungan kepada korban, karena dengan sikap masyarakat yang baik, korban tidak merasa minder dan takut dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.





















Bab III
Penutup

III.1 Kesimpulan
          Korban tindak pidana perkosaan selain mengalami penderitaan secara fisik juga mengalami penderitaan secara psikis yang membutuhkan waktu lama untuk memulihkannya. Mengingat penderitaan yang dialami korban perkosaan tidak ringan dan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa memulihkannya, maka aparat penegak hukum berkewajiban memberikan perlindungan terhadap korban perkosaan yang diimplementasikan dalam peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum yang memihak korban.
          Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan,adanya upaya preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukumnya),seperti pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis,maupun hukum secara memadai.

III2. Saran
       I.            Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dalam memberi pelayanan dan  perlindungan kepada perempuan korban perkosaan seharusnya dilandasi oleh rasa kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan tidak hanya menggunakan landasan KUHP saja melainkan juga menggunakan Undang-Undang di luar KUHP.
    II.            Masyarakat seharusnya juga ikut mendukung para perempuan korban perkosaan untuk mendapatkan perlindungan hukum, sehingga bangsa Indonesia menjadi negara yang berhasil mensejahterakan masyarakat dalam menangani korban perkosaan yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan.







Daftar Pustaka

1.      Arif gosita, Relevansi Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan), Jakarta,1987
2.      Arif gosita, Bunga Rampai Viktimisasi, Bandung, PT. Eresco, 1995
3.      Didik m arief Mansur, urgensi perlindungan korban kejahatan,Jakarta,pt raja grafindo,2007


























1 komentar:

  1. Online Casino Site - Lucky Club
    Online Casino - Play the best games and the best online casino. Live dealer games. Roulette, Blackjack, Live luckyclub Baccarat, Slots. Rating: 3.9 · ‎35 votes

    BalasHapus